Wednesday, May 04, 2011

NOVEL Bagian XIV : Kecamuk1


Kecamuk (Bagian 1)

Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang (Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang menentang belasting dan rodi.

Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan.

“Weerda!”
“Vriended!,” jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul Manan.
“Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?!”
“Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan,” jawab Angku Rumah Gadang.
“Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!!”
“Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan, Tuan!”
“Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha!”
“Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut. Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka.

Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya.
“Apakah kalian tau Haji Abdul Manan?”
“Haji Abdul Manan, tau... Tuan!,” jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang sok akrap.
“Goed...!,” kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya.
“Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan dengannya.”
“Beliau, Tuan!”
“Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya?”
“Ya, berbeda, Tuan”
“Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan.”
“Ini bukan sepele, Tuan.”
“Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja,” oceh Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
“Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!,” desaknya lagi.
“Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di kampung …. Tapi juga ada. Di....” Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup, karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul dengan beberapa pembantu beliau.
“Dimana!!!,” bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah Gadang tersebut.
“Di... kampung Budi, Tuan,!” dengan gagapnya. “Tadi siang beliau ada di sana, dan kami tidak melihat beliau di sini,” sambungnya lagi.
“Beliau siapa?,” tukas ajudan itu lagi.
“Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan.”

Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri, menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi.



Selepas rombongan pasukan Westenenk, Angku Rumah Gadang dan Angku Basa menyelinap menuju Kampung Tangah utnuk melaporkan keadaan kepada Haji Abdul Manan. Sambil mengendap-endap, bergegas, menggerutu juga. “Ulando andia. Pakak!.” Yang mereka maksudkan Belanda bodoh dan pekak, tuli. “Mana ada orang bernama ‘Dul Manan’. Dan apa mungkin pula Inyiak Manan akan melalui simpang ini dari Budi ke kampuang Tangah,” mereka bersahut-sahutan menyerapahi Belanda itu.

“Inyiak!, Tuan Siteneng sudah datang dan sekarang pergi ke kampung Budi mencari Inyiak. Bersiaplah, Nyiak!,” kata Angku Rumah Gadang.

Tenang, tidak terkejut sedikitpun baik Haji Abdul Manan, Datuak Rajo Penghulu dan Aisyah mendengar kedatangan Westenenk dengan pasukannya yang baru saja selesai latihan perang di Batu Sangkar tersebut.

“Saya ke Bansa dulu,” kata Haji Abdul Manan.
“Saya ikut!,” kata Datuak Rajo Penghulu dengan setia tetap mendampingi Inyiak Manan.

Panglima perang ini turun dari rumah langsung menuju Kampung Bansa untuk berziarah ke makam Tuangku Nan Renceh dan selesai berziarah bergegas pula kembali ke Kampung Tangah sambil memeriksa persembunyian pasukan pengawal beliau. Sesampai di atas rumah, Haji Abdul Manan langsung masuk kamarnya, membuka ikat pinggang lebar buatan Turky yang terkenal dengan sebutan ‘kamareleng’. Umumnya setiap haji memakai ikat pinggang ini, karena memang pada musim hajilah didapatnya di Mekah. Ikat pinggang tersebut sekitar sepulu centimeter lebarnya dan banyak kantongnya. Kamareleng ditaronya diatas kasur tempat tidur, dan kemudian duduk di atas sajadah. Selesai mengerjakan shalat sunat untuk berkhalwat, bersujud semedi menyerahkan jiwa raganya dan sekligus bermohon petunjuk kepada Allah, Swt.

Tariqad ‘Ksatariyah’ diamalkan yang didahului dengan membaca kafiat zikir yang beliau anut. Alam tidak akan memberi bekas, kecuali atas seizinNya. Namun sebelumnya Haji Abdul Manan berpesan kepada istri dan anaknya, Sawiyah supaya jangan diganggu dalam persemediannya. Walau bagaimanapun juga keadaannya.

