MENUJU KOORDINASI PERGURUAN-PERGURUAN ISLAM
JULI 1938
Cita-cita
untuk mengadakan koordinasi atau persamaan rencana pelajaran dalam
perguruan-perguran Islam yang bertebaran diseluruh negeri kita, yang didirikan
atas kemauan rakyat dan didorong oleh kemauan rakyat itu, memang suatu
cita-cita yang bukan baru lagi.
Dari salah seorang teman di Sumatera
Barat pernah kita mendengar, kira-kira dua tahun yang lalu, bahwa sudah mulai
dianjurkan disana menciptakan maksud tersebut. Mudah-mudahan sekarang sudah
berhasillah hendaknya, sungguhpun belum terdengar benar kabar tentang hasilnya
cita-cita yang mulia itu. Tuan Dr .
Satiman, promotor dari pendirian Sekolah Tinggi Islam di Solo
juga sudah memberi sedikit anjuran dalam salah satu artikelnya, dimana beliau
telah memakai perkataan: “coordinair”. Yakni supaya rencana pelajaran
perguruan-perguruan Islam dinegeri kita ini dapat disusun menurut garis-garis
yang tentu, agar dapat menjadi dasar yang baik untuk sekolah tinggi yang sedang
beliau usahakan sekarang itu. Tuan Z. Usman, mudarris Tsanawiyah di Talu,
Seumatera Barat, telah memberi
pemandangan panjang tentang perluannya perbaikan pelajaran dalam
perguruan-perguruan kita itu dalam Panji Islam beberapa nomor yang lalu. Dan
baru-baru ini kita mendapat kabar bahwa di Palembang
telah didirikan satu badan untuk menyusun rencana pelajaran sekolah-sekolah
agama yang ada di Palembang .
Syukurlah!
Maka sudah patut kita menyelidiki
masalah ini lebih lanjut untuk melakukan langkah-langkah yang perlu dalam
jurusan ini. Sebab soal ini bukan lagi soal salah satu atau dua daerah,
melainkan mengenai kepentingan seluruh kaum Muslimin, diseluruh kepulauan Indonesia . Tetapi belumlah dimaksud
dengan artikel ini satu rencana yang lengkap dengan seluk-beluknya, melainkan
sekedar membentangkan garis besar yang perlu kita perhatikan sebagai dasar
menciptakan rencana lengkap kelaknya, sambil menyelidiki dua tiga hal yang
mungkin menjadi alangan, yang harus sama-sama kita hindarkan.
Persamaan dasar dan tujuan
Koordinasi dalam pelajaran dan didikan dengan arti
yang luas, hanya dapat berlaku, bilamana ada persamaan dasar dan persamaan
tujuan dari perguruan-perguruan yang hendak dilingkungi oleh koordinasi itu.
Sudahkan ada persamaan dasar dan tujuan itu dalam sekolah-sekolah kita?
Tak syak lagi, sudah lama ada!
Sekiranya orang bertanya kepada pemimpin-pemimpin
sekolah agama kita, dari Sabang sampai ke Endah (Ende ?), dari Balikpapan
sampai ke Cilacap, dari kota-kota yang besar sampai ke dusun-dusun “apakah
dasar dan cita-cita dari pendidikan yang tuan berikan?, maka sudah tentu akan
mendapat jawaban, pendek ataupun panjang, dapat disimpulkan dengan: “Dasar
didikan kami ialah Tauhid, yang tersimpul dalam dua kalimah syahadat,
Tauhid, yang menjadi pokok dari kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari
kemajuan dan kecerdasan manusia. Tujuan didikan kami ialah mendidik anak-anak
kami, agar sanggup memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia sebagai yang
tersimpul dalam kalam Allah: “Wabtaghi fima ata-kallahud-daral-achirata, wa la
tansa nashi-baka minad-dun-ya”…, supaya anak-anak kami itu dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban yang perlu pencapai tingkat “hamba Allah”, yakni
setinggi-tinggi derajat yang menjadi tujuan hidup bagi tiap-tiap manusia
menurut keyakinan Muslimin, sebagaimana yang terlukis dalam firman Allah: “wama
chalaqtul-jinna wal ins illa laya’buduni”. Begitulah jawaban yang akan kita
dengar lebih kurang, disegenap perguruan-perguruan kita yang berdasar Islam.
