Saturday, September 17, 2011

Capita Selecta M. Natsir Bab 7


HAY BIN YAQDZAN.[1]
DESEMBER 1937

Roman falsafah dari Ibnu Thufail – Percobaan mem-“populer”-kan
Falsafah – Perintis jalan untuk “Robinson crusoe”.

Falsafah dan orang awam
       Falsafah amat sukar dapat memasuki pembacaan rakyat umu. Dengan pelbagai macam masalah dan istilahnya yang kerap kali suit dipaham dan hambar dibaca, dia itu susah sekali memikat hati dan minat pembaca yang awam. Tidak heran kalau seorang filosof seperti Ibnu Haitam  menutup salah satu kitab falsafahnya (430 H.) dengan tegas:
       “saya tidak menghadapkan kalam saya ini kepada semua manusia. Akan tetapi kepada tiap-tiap seorang dari mereka, yang harganya sama dengan ribuan, malah puluh-ribuan. Lantaran tidak banyak manusia yang sampai kepada hak atau kebenaran yang halus dan tajam itu, kecuali yang mempunyai paham yang halus dan tajam diantara mereka!”
        Sungguhpun demikian, falsafah itu bukanlah semestinya tetap menjadi milik yang dimonopoli oleh “cabang-atas” saja. Diwaktu orang bertanya kepada seorang filosof Yunani: “Apakah paedahnya falsafah itu?” Dijawabnya dengan penting-ringkas: “Supaya jangan ada satu batu bertengger diatas batu yang lain”.
        Maksudnya ialah, bilamana seorang duduk diatas batu tembok sebagaimana yang galib dizaman itu bila orang menonton permainan dalam theatre, (yakni tempat tontonan berbagai macam permainan) si penonton itu jangan sama pula derajatnya dengan batu yang ia duduki.
        Kalau si awam tidak sampai kepada falsafah, maka utang bagi filosof mencari ikhtiar supaya falsafah dapat memasuki alam fikiran mereka, menurut kadar dan cara yang sepadan dengan tingkatan akal mereka agar mereka dapat pula mengecap kelazatan hikmah-hikmah itu.