Dikampung Budi Belanda langsung mengepung dan menggeledah rumah Haji Abdul Manan. Pintu rumah diketuk, tetapi tidak ada yang menyahut, diketuk sekali juga tidak ada jawaban. Kemudian diketuk kembali dengan keras dan berulang-ulang, dan barulah Haji Ahmad menyahut dan bertanya, “Siapa itu?”
“Kami! Ini Tuan Komendur! Datang menanyakan Haji Abdul Manan, apakah ada di rumah?”
“Beliau tidak ada di sini, Tuan. Tadi siang beliau ada, ke Bansa barangkali,” jawab Haji Ahmad.
“Bukakan pintu, kami mau masuk!!!,” tukas Kepala Nagari.

Haji Ahmad yang belum tidur sejak senja menyalakan lampu ‘togok’, damar. Membuka pintu sambil menggosok-gosokkan matanya dan mengangakan mulutnya besar-besar, pura-pura menguap seperti orang baru bangun tidur. Tanpa permisi, tanpa salam, dengan lancang Kepala Nagari, Westenenk dan ajudannya merentak masuk rumah Haji Ahmad. Dan Kepala Nagari pun ambil muka kepada bosnya, dengan berkacak pinggang menanyakan Haji Abdul Manan.

 “Dimana Abdul Manan, ayahmu itu. Tuan kumandur ingin bertemu, ingin berunding dengannya.”
“Ambo kan sudah katakan Angku, Ayah ambo tidak ada di sini. Tadi pagi memang ada akesini, tapi setelah siang beliau pergi,” jawab Haji Ahmad. Kemudian Tuan Kumandur itu pun menyela dengan sikap yang siang malam dari angku palo, Kepala Nagari itu.

“Haji Ahmad tidak usah khawatir, kami sengaja datang untuk menemui beliau Haji Abdul Manan, bukan untuk menangkapnya tetapi kami akan berunding dalam beberapa hal. Jadi..., Haji tidak usahlah cemas. Tunjukkanlah dimana beliau sekarang,” Westenenk membujuk Haji Ahmad dengan kefasihannya dalam berbahasa Minang.

 “Ya, Tuan. Tapi beliau memang tidak ada di sini, Tuan boleh periksa sendiri.”
Dengan isyarat Westenenk memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penggeladehan. Semua kamar di sigi. Loteng,  langit-langit rumah dipanjat. Dapur dan kolong rumah pun diperiksa. Tetapi sia-sia saja, waktu berputar juga, Haji Abdul Manan tidak ditemukan.
“Sekarang dimana beliau kira-kira. Masak Haji tidak tau,” nada Wetenenk mulai meninggi, kekesalan menyerumbat di wajahnya.
“Sekarang Haji harus ikut kami untuk menunjukkan rumah Haji Abdul Manan yang lain.”
“Baik, Tuan,” jawab Haji Ahmad dengan lugu.

Haji Ahmad pun berlalu ke kamarnya, segera menukar pakaiannya, kelewang pun diselipkan di balik pakaian, di pangkal ketiak kiri yang ujungnya sampai ke bahagian paha.

“Godverdome!!!,” oceh Westenenk sewaktu Haji Ahmad beranjak ke dalam kamarnya.

Sewaktu akan turun dari rumah, anaknya Miyah segera memegang tangan ayahnya, Haji Ahmad melarangnya sambil menanggis, “Ayah tidak boleh pergi...!!!”

“Nak, tidak usah menangis, ayahmu cuma sebentar, menemani kami ke rumah kakekmu,”
bujuk Westenenk lagi menenangkan Miyah yang meraung-raung menahan ayahnya.

“Dengan suara terisak-isak Miyah menyanggahnya, “Kalau tuan mau mencari kakek kenapa malam-malam begini, kenapa tidak siang hari. Ayah tidak boleh pergi!”
Westenenk terdiam sejenak mencari akal. “Ya, Miyah! Semestinya siang tadi kami ke sini, tetapi.... Ya, kami kan datang dari jauh dan kami sangat ingin beertemu dengan kakekmu.”

