Wednesday, January 26, 2011

RUU Keistimewaan Yogyakarta


Catatan Rizal Bustami
Tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta
BAHWA, YOGYAKARTA TIDAK SENDIRI MENEGAKKAN RI INI


Suatu kawasan kepulauan (archipilago) yang tidak bernama dan tidak memiliki kekuasaan tunggal, membentang dari barat ke timur dari ujung pulau Sumatera dan ekor Pulau Papua. Dari kepulauan utara Philipina sampai ke selatan Pulau Jawa. Pada masanya hanya ada kekuasaan- kekuasaan lokal seperti  Kraton Sambas, Kesultanan Kutai, Kesultanan Goa, Kesultanan Deli, Kesultanan Pulau Penyengat, Kesultanan Siak, Kesultanan Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Pare Pare, Kesultanan Solo, Kesultanan Almahera, Kesultanan Bima, Kesultanan Mataram, Kesultanan Sumenep, dll. Pada dasarnya tidak saling mengenal, dipisahkan dengan budaya dan sejarah. Lebih awal dari masa itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kejaraan Majapahit di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini tidak benar-benar memiliki pengaruh secara politik dan meliter di kawasan ini, meski ada diakui oleh atau didaulat oleh kerajaan – kerajaan kecil lainnya. Nama Indonesia baru dipakai atau diproklamirkan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah, yang diwakili oleh Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon, dll menyatakan sebagai Indonesia sebagai Bangsa, Indonesia sebagai Bahasa, Indonesia sebagai Persatuan, yaitu dengan Sumpah Pemuda-nya. Proses terbentuknya rasa kebangsaan itu lebih pada nasib sepenangungan, sama – sama mendapatkan deraan penjajah kulit putih. Mengutip diskripsi tumbuhnya suatu paham kebangsaan, Ernest Renan mangatakan dalam bukunya, Apakah Bangsa ?, sebagai keinginan untuk hidup bersama. Faktor perasaanlah membuat sebuah bangsa dan negara terbentuk. Buku kecil ini diterjemahkan oleh Prof. Sunaryo.


Pada tahun 1905 di Surakarta, muncul organiasasi Sarikat Dagang Islam yang didirikan oleh  Haji Samanhudi. Organiasasi yang beranggotakan hanya pedagang Jawa dan Madura ini, ditujukan untuk menangkis pedagang-pedagang besar dari kalangan Timur Asing. Karena keanggotaannya makin membesar, Pemerintahan Belanda memberikan status hukum. Kemudian SDI menjadi partai politik dan  memiliki wakilnya di Volksraad tahun 1917.

Pada masa-masa inilah tanpa disadari, tumbuhnya kesadaran politik, yaitu apa yang dikenal dengan politik Etis. Politik Etis ini, oleh Paramudya Ananta Toer dilukiskan dalam empat romannya, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Oleh Pram disebut dengan tumbuhnya pemikiran rasio rentang tahun 1898 sampai dengan 1918.

Pada tahun 1908, tepatnya 20 Mei, berdiri sebuah organisasi pemuda bernama Budi Utomo. Pendirinya adalah Dr.Utomo di Gedung Stovia. Organisasi itu dimotori oleh elit intelektual muda, khusus orang Jawa, ditandai sebagai munculnya bibit kebangkitan nasional. Setiap  tanggal 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sumpah Pemuda
Sumpah para pemuda pada tahun 1928 harus ditandai sebagai munculnya ke permukaan ke Indonesiaan. Ketika itulah bahwa jati diri kebangsaa itu ada. Para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), menggagas suatu pertemuan.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Kongres pertama  dilaksanakan Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop.

Peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dll. Diantara peserta, hadir pula  pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie.  Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan Arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.


Pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia benar-benar menyatakan Kemerdekaannya. Kemerdekaan yang direbut dengan darah dan pengorbanan itu, tentulah tidak akan terwujud tanpa suatu proses – yang mendahuluinya. Apakah tanpa proses tahun 1905 (Sarikat Islam), tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda), meski kedua perkumpulan itu hanya untuk Jawa dan Madura saja, pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka ? Tetap mendapatkan kemerdekaan, entah kapan, pasti merdeka. Kemerdekaan dari penjajahan tersebut bisa direbut atau diberi. 17 Agustus 1945 hanya soal momentum saja. Saat ini, tinggal 5 negeri di dunia yang belum dimerdekakan. Menjadi tanggungjawab PBB-lah (UN) memerdekakan kelima negeri tersebut. 

Akan halnya Indonesia, kemerdekaannya bukanlah sebuah pemberian, melainkan sebuah perjuangan karena merebutnya. Disinilah Sumpah Pemuda menjadi faktor yang sangat menentukan dalam membentuk jati diri sebagai sebuah bangsa yang bersatu. Sumpah Pemuda sebagai pemersatu, perekat dimana kawasan ini dulunya saling terpisah secara geographis, secara budaya, secara politik dan dalam sejarah. Menurut saya, Sumpah Pemuda lebih penting dibandingkan peristiwa 17 Agustus 1945. Sebagai disebutkan diatas, kemerdekaan itu soal moment saja. 


Bukittinggi sebagai Ibukota RI
Meski telah menyatakan merdeka, Indonesia tidak serta merta menikmati kemerdekaannya. Di dalam negeri, sebagai negara baru, para tokoh – tokoh dalam proses pembelajaran untuk mengelola sebuah negara. Sedangkan keluar, diperlukan lagi suatu perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Dan, masih pula dirongrong oleh Belanda – yang tak rela Indonesia menjadi sebuah negara mandiri.
Masih dalam suasana eforia kemerdekaan, Belanda melancarkan Agresi Meliter II. Yogyakarta yang ketika itu berstatus Ibukota Negara dikepung oleh tentara Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden ditangkap Belanda. Melalui radio, Belanda mengumumkan bahwa Republik Indonesia sudah menyerah kepada Belanda.

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, sejumlah pemimpin bangsa yang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, dimotori oleh Syafruddin Prawiranegara mengadakan pertemuan darurat pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, Payakumbuh. Rapat memutuskan meneruskan Republik Indonesia dengan membentuk  Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim PDRI. Ibukota PDRI ditetapkan Bukittinggi. Keesokannya,  Syafruddin Prawiranegara berpidato melalui radio yang menyatakan bahwa Republik Indonesia masih berdiri. Sejak itu, para pemimpin PDRI ini, menjadi burunon tentara Belanda. Mereka terus bergerak dengan selalu membawa perangkat radio.
  
Sekitar satu bulan kemudian, berhasil kontak radio dengan PDRI di Bukittinggi dengan para mentri di Jawa. Mereka membicarakan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan.

Pada tanggal 13 Juli 1949, diadakan pertemuan antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada pertemuan tersebut, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, Soekarno kembali sebagai Presiden dan M. Moh. Hatta, sebagai Wakil Presiden, dan Perdana Menteri.

Namun dalam perjalanannya, Indonesia ini pernah dalam bentuk Negara Serikat, yaitu RIS (Republik Indonesia Serikat). RIS berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar. Usia RIS hanya “seumur jagung”. Pada 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan.

Jakarta, Yogyakarta dan Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia. Peran Yogyakarta dan Bukittinggi menentukan sebagai penyelamat Indonesia diambang keruntuhan.

Namun demikian, perjalan Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat, merupakan perjuangan dan pengorbanan bersama rakyat. Tidak ada yang lebih berperan atau lebih berjasa dibandingkan dengan daerah lainnya. Semua daerah yang bergabung dalam satu kesatuan republik, menjalankan peran mereka masing-masing.