Persamaan masyarakat
Kalau ada satu pekerjaan yang amat
bersangkut-paut, berjalin berkelindan (berhubungan) dengan masyarakat hidup,
adalah pekerjaan dalam perguruan dan pendidikan salah satu dari padanya, yang
terutama. Sia-sialah perguruan apabila putus perhubungan antara sifat didikan
yang diberi dengan kehendak dan keperluan masyarakat yang akan menyambut
murid-murid yang telah dapat didikan itu kelaknya.
Beberapa puluh tahun yang lalu, negeri kita masih
terpisah-pisah, hampir tak ada hubungan antara satu daerah dengan daerah yang
lain, masih boleh kita katakan, bahwa pergaulan hidup kita terbagi atas
beberapa macam masyarakat yang berlain sifat dan kehendaknya. Akan tetapi
sekarang, dimasa Indonesia sudah memakai beberapa macam hasil kemajuan tehnik,
dimana perhubungan darat, laut dan udara, usdah mendekatkan sangat
daerah-daerah yang bertebaran tadinya itu, dimasa Indonesia seluruhnya sudah
masuk dalam genggaman perhubungan dunia, maka sesungguhnya tidaklah
mungkin lagi kita terus mempertahankan sifat bernafsi-nafsi menurut moto, yang
salah pasang: “Lana a maluma wa lakum a malukum” dengan menutup mata
kepada apa yang terjadi disekeliling kita, dengan tidak hendak memperhatikan
apakah yang harus iubah, ditambah dan diperbaiki dalam pendidikan anak-anak
kita yang bakal masuk kedalam masyarakat yang demikian sifatnya itu.
Masyarakat kita telah mempunyai garis-garis besar
tertentu dalam kehendak dan keperluannya kepada pendidikan kandidat-kandidat
anggota masyarakat itu, sebab itu perguruan-peruguruan kita harus pula
mempunyai garis dan rencana yang tertentu pula dalam ragam ilmu dan tehnik pelajarannya.
Persamaan agama ilmu
dan tehnik pelajaran inilah yang belum ada. Akibatnya sudah
sama-sama dirasai! Berapa banyak murid-murid sekolah kita yang terlantar
pelajarannya, bila mereka terpaksa pindah dari satu tempat ketempat yang lain.
Terkadang-kadang tak tentu kelas mana yang akan dimasuki, lantaran beberapa vak
amat ketinggalan dan pada beberapa vak yang lain sudah terlampau lanjut. Disana
panjang, disini senteng (pendek). Keadaan yang semacam ini banyak sedikitnya
mengurangkan kepercayaan ibu-bapa murid kepada umumnya pelajaran dalam
perguruan-perguruan agama ita itu. Patutlah kita berkeluh-kesah karena
kekurangan penghargaan orang atas usaha kita itu?
Bukan kita tidak memberi pelajaran yang baik, akan
tetapi kurang memberi jaminan dan ketenteraman hati terhadap kepada ibu-bapa
murid, lantaran kekurangan kita menjaga perhubungan yang rapat diantara
pelajaran satu sekolah dengan sekolah yang lain.
Dipandang dari pihak dasar dan tujuan, sudah nyata persatuan kita. Ditilik dari perhubungan masyarakat dan pendidikan, sudah terang persamaan kita. Dilihat dari tehnik dan susunan pelajaran, disana kita berpecah-belah. Apakah gerangan yang
mungkin menjadi alangan untuk mengadakan persatuan usaha dalam rukun yang
ketiga ini? Kelihatannya alangan yang berupa ranjau-ranjau besar tidaklah ada.
Barangkali, kalau ada, hanya dua-tiga “duri” yang berkecil-kecil, yang tentu
dapat disingkirkan dengan kemauan bersama.
Sifat terkhusus
Salah satu dari yang menjadi alangan ialah,
kekuatiran, kalau-kalau persamaan itu
akan merusakkan sifat yang terkhusus atau arah (richting) yang sudah
dicita-citakan atau ditetapkan oleh pendiri dan pemimpin, bagi sekolahnya
masing-masing. Kekuatiran ini memang telah ma’qul. Sebab sekolah-sekolah itu
galibnya didirikan oleh mereka yang mempunyai inisiatif. Bukan oleh orang yang “pak-turut”,
berhuru-huru, bersekolah orang bersekolah kita, melainkan oleh orang yang hidup semangat. Sudah tentu
inisiatif mereka itu mengandung satu-dua maksud yang terkhusus bagi pekerjaan
yang mereka usahakan.