        Maka Ibnu thufail-lah  yang mendapat kehormatan sebagai filosof Muslim, yang mula-mula menunjukan langkahnya kejurusan ini, dengan hasil yang baik.
        Ibnu Thufail, salah satu bintang-bintang falsafah andalus dalam abad ke 12 itu, rupanya tahu benar dimana letaknya rahasia kegemaran pembaca umum.[2]
        Dia mengerti, bahwa dalam perpustakaan rakyat umum adalah satu rukun yang tidak boleh tidak harus ada, yakni yang dinamakan orang “avontuurliyk element” atau kisah-kisan pengalaman yang luar dari biasa, yang dapat mengobarkan perasaan (sensasionil). Umpamanya sebagaimana yang ada dalam cerita-cerita 1001 Malam, Abu Nawas dll. Yang tidak saja telah menjadi pembacaan rakyat umum, tapi telah menjadi sebahagian dari perpustakaan dunia.
        Itulah rupanya yang dituju oleh Ibnu Thufail dengan roman falsafahnya yang bernama, Hay bin Yaqdzan”  (Si Hidup anak Si Bangun), yang diakui sebagai salah satu kitab yang ”paling aneh dalam Abad Pertengahan”.[3]
        Cara inipun telah mendapat pengikut diantara penulis-penulis bangsa Eropah seperti penulis dari cerita “robinson Crusoe”, “gulliver” dll.
        Marilah kita dengarkan sedikit ringkasan dari “roman” yang aneh ini:
        “Arkian, adalah menurut cerita orang-orang tua kita dahulu kala”, demikianlah Ibnu thufail memulai ceritanya, “di daerah tanah India, dibawah chattulistiwa, sebuah pulau yang didiami oleh manusia yang lahir tidak berbapa dan tidak beribu.
        Hal yang demikian itu mungkin berlaku karena bahwa di pulau itu hawa yang nyaman sungguh dan paling bersih di dunia ini, oleh karena mendapat cahaya dari ruangan langit yang paling tinggi.
        Ada orang yang berkata, bahwa Hay bin Yaqdzan salah seorang dari manusia yang demikian itu.
        Akan tetapi ada pula orang yang berpendapat bahwa didekat pulau yang dimaksudkan itu, ada lagi sebuah pulau yang amat ramai penduduknya. Pulau ini diperintahi oleh seorang raja, yang amattinggi hati dan cemburu tabiatnya. Ia mempunyai seorang saudara perempuan yang selalu dialangi oleh raja bila hendak bersuami, karena menurut pendapat raja belumlah ada diantara mereka yang meminang, yang sejodoh dengan saudara perempuannya itu.
        Walaupun demikian, saudara raja tersebut dapat juga kawin rahasia dengan seorang tani yang dicintainya, menurut peraturan agama yang berlaku dinegeri itu.
        Pada saat yang baik, dapatlah kedua suami isteri itu seorang anak laki-laki yang mereka namakan “Hay bin Yaqdzan”.
       Akan tetapi alangkah sedihnya bilamana sukacita si ibu dan si bapa terpaksa diputuskan, karena terpaksa bercerai dengan anak mereka yang baru lahir itu, lantaran hendak menjembunyikan perkawinan mereka yang tidak disukai oleh raja yang angkara-murka itu.
       Hay bin Yaqdzan dimasukkan kedalam sebuah peti bertutup mati. Diiringi oleh beberapa bujang dan teman sejawat yang setia, pergilah si ibu membawa si jantung hatinya dimalam yang gelap-gelita  ketepi pantai. Disanalah ia bercerai dengan anaknya yang tercinta buat selama-lamanya dengan hati yang remuk-redam dan air mata yang bercucuran diletakkannyalah peti kecil itu ditepi laut serta berdo’a kehadirat Ilahi:
        “Ya, Tuhanku, engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau telah peliharakan dia semasa dia dalam kandunganku dan telah engkau peliharakan dia dari mula lahir sampai saat ini.Maka sekarang, kuserahkanlah anakku ini kepada kerahiman Engkau, ya Tuhanku, karena takut kepada raja yang lalom itu. Janganlah ia engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin!”
         Kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu sekali setahun. Peti yang berisi bayi itu dibawa oleh alun, terapung-apung beberapa lama dilautan besar, tertutup oleh ranting-ranting dan daun-daun kayu, terlindung dari hujan dan panas matahari. Setelah pasang mulai turun terkandaslah peti tersebut pada sebuah pulau lain yang tidak didiami manusia. Setelah terempas beberapa kali, dipermainkan ombak ditepi lau, pecahlah kunci peti itu, dan tergenggang kayu-kayunya. Maka terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup sampai, karena dingin dan kelaparan itu oleh seekor kambing hutan yang kebetulan baru saja kehilangkan anak. Disangkanya anaknyalah yang memanggil-manggil. Kambing itu berlari menuju suara itu. Kedapatan olehnya sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali belah dualah peti itu. Dilihatnya seorang anak sedang menangis. Maka jatuhlah kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya, ganti anaknya sendiri yang sudah hilang…!”
          Demikianlah Ibnu Thufail memulai roman falsafahnya dengan sajak ritma-prosa yang menerbitkan selera pembacanya; maklum, falsafah jatuh ketangan seorang ahli syair.
        Dan sedang pembacanya asyik menurutkan nasib Hay bin Yaqdzan dari selangkah keselangkah disisipkannyalah sambil lalu satu uraian ilmu alam tentang teori “spontane generatie”, dihubungkannya dengan masalah asal-usulnya Hay bin Yaqdzan pada awal cerita, yakni tentang mungkin atau tidaknya timbul satu perangkatan baru dari tumbuh-tumbuhan, hewan ataupun manusia dengan tiba-tiba, tidak menurut cara keturunan sebagaimana biasa.
        Begitulah seterusnya “cerita roman” ini menarik pembacanya menurut peruntungan Hay bin Yaqdzan dari kecil menjadi muda remaja, sampai berumur lanjut, berpaham masak.
        Berkat penglihatannya yang jernih, pendengarannya yang nyaring, perasaan dan akalnya yang tajam, dapatlah Hay bin Yaqdzan dengan pengalaman sendiri bermacam-macam ilmu: berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dll. Dan tiap-tiap kepintaran dan pendpat baru itu, diiringi oleh bermacam pemandangan-pemandangan falsafah dalam roman itu.
        “Amatlah duka hati hay bin Yaqdzan apabila kambing yang menyusukannya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Dicobanya memeriksa, apakah gerangan yang menyebabkan sakit itu. Dan setelah kambing hutan itu mati, diperiksanyalah kalau-kalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada binatang tersebut.
        Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya sampai tajam, diselidikinya bangunan dan susunan jantung (pelajaran anatomi).
        Timbullah perasaannya, bahwa adalah sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu, yaitu sesuatu yang tidak bersifat maddah, tapi bersifat lebih halus dari itu, yakni ruhani yang apabila berhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup…”
        Ibnu Thufail membagi romannya atas beberapa bahagian menurut tingkat ilmu pengetahuan yang didapat Hay bin Yaqdzan dengan berangsur-angsur.
        Fasal yangpertama,menerangkan betapa ia sampai tahu, bahwa tiap-tiap yang “baharu” itu, tidak boleh tidak berkehendak kepada yang “membaharukan” atau mengadakan.
        Bahwa tiap-tiap bangun atau rupa yang ada pada suatu barang, pada hakikatnya tidak lain melainkan suatu persediaan yang ada pada barang itu.
        Seumpama air yang tadinya mengambil bangun bejana yang ditempatinya, jadi berubah bangunannya menjadi uap, yang dapat bergerak, bilamana dipanaskan. Demikianlah tiap-tiap barang itu dapat berubah-ubah. Maka keadaan cocoknya sesuatu barang dengan suatu macam perubahan atau pergerakan itu, adalah tertentu pula, dan tidak dengan perubahan yang lain dari itu. Yang demikian adalah disebabkan oleh persediaan (isti’dad) yang telah diberikan kepada masing-masing barang itu. Dari sini ia mendapat kenyataan, bahwa perubahan atau pergerakan, taupun “bentuk” dari salah satu barang, pada hakikatnya bukanlah kepunyaan barang itu sendiri, melainkan kepunyaan satu Fa’il yang menjadikan barang itu berubah atau “berbuat”, menurut persediaan yang telah diberikan kepada masing-masing barang itu.