Kemudian Haji Ahmad mencoba menenangkan anaknya. “Miyah, biar Ayah pergi sebentar menunjukkan rumah kakek kepada tuan ini, dan segera Ayah kembali, ya!”

 Tangisan Miyah berhenti juga dan mengangguk mengizinkan Ayahnya. Westenenk tersenyum lega dan menepuk-nepuk bahu MiyaHaji. “Kamu anak pintar, Miyah,” katanya. Tapi Miyah tidak memberikan reaksi apa-apa atas pujian Westenenk itu.

Rombongan Westenenk turun dari rumah, Haji Ahmad diapit kiri dan kanan oleh pasukan pengawal kontroleur. Mereka berjalan menuju Kampung Tangah. Dari Kampung Budi menuju Kampung Tangah Haji Ahmad tidak bercakap-cakap, otaknya bekerja keras mencari akal dalam keadaan pikiran kacau dan cemas, kalau-kalau Ayahnya ditemukan Westenenk.

“Ini adalah suatu pertanda buruk, kita mau turun dari rumah anak, Miyah menangis. Semoga saja Allah melindungi negeri ini,” bisik hatinya, Haji Ahmad.

Sesampai dekat pos ronda, Haji Ahmad sempat mengelincir dari pengawalan dan menyelinap ke penajga malam menanyakan keadaan ayahnya. Orang ronda, penajaga malam menjawab dengan berbisik pula bahwa ayahnya telah siap sedia dan tidak perlu dikhawatirkan. Kemudian Haji Ahmad menyelindap kembali ke tengah-tengah barisan pengawalan.

Sesampai di Kampun Tangah, di rumah Haji Abdul Manan, Haji Ahmad batuk-batuk kecil. Kepala Nagari segera mengetuk pintu berulang-ulang. Sawiyah, anak Haji Abdul Manan, saudara seayah dengan Haji Ahmad segera bangun dan memperpesar cahaya lampu damarnya. Yang pertama dia kerjakanlah memeriksa seisi rumah, mencari dimana Ayahnya bersemedi, tetapi Ayahnya tidak ditemukan, kemudian diperiksa kamar-kamar yang lain juga Ayahnya tidak tampak. Dari luar pintu digedor lagi. Takut semakin dicurigai, maka Sawiyah mulai bersuara “siapa itu?!”
“Kami! Bukakan Pintu, kami mau masuk,” teriak  Kepala Nagari dari luar.
Pintu dibukakan Sawiyah, Westenenk segera masuk yang diringi Kepala Nagri dan Haji Ahmad saudara Sawiyah.
“Sawiyah!, Tuan ingin bertemu dengan ayahmu, coba panggil sebentar! Kami ingin Bicara.”
“Ayah tidak di sini, Tuan! Semenjak pagi tadi pergi sampai sekarang belum pulang juga,” jawab Sawiyah.

Westenenk semakin jengkel, “Kau pembohong, pendusta! Ayo cari!!!, dimana Ayahmu bersembunyi?”
“Kalau tuan tidak percaya, orang-orang tuan boleh periksa sendiri!”

Penggeledahan seperti di rumah Haji Ahmad di Kampung Budi pun terjadi. Allah, Swt telah memperlihatkan kekuasaannya, ketika itu Tuhan melindungi Haji Abdul Manan dari pencaharian. Musu Haji Abdul Manan tidak terlihat sama sekali oleh siapapun dan tidak ditemukan. Kecuali Westenenk hanya melihat ikat pinggang besar Haji Abdul Manan tergeletak malas di atas tempat tidurnya.

 “Ternyata burung sudah terbang dari sangkarnya,”  gerutu L.C. Westenenk dalam kekesalannya. Pias.

“Zeg! Kepala Nagari, apakah ‘yey’ tidak perintah opas ‘yey’ untuk periksa tadi siang dimana itu Dul Manan berada, ha... (sengau)?!,”  tanya Westenenk  kepada Kepala Nagari, Datuk Tumangguang Babukik anak dari Angku Suku, Datuak Tumangguang Bansa. Angku Suku adalah kepala beberapa penghulu sesuku, sebuah struktur yang dibuat Belanda.