Sungguhpun ma’qul,
hal ini sebenarnya tak usah sekali-kali menjadi halangan untuk ikhtiar mempersatukan usaha dalam hal yang
lain, yang sekira-kiranya mungkin dipersamakan. Semua ini akan ternyata,
bilamana semua ini telah dipelajari dan diperbincangkan. Sekiranya barang yang
hendak dipertahankan itu memang baik sifatnya, tentu tak akan usah dikuatirkan
paksaan dari manapun, yang akan bisa menghapuskannya. Malah tidak mustahil,
bahwa barang yang baik itu, dapat diperlebar dan disiarkan lebih luas oleh
teman sekerja ditempat lain untuk kesempurnaan didikan semuanya anak-anak kita Muslimin, sabab: bukanlah dasar sama, tujuan satu?
Koordinasi bukan Normalisasi
Jangan kita lupakan, bahwa koordinasi itu bukan
satu banjir besar yang akan menghancurkan dan mengikis semua yang ada, dan
mendirikan satu barang yang baru sama sekali. Koordinasi dalam kalangan didikan itu tidaklah bisa
disamakan dengan normalilasi dalam
kalangan tehnik dan industri. Lantaran yang menjadi bahan dalam kalangan didikan bukanlah kayu, atau semen
atau salah satu logam yang hendak ditetapkan sama rata berapa panjang, lebar
dan tebalnya. Melainkan manusia yang hidup, yang mempunyai, disamping beberapa
sifat-sifat yang umum, beberapa sifat dan tabiat yang terkhusus pula. Sifat dan
tabiat yang tak dapat, dan memang tak boleh dibentuk dan dicetak seperti tanah
liat yang dijadikan belanga.
Sekali lagi kita tidak hendak memungkiri akan
adanya “sifat terkhusus” yang
dicita-citakan oleh tiap pendiri dan pemimpin sekolah. Dan kalau sudah diselikiki
lebih lanjut, akan ternyatalah bahwa disamping “sifat terkhusus” itu
masih luas lapangan pekerjaan yang bisa dan harus kita atur bersama mengingat kepentingan anak-anak
kita yang kita didik, supaya jangan banyak tenaga yang hilang percuma.
Kalau kita menolah kekanan dan kekiri, akan
kelihatanlah di negeri orang lain, seperti di Negeri Belanda umpamanya, bahwa
sebahagian besar dari perguruan mereka dipegang oleh partikelir. Dari pelajaran rendah, menengah dan sampai
kepada universitetnya. Didirikan oleh bermacam-macam golongan: Katolik,
Protestan dengan bermacam-macam mazhabnya pula: Doopsgezinden, Adventisten,
Pinskstergemeent, Calvinisten dan lain-lainnya. Masing-masing mempunyai “sifat terkhusus” akan tetapi
pandai dan mungkin mereka mempersatukan isi dan rencana pelajaran. Pandai dan
mungkin mereka mengadakan pada saat-saatnya yang tertentu satu “Algemeen
Onderwiys Congres” dengan tidak memandang mazhab agama dan partai politik.
Kita percaya, bahwa dalam kalangan kita
Musliminpun tak akan mustahil diciptakan yang demikian itu dengan tenaga
bersama. Lantaran kita yakin, bahwa dalam kalangan kita kaum Muslimin masih banyak pula orang-orang
yang cukup “pandai memberi”, “suka
menerima”, sebagai salah satu syarat manusia bergaul dan
bermasyarakat.
Masalah Chilafiyah
Perbedaan paham tentang dua-tiga masalah chilafiyah barangkali masih ada, dan
barangkali belum akan kunjung habis. Kita dari golongan perguruan Islam seringkali tak mungkin menutup mata sama
sekali terhadap pada peristiwa ini, lantaran sifat dan lapangan pekerjaan kita
sehari-hari tidak mengizinkan kita bersikap tidak acuh terhadap soal ini.