Indonesia ini dulunya bukan dalam bentuk suatu kawasan kenegaraan, kebangsaan atau kerajaan, atau kesultanan. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, Belandalah yang menyatukan semangat kebangsaan yang satu. Indonesia bukanlah warisan Samudera Pasai, bukan warisan Majapahit, bukan warisan Sriwijaya, bukan warisan Mataram atau warisan Kesultanan Banten.

Nusantara yang tidak seluruhnya menjadi Indonesia, dulunya terbentuk 28 Kerajaan Hindu / Budha dan 53 Kesultanan. Beberapa Kesultanan tersebut saat ini masih memangku, meski hanya sebagai Pemangku Adat.

Indonesia pun terbelah dua menjadi dua kawasan geographis dan lingkungan berbeda, dengan apa yang yang dikenal dengan Garis Wallace.  
Add caption
Keistimewaan Yogyakarta
Negara telah memeberikan status Istemewa kepada dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Yogyakarta dan satu berstatus Daerah Khusus yaitu DKI Jakarta serta satu kawasan dengan status Otorita, Batam. Kekhusuan daerah tersebut menilik sejarah dan kekhasan daerah tersebut.

Perihal Yogyakarta yang tengah gonjing ganjing dalam status keistimewaannya, kalau dicermati betulnya, apanya yang direbutkan. Mari kita lihat RUUK Yogyakarta. Baik dalam pembukaan maupun dalam Penjelasan RUU yang digodok oleh Pemerintah Pusat tersebut, terang benderang mengakui faktor sejarah yang diemban dan budaya Yogyakarta.

Apanyakah yang dipertentangkan dalam RUU tersebut ? Soal status Gubernurkah ? Teks RUU Keistimewaan Yogyakarta mengenai Stautus Gubernur dan Sultan.
BAB II
Asa dan Tujuan Keistimewaan Yogyakarta
Bagian Pertama
Asas
Pasal 2
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disusun berdasarkan asas demokrasi, kerakyatan, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
(1) Pengaturan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bertujuan untuk:
a. mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis;
b. mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat;
c. mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. menciptakan tata pemerintahan yang baik; dan
e. melembagakan peran dan tanggung jawab Kesultanan dan Pakualaman dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
(2) Tata pemerintahan yang demokratis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diwujudkan melalui:
a. pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung;
b. pengisian anggota DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Pemilihan Umum;
c. pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara politik dan pemerintahan dengan Kesultanan dan Pakualaman;
d. mekanisme checks and balances antara Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; dan
e. membuka ruang partisipasi dan kontrol warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan media kultural.(selanjutnya, Redaksi)

Status tanah-tanah milik Keratonkah ?
BAB III
KEWENANGAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
(2) Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. Pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur;
b. penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi;
c. bidang kebudayaan; dan
d. bidang pertanahan dan penataan ruang.
(3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.
(4) Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana (..... selanjutnya, Redaksi)

Susunan Pemerintahankah ?
BAB IV
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
(1) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa.
(2) Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Parardhya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bagian Kedua
Parardhya
Pasal 12
(1) Parardhya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman yang bertahta secara sah.
(2) Parardhya merupakan satu-kesatuan lembaga yang berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
(3) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan/atau Adipati Paku Alam sebagai Parardhya belum/tidak cakap melakukan perbuatan hukum, dan/atau tidak mampu menjalankan fungsinya, Sri Sultan Hamengku Buwono dan/atau Adipati Paku Alam didampingi oleh wali yang ditunjuk sesuai dengan tata cara yang berlaku di Kesultanan dan/atau di Pakualaman.

Pasal 13
Parardhya berwenang:
a. Memberikan arahan umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, serta pertanahan dan penataan ruang;
b. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;
c. Memberikan rekomendasi untuk penindakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan;
d. Memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah sebelum diajukan ke Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
e. Memberikan persetujuan dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi bermaksud menerbitkan obligasi daerah; dan
f. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjiankerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi denganpihak ketiga yang membebani masyarakat.