Disini, sampailah Hay bin Yaqdzan kepada ma’na:
         “Maka kamu tidak membunuh mereka, tapi allah-lah yang membunuh mereka; dan tidaklah engkau yang memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah” (Q.s. Al-Anfal: 17).


Wajibul-Wujud
        Dengan tiada berhentinya Hay bin Yaqdzan memperhatikan dan menyelidiki alam sekelilingnya, alam maddah, alam tumbuh-tumbuhan dan alam hewan. Ditujukannya perhatiannya kepada langit yang bertaburan dengan bintang yang tidak terbilang, kepada matahari san bulan yang beredar menurutkan undang-undang yang tertentu. Ditujukannya pemandangannya kepada badannya sendiri yang penuh berisi keindahan dan rahasia-rahasia yang mena’jubkan…!
      Maka sampailah Hay bin Yaqdzan kepada keyakinan bahwa semua itu menjadi bukti yang tak dapat diingkari akan adanya Tuhan yang menjadikan sekalian itu, yang dia namakan: “Al-Wajibul Wujud Jalla wa Ta’ala.

Bertemu dengan Asal
        Setelah berumur 35 tahun barulah Hay bin Yaqdzan berjumpa dengan manusia, yakni seorang alim bernama Asal yang telah mengasingkan diri, lantaran kesal melihat keadaan kaumnya yang mengaku beragama Islam, tetapi pada hakikatnya jauh dari pada itu, bodoh dan jumud dalam pengertian agama dan rendah hawa nafsunya lagi tenggelam dalam lembah kebendaan.
       Setelah Hay bin Yaqdzan bergaul sedikit masa dengan alim ini, dapatlah dia mengerti dan memakai bahasa Asal. Maka bercakap-cakap dan bertukar fikiranlah ahli akal dan ahli agama ini. Ternyatalah bahwa keduanya satu paham dan satu tujuan, tak bertentangan pendapat mereka.
       Terbitlah keinginan Hay bin Yaqdzan hendak pergi bersama-sama dengan Asal kedalam masyarakat hidup manusia, untuk mencoba-coba memberi penerangan kepada mereka.
       Sungguhpun Asal tidak yakin akan hasil pekerjaan yang dirancangkan Hay bin Yaqdzan, lantaran mengingat pengalamannya sendiri dimasa yang sudah-sudah, tapi diterimanya jugalah anjuran sahabatnya itu dan pergilah mereka berdua kenegeri Asal.
       Didorong oleh cita-cita yang tinggi, mulailah Hay bin Yaqdzan bekerja memimpin manusia, kejalan yang hak.
       Akan tetapi alangkah kecewanya setelah dia melihat, manusia tidak hendak mendengar seruannya sedikit juapun.
      “Harta benda yang mereka kejar telah menutup hati mereka sebagai kerat menutup besi”.
       Disinilah ahli akal ini menjadi ta’jub mengingatakan pekerjaan Muhammad s.a.w. yang datang menyampaikan firman Allah s.w.t. kepada manusia dan dapat diterima oleh segenap lapisan umat.
       Setelah keduanya putus asa, maka meminta dirilah keduanya kepada raja, hendak kembali kepulaunya, mengasingkan diri kembali dari masyarakat hidup, untuk beribadat kepada Allah.
       Alangkah halusnya tamsil yang dipakai oleh Ibnu Thufail, menggambarkan kepada pembaca bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu, ialah suatu bahagian dari fitrah manusia yang tak dapat dimungkiri dan bahwa akal yang sehat, tidak dapat tidak tentu akan sampai kepada pengakuan adanya dan akan tunduk kepada “wajibul-Wujud” Jalla wa Ta’ala itu, cukup dengan memperhatikan alam sekelilingnya saja.

       "Tidakkah mau mereka melihat kepada unta, bagaimana unta itu dijadikan; dan kepada langit bagaimana ia ditinggikan; dan kepada gunung bagaimana gunung itu didirikan, dan kepada bumi bagaimana ia dihamparkan. Maka beri ingatlah manusia (hai Muhammad) engkau, adalah seorang Pemberi-ingat”, (Q.s. Al-Ghasyiyah: 17-21).

Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan peredaran malam dan siang itu terdapat beberapa tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali-‘Imran: 190).

       Dalam pada itu diperlihatkan pula, bagaimana semata-mata akal yang sehat saja, yang ditamsilkan dengan dirinya Hay bin Yaqdzan belum cukup untuk mengetahui adanya Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, masih belum cukup untuk mengatur satu susunan cara pergaulan terhadap kepada sesama manusia dan cara peribadahan terhadap Allah s.w.t. yang dapat diterima dan dijalankan oleh sekalian golongan manusia.
        Sebaliknya, diperlihatkan pula bagaimana besar bahayanya bilamana agama itu sudah dijadikan orang sebagai gerakan bibir semata-mata, bilamana orang yang mengaku Muslim sudah masuk kejurang kejahilan dan hubbuz-zat (materialisme) dan sudah tidak mengerti akan isi dan tujuan peraturan-peraturan agama itu.
        Hay bin Yaqdzan (Akal) berjabat tangan dengan Asal (Agama) sebagai menamsilkan sabda Rasulullah s.a.w.; “Agama itu ialah akal; tak ada agama bagi seseorang yang tidak berakal” (Al-Hadits).
        Hay bin Yaqdzan dan Asal mengundurkan diri dari masyarakat dahriyin itu! Apakah ini bukan berarti sindiran dan peringatan terhadap kepada kebanyakan orang yang memegang kekuasaan negeri pada masa itu, betapa akibatnya nanti apabila ahli agama dan ahli hikmah tidak dipedulikan, dan diabaikan saja pekerjaan mereka, akhirnya mendatangkan kerugian dan kerusakan kepada masyarakat hidup.
         Sekianlah sedikit petikan dari taman-falsafah kaum Muslimin dizaman-keemasan itu, yang sampai sekarang meninggalkan bekas dalam aliran perpustakaan Barat dan mempunyai sifat tersendiri dalam perpustakaan falsafah.

Dekemukakan sekedar pemanggil minat dan perhatian Pemuda Islam, Angkatan baru!



Dari Pedoman Masyarakat.



[1] “Hay bin Yaqdzan” terbit pertama kali dalam bahasa Latin, terjemahannya pada tahun 1671 oleh Eduard Pocok, dengan nama “Philosophus autodidactus”.
[2] Ibnu thufail, juga telah membukakan pintu istana amir Yusuf Abi Ya’cub bin ‘Abdilmu’min untuk Ibn Rusyd.
[3] “…sans contest!’un des liveres les plus curieux du moyenage” (Carra de Vaux).

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023