Sebaliknya jangan kita lupakan bahwa hampir 100% dari masalah-masalah yang kita
berbeda paham dalamnya, adalah dalam sebahagian urusan-urusan ibadat. Dan yang
berhubung dengan ibadat itupun hanya dalam dua atau tiga bab dari fiqhnya,
tidak tentang pokok-pokoknya. Dan fiqh adalah baru sebahagian dari ajaran Islam
yang begitu luas dan dalam. Kenapakah lantaran perbedaan paham ditentang dua
atau tiga masalah itu, kita akan lari dari menjatuhkan fikiran dan usaha dalam
memberi pelajaran dan didikan kepada anak-anak kita tentang ‘akaid, akhlak,
mu’amalah, dan lain-lain ajaran dan hikmah Islam, serta bermacam-macam pokok
kecerdasan yang bersifat keduniaan lagi?
Kita dari golongan perguruan Islam, yang
seharusnya cakap dan pandai mendudukkan sesuatu pada tempatnya dan tahu pula
memperbedakan cabang dengan
carang, kenapakah kita gentar
akan adanya pertukaran huddyah dan mubahatsah dalam kalangan kita
kaum Muslimin, -yang mana pada hakikatnya adalah satu tanda dari kehidupan
ruhani pula-, sehingga antara kita, satu sama lain dibiarkan menjadi putus
perhubungan sama sekali. Walaupun
bagaimana, anak-anak kita yang sedang kita pimpin, tak pantas dan
tak boleh mendapat kerugian lantaran
sentimen keengganan kita, karena diatas kita menjatuhkan tenaga itulah terletak
nasib kaum Muslimin dihari depan!
Kita ada keyakinan bahwa bermacam-macam “dari” sebagai yang kita sebutkan
diatas, moga-moga sekarang tidak akan menjadi alangan lagi untuk mencapai
cita-cita yang sama-sama kita hadapi ini. Pekerjaan kita yang berat ini
menghendaki kurban jasmani dan ruhani, termasuk kurban perasaan, yang dari
sehari-kesehari lebih besar dari yang sudah-sudah. Kita wajib bersedia memberinya
setiap waktu, kalau betul kita tidak rela sama-sama karam ditengah,
ditertawakan oleh orang lain, oleh golongan asing yang cakap berlayar terus
dalam kapal mereka yang tangkas dan laju, lantaran mereka pandai mencukupkan
rukun, bijak pula menyusun tenaga. Tak pernah satu kemenangan yang besar dapat tercapai kalau tidak dengan kurban yang setimpal besarnya
dengan kemenangan itu. Dan kesempurnaan
didikan anak-anak kita yang bakal timbul adalah satu kemenangan
yang agung, tapi yang wajib kita
mengeluarkan sebesar-besar kurban
untuk pencapainya!
Kita dari kalangan perguruan Islam
yang sudah dikenal orang sebagai satu golongan yang tidak asing lagi dari
pengertian berkurban, berkurban harta, tenaga, umur, kepentingan diri dan
lain-lainnya, tentu sesaatpun tak kan enggan pula, bilamana pekerjaan dan
cita-cita kita itu pada satu ketika meminta supaya kita kuat dan berani mengurbankan “perasaan hati”, yang
pada hakikatnya berkecil-kecil, akan tetapi sampai sekarng amat menghalangi
tiap-tiap langkah yang dianjurkan kejurusan persatuan usaha dalam kalangan
perguruan-perguruan kita itu.
Deduktif dan Induktif, Kelas-Jambatan (Brugklasse)
Bilamana sudah ada badan yang akan menjadi pusat
permusyawaratan, maka ada dua-tiga pula cara untuk memenuhi usaha koordinasi
itu. Dari atas, yang barangkali boleh dinamakan “deduktif”, atau dari bawah, “induktif.”
Cara yang pertama, umpamanya: Perguruan tinggi
menawarkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat studen yang akan
diterima. Berdasar kepada tawaran itu. Perguruan Menengah mengatur rencana
pelajarannya yang sepadan dengan itu. Sesudah itu terus pula menawarkan kepada
Perguruan Rendah, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat-kandidat
murid Sekolah Menengah nantinya. Dengan begitu rencana pelajaran segenap lapisan
dapat tersesusun.
Cara yang kedua: Pemimpin-pemimpin Perguruan
Rendah memulai merancangkan satu rencana
pelajaran yang sedapat-dapatnya diturut oleh kalangan Sekolah-sekolah Rendah.
Rancangan itu diperbincangkan dengan wakil-wakil Perguruan Menengah, dan
setelahnya musyawarat itu menghasilkan satu buah yang tertntu, maka dapatlah
Perguruan Menengah mendasarkan rencana pelajarannya atas rencana pelajaran
Perguruan Rendah itu pula. Dan seterusnya menjadi kewajiban pula bagi Perguruan
Menengah menyediakan kesempatan bagi murid-murid yang hendak menyambung
pelajaran ke Sekolah tinggi.