Pasal 17
(1) Parardhya berhak:
a. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;
b. mendapatkan seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan;
c. mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais;
d. mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, tidak lagi memenuhi syarat, dan/atau melanggar larangan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; dan
e. memperoleh pelayanan dan dukungan administrasi.
(2) Dalam kedudukannya sebagai Parardhya, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam memiliki hak:
a. mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di bidang kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang;
b. mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota di bidang kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang;
c. imunitas;
d. protokoler setingkat Menteri; dan
e. keuangan.

Pasal 18
(1) Parardhya berkewajiban:
a. mengamalkan Pancasila dan melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;
b. menjamin kesinambungan sejarah Yogyakarta dalam mempertahankan integrasi bangsa;
c. mengayomi dan melindungi kebhinnekaan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta;
d. memperhatikan, menyalurkan, dan/atau menindaklanjuti aspirasi, pengaduan masyarakat yang menyangkut hak-hak warga negara yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta;
e. menjaga, melindungi, dan mengembangkan strategi untuk revitalisasi kebudayaan;
f. merumuskan arah umum dalam penetapan kelembagaan
Pemerintah Daerah Provinsi, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Kewenangan Istimewa; dan
g. menjamin ketersediaan sumber daya manusia yang cakap dalam lingkungan Kesultanan dan Pakualaman yang mampu menjalankan fungsi-fungsi publik serta melestarikan dan mengembangkan budaya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan paling sedikit sekali dalam 5 (lima) tahun dan disampaikan dalam pembukaan masa sidang DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau forum lain yang dimaksudkan untuk itu.

Pasal 19
Parardhya dilarang:
a. menjadi pengurus dan anggota partai politik;
b. melakukan kegiatan bisnis yang terkait dengan kewenangannya; dan
c. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntunganbagi diri, anggota keluarga, kroni, atau golongan tertentu.

Pasal 20
(1) Parardhya membentuk Sekretariat Parardhya.
(2) Sekretariat Parardhya adalah perangkat daerah yang dipimpin oleh seorang Sekretaris yang kedudukannya setara dengan Eselon II A.
(3) Kebutuhan belanja operasional Sekretariat Parardhya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
(4) Sekretaris Parardhya adalah pegawai negeri sipil yang dipilih oleh Parardhya dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh Gubernur.
(5) Sekretaris Parardhya diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Gubernur atas persetujuan Parardhya.
(6) Sekretaris Parardhya mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Tata cara pembentukan, penyebutan, dan pengisian jabatan dalam Sekretariat Parardhya diatur dalam Perdais.

Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda, tapi satu. Indonesia bukan satu dalam kesatuan budaya, georafis, bahasa, bahkan warna kulit. Terdiri dari suku-suku, bahkan barangkali bisa disebut bangsa, atau suku-bangsa, masing-masing memiliki ciri dan kekhususan. Dalam penyatuan dalam kesatuan NKRI, suku-bangsa itu telah meleburkan diri tanpa meninggalkan identitas budayanya. Dan, ingat, setiap daerah memiliki parannya masing masing dalam menegakkan ke Indonesiaan tanpa merasa lebih kurang dan tanpa merasa lebih tinggi perannya.

Pertempuran Surabaya, Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Pendaratan Sekutu di Jakarta, Pembantaian oleh tentara KNIL di Ujungpandang, Perang Tiada Henti di Aceh, kembalinya Irian ke Indonesia, Kebulatan Tekat Rakyat Bangka Belitung bersatu dengan RI dan peristiwa penting lainnya di setiap daerah merupakan kesatuan sikap dalam perjuangan menegakkan Republik Kepulauan ini.

Yogyakarta tidaklah sendiri menegakkan Republik Indonesia.....


 

6 comments:

Soewarno said...

Bung Rizal, beberapa hal yang mungkin anda lupa menjelaskan sebab musabab keistimewaan Yogayakarta itu diantaranya:

* Kasultanan Ngayogyakarta adalah negara merdeka dan berdaulat penuh, tidak dalam kondisi "terjajah" dari sebelum Indonesia Merdeka, berbeda dengan Kasultanan Surakarta yang terjajah (dlm bbrp data sejarah kita juga tahu kl surakarta antek Belanda) dan kesultanan lain di tanah air ini.