Datuak Tumangguang Babukik menjawab dengan sangat takut, mukanya  dingin seperti tidak dialiri lagi oleh darah, “Ada Tuan! Tadi siang Tuan, Haji Manan  masih berada di kampung ini Tuan,”  jawab Kepala Nagari itu dengan gugupnya.
“Kepala Nagari, kalian minta kami datang membantumu, tapi kalian tidak tau dimana itu Dul Manan berada, ‘godverdome!,” bentak Westenenk lagi dengan penuh kesal kepada Kepala Nagari semakin pias.
“Tuan..., barangkali...!,” kepala Nagari menyela dengan sangat gugup dan membungkuk-bungkuk ketakutan
“Sech! ‘yey’ cuma besar omong!,” bentak Westenenk memotong pembicaraan Angku Palo yang sedang gugup itu sambil mengibaskan tangannya, sehingga Angku Palo tersurut dan semakin gemetar ketakutan.
“Di Budi tidak ada. Di Tapi tidak ditemukan. Di sini juga tidak. Macam mana ini kalian orang-orang, ha...! (sengau). Kalian mau  setoran belasting besar supaya dapat persen banyak, gaji besar. Perempuan entah seberapa cukupnya oleh kalian. Rakus! Najis kalian semua! Cuma seorang Dul Manan saja tidak terawasi!!!” Berderet-deret sumpah kutukan Westenenk kepada pembantu-pembantunya itu.

Penuh kekesalan dan amarah L.C. Westenenk memberi isyarat supaya penggeledah untuk turun dari rumah, berlalu mencari kemungkinan di tempat yang dicurigai lagi.

Haji Ahmad tidak segera turun, ia mendekati adiknya, Sawiyah.  Dengan berbisik menanyakan Ayah mereka. “Ayah selamat. Tenang sajalah,” awab Sawiyah kepada abangnya. Barulah Haji Ahmad turut turun dari rumah itu.

Setelah pasukan Westenenk turun dari rumah itu, maka Datuak Rajo Pangulu menyelinap masuk rumah, sedangkan istrinya Siti Aisyah tetap berjaga-jaga dalam persembunyian dibalik semak-semak di pinggir jalan dekat sebuah parit. Hanya sebentar, Haji Ahmad kembali dan masuk ke rumah berkumpul bersama Datuak Rajo Penghulu.

Haji Abdul Manan menampakkan dirinya dari arah ujung rumah. Ia baru saja selesai berzikir dan merenungkan Allah. Haji Ahmad tercengang melihat sosok Ayahnya tiba-tiba sudah ada di ujung rumah, padahal baru saja dia sibuk mencari Ayahnya takut kalau kalau bertemu dengan pasukan yang menggeledah rumah itu. Dalam keheranannya itu Haji Ahmad menghampiri ayahnya, dia bersimpuh, bersalam dan mencium tangan Ayahnya, yang disusul pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tak tampak kegelisahan dari Haji Abdul Manan. Sambil menyuguhkannya cangkir kopi, Haji Abdul Manan mulai berbicara langsung, “Datuak!” Maksudnya Datuak Rajo Pangulu. “Saat ini perang sudah tidak dapat kita elakkan lagi, istrimu Aisyah suruhlah dia naik ke rumah,  palulah ‘tabuah’, (beduk) dan pekikkanlah azan sebagai tanda komando perang dimulai!,”  seru Haji Abdul Manan kepada Datuak Rajo Pangulu.
“Apakah pasukan sudah siap?,”  tanya beliau lagi.
“Sudah, Ayah! Pasukan kita berada dalam posisi baik dan mereka sudah siap. Pasukan Kamang (Ilia) dipimpin oleh Kari Mudo, sebahagian pasukannya akan membantu Datuak Parpatiah Magek dan sebahagian lagi akan membantu kita. Sedangkan Angku Jenggot dan Datuak Parpatiah Pauah memimpin sayap kanan.”
“Jalan ke Bukittinggi sudah ditutup. Pasukan musuh sudah terjepit, tidak akan mungkin lagi mereka dapat meloloskan diri dan bantuan musuh pun tidak akan dapat datang dalam beberapa hari ini, karena jalan kereta api di Lubuak Aluang sudah dibongkar pula oleh orang-orang kita di Lubuak Aluang itu,”  jawab Datuak Rajo Pangulu yang sekaligus melaporkan kondisi terakhir kepada Haji Abdul Manan yang telah beliau anggap seperti orangtuanya sendiri.