Maka salah satu dari cara yang dapat mengatasi
tiap-tiap “sifat yang terkhusus”
yang ada dari salah satu Sekolah Menengah, - sekiranya ada-, ialah: Perguruan
tinggi Islam menetapkan beberapa syarat untuk masuk didalamnya. Berdasar kepada
tawaran ini dan kepada rencana Perguruan Menengah yang sudah ada, Perguruan
Menengah mengadakan satu atau lebih, akan satu kelas yang spesial untuk
melengkapkan vak-vak yang perlu, yang ditawarkan oleh Sekolah Tinggi itu untuk
murid-murid yang perlu, yang ditawarkan oleh Sekolah Tinggi itu untuk
murid-murid yang tamat dari Sekolah Menengah. Rencana pelajaran dari Kelas
Jambatan ini ditentukan dengan permusyawaratan antara Perguruan Menengah dan
Perguruan tinggi. Malah sebaiknya, kalau Kelas Jambatan itu berada dalam
pimpinan dan pengawasan Perguruan Tinggi tentang pelajarannya. Tiap-tiap tahun
Perguruan tinggi mengirimkan ujian kepada Sekolah-sekolah Menengah yang
mempunyai Kelas jambatan itu, untuk ujian masuk Sekolah tinggi. Tidak usah
tiap-tiap Sekolah Menengah mengadakan Kelas Jambatannya. Cukup dengan
ditunjukkan satu Sekolah Menengah yang mempunyai kesempatan dan kemungkinan
yang lebih luas, untuk satu daerah pelajaran. Kesanakah berkumpul murid-murid
lepasan dari Sekolah-sekolah Menengah Islam didaerah itu yang hendak meneruskan
pelajarannya di Sekolah tinggi kelak. Dengan jalan begini ada harapan Sekolah
tinggi Islam akan bisa menerima murid-murid yang lebih homogeen, sama
tingkat pengetahuannya, untuk diterimanya jadi studennya.
Dengan begini “sifat terkhusus” dari Sekolah-sekolah Menengah Islam kita itu
tetap terjamin, sedang persatuan usaha dan koordinasi pelajaran untuk masuk ke
Sekolah tinggi Islam dapat pula dicapai.
Disini bertambah nyata kepada kita bahwa
sesungguhnya kesempurnaan Pengajaran Menengah kita itu, bukanlah kepentingan
Perguruan Menengah itu belaka, akan tetapi adalah salah satu kepentingan
Perguruan Tinggi yang tak dapat diabaikan, malah boleh kita katakan suatu syarat
yang utama untuk berdirinya. Cara yang kita kemukakan diatas ini bukanlah satu
buah khayal yang tak mungkin jadi, dan bukan pula satu cara yang orisinil, akan
tetapi satu cara yang telah bertahun-tahun berjalan dalam kalangan perguruan
orang lain. Umpamanya Universitet Oxford
tiap-tiap tahun tetap mengadakah perhubungan langsung dengan berpuluh sekolah
partikelir yang bertebaran diseluruh negeri dengan mengirimkan
“examenopgave”-nya kepada sekolah-sekolah itu dengan perantaraan Duta atau
Konsul yang ada dinegeri itu. Menurut keterangan yang kita dapat, dari Bandung
umpamanya, tak kurang dari 4 atau 5 orang murid saban tahun dapat dikirim dari
satu Sekolah Menengah partikelir dengan jalan begitu, ke Universitet tersebut.
Kalau sudah diatur dengan cara organisai pula, tentulah hal yang demikian bukan
satu barang yang mustahil mengadakannya dalam kalangan ita.
Diferensiasi
Apabila sudah mulai berjalan, sudah tentu dalam
prakteknya tak berlaku semudah apa yang kita lukiskan diatas itu semuanya.
Tentu akan bertemu dengan bermacam-macam masalah lain, yang tak kurang
sulitnya. Akan bertemu umpamanya disamping masalah koordinasi ini, masalah diferensiasi,
yakni masalah pembahagian pekerjaan dalam perguruan, kearah vak masing-masing
yang tertentu. Tak syak lagi, bahwa semua pekerjaan ini akan lebih sempurna
bila dapat disertai oleh pengawasan dari Perguruan Tinggi Islam yang cita-cita
itu, dalam pekerjaan mana Perguruan Tinggi Islam itu bisa memancarkan
pengaruhnya keseluruh perguruan-perguruan itu, suatu hal yang sama-sama kita
harapkan.