* Daerah yang merdeka dan berdaulat itu, bertekad menggabungkan diri dengan RI, menjadi bagian dari Republik Indonesia (tentunya dengan syarat yang diajukan di masa itu, termasuk soal gubernur dan wakil yang ditetapkan diemban Sultan dan Pakualam)

* Sultan HB IX sebagai Gubernur dan pemimpin rakyat Yogyakarta, pernah membiayai APBN di awal berdirinya republik ini, karena Pemerintah tidak mempunyai dana untuk menyelenggarakan Pemerintahan.

Itu mungkin cuma beberapa hal yang akhirnya menjadi sebab awal pemberian Keistimewaan buat Yogyakarta, saya rasa itu hal yang wajar dipertahankan oleh rakyat" Yogya, terhadap "alasan Politis yang dibuat2 oleh pemerintahan SBY saat ini.

dan menurut saya, latar belakang sejarah pada tulisan Bung Rizal dalam topik kali ini kurang menyentuh alasan tentang "Keistimewaan Yogyakarta"

Wassalam

Jeri Adiyanto said...

Semua mempunyai peran masing - masing dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini

Melihat Indonesia said...

Betul Bung Jeri, tidak ada yang lebih "istimewa" dibandingkan dengan lainnya. TQ, Bung !

Melihat Indonesia said...

Bung Soewarno, memang benar Kesultanan Ngayogyakarta adalah kekuasaan berdaulat dulunya. Kesultanan Banten juga berdaulat, sampaikan dikalahkan Portugis. Kesulatanan Aceh juga berdaulat dulunya, dan diakui kerajaan Eropa. Kesultanan Pulau Penyengat juga berdaulat. Rakyat Aceh beriuran untuk membeli pesawat terbang, bernama Sewulawah untuk Presiden / Wakil dan pejabat negara. Apa yang saya baca dari draft RUU Yogyakarta, tetap mengakui Keistimewaan Kesultanan Yogyakarta.
Bung Soewarno, terimakasih atas komentar dan kritiknya.

Soewarno said...

heheh... ok bung rizal....

berarti sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan bukan ? tapi kenapa pemerintah malah mengusik hal2 yang tidak perlu, malah sampe ngotot2an pula para beliau itu,
kl dilihat sih bung, kita fair saja lah ya.. mestinya mrk urus mana yang perlu, dan jangan memperkeruh keadaan, apalagi sampai mengusik ketentraman suatu wilayah cuma karena alasan politis (ketakutan)

setelah masalah muncul ke publik, yang bikin masalah hanya bisa diam, dengan mengorbankan pembantu2nya yang sama sekali tidak memahami sejarah, itu terlihat sekali dengan komentar2 mereka yang sangat tidak berbobot

salut untuk blognya cantigi !
wassalam

Melihat Indonesia said...

Pembahasan RUU DIY di DPR sebetulnya sudah dilakukan sejak tahun 2007, atas Draf RUU DIY yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sultan HB X sendiri menyambut baik inisiatif DPD tersebut.

“Penyusunan draft RUUK DIY oleh DPD maupun draft lainnya oleh pihak tertentu diyakini justru akan semakin memperkaya aspek pembahasan di DPR," kata Sultan, sebagaimana dikutip oleh Kantor Berita Antara,Jumat, 21 September 2007.

Ada tiga Draft RUU DIY, yaitu yang disusun oleh DPD, Pemerintah dan Dewan Pakar UGM.

"Jadi sebaiknya kita tunggu saja pembahasan draft RUUK DIY di DPR apapun hasilnya," kata Sultan saat itu.

Maaf komentar ini baru ditanggapi, karena Cantigi Peace sedang diperbaiki.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023