MUHAMMAD DAN CHARLEMAGNE
NOPEMBER 1938
Ditengah bermacam-macam tuduhan dan celaan yang dilemparkan oleh mereka yang sontok fikiran dan ta;assub agama terhadap Islam dan Rasulnya Saidina Muhammad s.a.w., terdengarlah suatu suara dari kalangan yang sesungguhnya tidak disangka-sangka, yang amat berlainan, bahkan boleh dikatakan berlawanan sangat dengan yang sudah biasa didengarkan oleh kaum Muslimin dari kalangan Nasrani dan “netral-agama” selama ini. Suara itu bukanlah satu suara yang terbit dari hati yang chizid dan dengki, bukan pula terpengaruh oleh salah satu keta;assuban agama, melainkan terbit dari satu penyeledikan dan pemeriksaan yang lama, teliti dan adil serta dengan keberanian menantang dan membongkar apa yang seelama ini dianggap orang banyak sebagai satu kebenaran yang berdasar kepada ilmu-pengetahuan yang tidak perlu dibanding lagi.
Ialah suara yang diserukan oleh seorang yang berhak menamakan dirinya Iahli, dan memang diakui demikian, yakni Iprof. Henri Pirenne bekas Profesor pada universitet di Gent, anggota dari ”I’ Academie Royale de Belgique”, dalam kitabnya “Mohomet et Charlemagne”. Dengan membawakan alasan riwayat yang lengkap, didorong pula oleh keberanian mengemukakan kebenaran, Prof. Pirenne memperbandingkan dua orang pahlawan yang meninggalkan bekas dalam riwayat dunia, yakni: Muhammad s.a.w, dan Charlemagne.
Permulaan Zaman Pertengahan
Adapun yang jadi pokok perbincangannya ialah masalah,”permulaan Zaman-Tengah”. Sebagaimana kita ketahui, umum orang menganggap bahwa permulaan “Zaman-Tengah” ialah diwaktu Kerajaan roma Barat jatuh kedalam tangan bangsa Jerman pada akhir abad ke 5. Ijma’ semua ulama tarich tentang ini, pun begitu juga yang kita pelajari dibangku sekolah.
Paham inilah yang dibongkar oleh Henri Pirenne. Dimulainya menjawab pertanyaan: Apakah sebenarnya yang menjadiukuran untuk menentukan batasnya Zaman-Purbakal dengan Zaman-Tengah? Dibentangkannya dengan jelas bahwa jatuhnya Kerajaan Roma Barat ketangan bangsa Jerman tidaklah membawa perubahan-perubahan besar. Betul kepala-kepala dari bangsa Jermania telah menduduki singgasana raja-raja rumawi, akan tetapi sekedar pertukaran orang yang duduk itulah hanya perubahan yang datang. Perekonomian, perdagangan, peradaban, kesenian dan keagamaan tetap sebagaimana sediakala.
Dengan amat tepat Prof. Pirenne memperbandingkan kedatangan bangsa Jermania dengan kedatangan bangsa Arab. Setelahnya bangsa Jermania dapat menduduki singgasana Rumawi, dan setelah semua perkelahian dan peperangan dihabisi, maka bangsa yang mendapat kemengan itu bertukar sifat dan peradabannya dengan sifat dan peradaban bangsa yang ditaklukkan, dan mereka hilanglah berangsur-angsur seolah-olah diisap oleh masyarakat rumawi untuk meneruskan peradaban Rumawi lama itu.
“Le Germain se romanise des qu’il est conquis par I’Islam”, “Orang Jermania jadi rumawi setelahnya dia masuk kenegeri Roma, sebaliknya orang rumawi menjadi ke-Araban setelahnya dia ditaklukkan Islam”.
Demikianlah perbandingan pendek tetapi tepat sekali, yang diberikan oleh ahli riwayat tersebut antara kedua sifat penaklukan ini.
Dengan masuknya Agama Islam, timbullah satu dunia yang baharu disekitar Laut Tengah, yang tadinya berpusat kekota Roma sebagai sumber peradaban dan kebudayaan. Sampai kemasa kita sekarang ini, - demikian Pirenne meneruskan keterangannya -, masih tetap ada perpecahan dengan masuknya Islam ke Eropah Selatan ini. Semenjak itulah Laut Tengah menjadi pertemuan dua barisan lasykar peperangan dibarisan depan.”