Akan tetapi, andai kata yang demikian itu tak
kejadian, disitulah tempatnya Perguruan-perguruan Menengah dan
Perguruan-perguruan Rendah kita menyelesaikan urusan mereka bersama-sama. Sebab
dalam lapangan pendidikan kita, adanya Perguruan Tinggi Islam itu, sesungguhnya
satu langkah baru, yang walaupun harus disambut dengan gembira dan syukur, akan
tetapi sekali-kali bukan menjadi satu tujuan
yang terpenting sendirinya bagi usaha pendidikan kita, bukan satu
hal tempat menggantungkan nasibnya pendidikan anak-anak kita umumnya, yang
sudah diselenggarakan sampai sekarang. Perguruan
diselenggarakan bukan untuk
sekolah rendah autaupun tinggi, melainkan sekolah didirikan
untuk masyarakat hidup! Perguruan
Rendah dan Menengah yang teratur rapi dan cakap berbimbingan tangan antara satu
dengan yang lain, entah mana yang akan lebih besar manfaatnya untuk kecerdasan
bangsa kita, dibandingkan dengan bertambahnya satu-dua Sekolah Tinggi yang putus perhubungannya dengan pendidikan yang diusahakan rakyat. Apalagi
bila usaha ini tetap berpecah belah, bersimpang siur.
Disamping penghargaan yang tak akan kunjung
kurang, dan pengharapan yang tak akan kunjung putus terhadap kepada pendirian
Sekolah Tinggi Islam dinegeri kita ini, kita dari Perguruan Islam Rendah dan
Menengah jangan lupa, bahwa Perguruan Rendah dan Menengah sendiripun mempunyai
hak berdiri serta mempunyai kewajiban dan tujuan yang tertentu pula.
“Permusi!
Sekali lagi, bukan dimaksud oleh rencana ini satu rancangan koordinasi
yang lengkap seluk-beluknya.
Walaupun bagaimana, sesuatunya tak akan dapat
berlangsung, semuanya akan tinggal khayal dan cita-cita belaka, bilamana belum ada satu badan, yang bersedia
mengyunkan langkah pertama. Dan untuk inilah
kita berseru kepada teman sekerja kita dalam kalangan Perguruan
Islam umumnya, supaya sama-sama bersedia memajukan diri untuk mengumpulkan
tenaga sedikit seorang, pencapai cita-cita ini. Kita berseru kepada
pemimpin-pemimpin kita dalam kalangan perguruan Islam yang dijelang oleh seruan
ini, yang berilmu lebih tinggi dan berpengalaman lebih luas, supaya sudi pula
menyediakan diri berdiri didepan, memberi pimpinan dalam hal ini.
Kepada Pengemudi redaksi dan Administrasi Panji
Islam, kita harapkan sudilah mengirimkan satu naskah P.I.yang memuat seruan ini
kepada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin kita dalam perguruan Islam, karena
pada tempatnya kita menghadapkan seruan ini kepada beliau-beliau.
Mudah-mudahan mendapat perhatian yang sepadan pula
dengan soal yang penting, yang sama-sama kita hadapi. Dari ribuan pembaca P.I.
tentu ada ratusan yang duduk dalam perguruan-perguruan Islam. Dari teman
sekerja yang ratusan inilh kita harapkan supaya sudi sama-samaa menyambung
suara dan memperbincangkannya, dan menyatkan
persetujuannya menyokong pendirian badanyang kita cita-citakan
itu, umpamanya dengan mengirimkan
namanya tanda persetujuan kepadaa Redaksi majalah ini dan sedapat-dapatnya dengan sedikit
anjuran, dimanakah kira-kiranya baiknya didirikan untuk memulai langkah-langkah
yang perlu.
Kita percaya Pemimpin P.I. akan bersedia menjadi
salah satu badan perantaraan dalam urusan ini, agar mudah-mudahan lekas dapat
diciptakan satu: “Perikatan
Perguruan-perguruan Muslimin Indonesia ”,
atau dengan singkat “Permusi”.
Mudah-mudahan seruan ini tidak akan sia-sia.
Dari Panji Islam
No comments:
Post a Comment