“Baiklah Datauak, sekarang jemputlah dulu Aisyah!,”  kata Haji Abdul Manan lagi.
“Baiklah Ayah!,” jawab Datuak Rajo Pangulu.

 Sepeninggal Datuak Rajo Pangulu pergi menjemput istrinya, sekitar pukul 24.00 WIB (jam. 00.00 dini hari), Pendekar Mukmin yang dikenal juga dengan Pandeka Ulando, sudah menukar pakaian prajurit Belanda-nya dengan pakaian putih-putih sebagaimana layaknya pakaian pasukan Kamang. Ia datang dengan membawa lima belas orang pasukannya yang siap membantu Haji Abdul Manan, dan Pandeka Ulando ini melaporkan bahwa posisi Westenenk dengan induk pasukannya berada dekat jembatan Koto Panjang sebelum Kampung Tangah sedang menunggu hari siang.
“Gempurlah habis-habisan!, sedangkan yang lain biar kami yang membereskannya,” kata Pendekar Mukmin.

Haji Ahmad yang sebelumnya sedikit tegang, sekarang merasa gembira karena sudah jelas dia akan berhadapan dengan Westenenk mendampingi Ayahnya dan Datuak Rajo Pangulu.

“Terimakasih, biarlah kita tunggu dulu sebentar Datuak Rajo Pangulu, dia sedang menjemput istrinya,”  jawab Haji Abdul Manan.
“Baiklah, Nyiak! Kalau begitu izinkan kami untuk kembali menyelinap dan mencegat barisan pasukan Ulando untuk kami bereskan,”  pamit Pendekar Mukmin.

Sepeninggal Pendekar Mukmin, Datuak Rajo Pangulu pun tiba, “Nyiak, sebelum kedatangan Tuan Datuak, maksudnya Datuak Rajo Pangulu, suaminya, ‘sebentar ini sudah sembilan orang pasukan Siteneng yang kami selesaikan dengan klewang ini,”  lapor Siti Aisyah sambil memperlihatkan klewangnya yang masih berlumuran darah kepada Haji Abdul Manan.
“Baiklah, Aisyah! Sekarang kita bersama sama menghadapi Siteneng dan pasukannya,”  jawab Haji Abdul Manan.
“Angku Rumah Gadang palu lah ‘tabuah’, beduk dengan bunyi ‘tiga-tiga’!, sebagai tanda komando.”

Tak lama berselang Angku Rumah Gadang memalu ‘tabuah’ dan terdengarlah bunyi beduk tiga-tiga pukulan itu.

“tam-tam-tam...!, tam-tam-tam...!, tam tam-tam...!,” tanda komando, bagaikan letusan ‘salvo’ ke udara sebagai tanda perang dimulai untuk menyerang Ulando.

Suara Takbir ‘Allahu Akbar’  pun membahana di udara membelah kesunyian malam sebagai pengiring bunyi beduk tersebut.

L.C. Westenenk, sangat terkejut dan  gemetar mendengar suara takbir tersebut karena suasana seperti itu diluar dugaannya sama sekali. Namun Westenenk berupaya untuk mengendalikan diri, fluit segera ditiupnya dan kemudian diringi dengan bunyi terompet dan genderang perang oleh pasukannya. (bersambung ke bagian 2)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023