“Lautan Tengah yang tadinya menjadi “Hoofdkwartier” dari keagamaan dan peradaban Barat, semenjak itu menjadi “front” digelanggang perjuangan. Dengan kedatangan Islam, pecahlah benteng yang kokoh selama ini.”[1]
Benteng Agama dan Keimanan
Ada satu hal lagi yang harus mendapat penyelidikan lebih jauh dalam hal ini. Bangsa Jermania yang menyerbu ke rumawi itu, yang bilangannya lebih besar dari orang Islam yang menyerbu nantinya, tidak dapat menaklukkan ruhani bangsa rumawi itu, walaupun kekuatan jasad dan kekuatan material lain-lain ketika itu ada ditangan bangsa Jermania itu. Malah sebaliknya bangsa Jermania itulah yang ditelan oleh bangsa yangditaklukkan itu, seperti diterangkan diatas.
Kenapakah bangsa Arab yang membawa Agama Islam tidak demikian halnya setelah berhadapan dengan bangsa rumawi itu? Hanya satu jawabnya pertanyaan ini, yakni: Orang Jermania masuk dengan senjata pedang dan kekerasan jasad semata-mata, sedang orang Islam masuk dengan senjata-jasmani yang didampingi oleh senjata-ruhani.
Bagi orang Islam bilamana jihad jasmani telah selesai dan semua senjata telah diletakkan, disana dimulainyalah jihad-ruhani yang mempunyai taktik, strategi, cara-cara dan senjata yang tersendiri pula.
Maka akan kalahlah satu kaum yang tidak atau lemah “senjata ruhani”-nya ini, walau mereka telah duduk diatas singgasana kekuasaan sekalipun.
Oleh bangsa Jermania tidaklah ada satu senjata apapun yang dapat dimajukannya penangkis Agama Kristen rumawi, tetapi bangsa Arab mempunyai kekuatan semangat yang berkobar kobar dari satu keimanan yang baharu.”[2]
Senjata ruhani inilah yang menyebabkan kita orang Timur, yang walaupun bagaimana hebatnya ditindas oleh bangsa Barat, tapi tetap tidak dapat dihancur-leburkannya kebudayaan dan peradaban kita oleh orang Barat itu sampai sekarang.
Tetapi, orang Baratpun sekarang mempunyai kedua macam senjata itu pula, yakni senjata-jasmani dan.., senjata-ruhani yang berupa agama. Maka akan lebih-lebih hancur-leburlah satu bangsa apabila disamping mereka tidak mempunyai kekuatan jasad, sudah hilang pula senjata-ruhani yang ada dalam dada mereka, sebagaimana orang Jermania hancur-lebur ditelan kebudayaan rumawi dalam riwayat itu.
Charlemagne
Dimanakah terletaknya kebesaran Charlemagne itu? Tak lain ialah lantaran Raja yang besar ini mafhum bahwa senjata ruhani tak dapat ditaklukkan dengan pedang terhunus, akan tetapi harus dilawan dengan senjata ruhani pula. Maka dikerahkanyalah lasykarnya menahan serangan Islam, tidak saja dengan menghadapi tentara Islam dimedan perang tetapi juga dengan menyusun organisasi pengeristenan yang teratur. Didirikannya pendidikan-pendidikan Kristen, diperintahkannya rakyatnya memeluk Agama Kristen dengan selekasnya, malah kalau perlu dengan paksa!
Sejak itulah baru boleh disebutkan pada perubahan besar di dunia Barat, dan disaat itulah mulainya Zaman-Tengah, - demikian pendapat Prof. Henri Pirenne. Ditutupnya pemandangannya tentang ini dengan” “Il est donc rigoureusement vraie de dire que sans Mahomet Charlemagne est inconcevable”, “Oleh karena itu adalah satu kebenaran, yang tak dapat dibantah lagi bahwasannya kalau sekiranya tak adalah Muhammad, tak dapatlah dibayangkan akan adanya charlemagne…!”
Agak berlainan terdengarnya pendapat yang berdasarkan penyelidikan yang jujur dan penuh keberanian yang dikemukakan oleh seorang ahli tarich seperti Henri Pirenne ini, dari suara-suara yang kerap kali terdengar oleh kita dari pihak muarrich-muarrich selama ini.
Dari Panji Islam.
No comments:
Post a Comment