Upaya Flipina Menekan Kelahiran
Yahoo! News – 03/10/2012
Oleh Karen Lema | Reuters
Manila (Reuters)
Presiden Filipina Benigno Aquino sedang berseteru dengan
institusi gereja Katolik yang sangat kuat di negara itu demi memberi akses
bebas terhadap cara-cara membatasi pertumbuhan jumlah anak.
Negara yang sangat dominan penganut Katoliknya memiliki
pertumbuhan jumlah populasi penduduk tercepat di Asia
bersamaan dengan tingkat kemiskinan yang kronis. Saat negara-negara tetangganya
sudah bergerak menuju kesejahteraan, pertumbuhan Filipina tersendat.
Ahli ekonomi mengatakan bahwa tingginya pertumbuhan populasi
menjadi faktor utama lambatnya kesejahteraan negara membaik, namun institusi
gereja tak setuju. Menurut mereka, pertumbuhan populasi bukanlah penyebab kemiskinan
dan orang-orang membutuhkan pekerjaan, bukan kontrasepsi.
Aquino, yang juga seorang penganut Katolik seperti halnya 80
persen populasi negara itu, sudah memberikan dukungan pada rancangan
undang-undang kesehatan reproduksi yang, jika disahkan oleh dua Kongres,
menjamin akses alat kontrasepsi gratis dan mempromosikan pendidikan seks.
Keduanya akan menguntungkan seseorang seperti Liza
Cabiya-an, jika saja dia mendapat kesempatan tersebut.
Cabiya-an, 39, punya 14 anak. Yang tertua berusia 22, dan
yang paling muda hanya berusia 11 bulan. Rumah mereka adalah sebuah pondok di
permukiman kumuh Manila.
"Susah jika Anda punya
anak sebanyak ini," kata Cabiya-an, senyum malu-malunya menunjukkan
giginya yang buruk. "Saya harus menghitung mereka sebelum tidur agar yakin
tidak ada yang hilang."
Dulu Cabiya-an sempat mendapat akses kontrasepsi, namun
walikota Manila Jose Atienza, seorang penganut Katolik yang taat, menyapu habis
alat kontrasepsi dari puskesmas di seluruh kota pada 2000.
Semenjak itu, upaya Cabiya-an untuk membatasi jumlah anggota
keluarganya jadi tersendat-sendat, terhambat oleh pemasukannya yang kecil.
Kadang-kadang dia menggunakan pil, dan lebih dari sekali melakukan aborsi
ilegal.
Dengan pemasukan 7600 pesos sebulan (Rp 1,7 juta) dari mencuci
dan gaji suaminya sebagai buruh harian, Cabiya-an hanya bisa mengirim lima anak ke sekolah.
Sisanya, terancam terus bergabung dengan seperempat dari 95 juta penduduk
negara itu di bawah garis kemiskinan.
Kontrasepsi biasanya tersedia di Filipina meski jarang
dipakai. Di Filipina, 45-50 persen wanita di usia subur, atau pasangan mereka,
menggunakan metode kontrasepsi setiap saat. Di Indonesia, angka ini mencapai 56
persen, dan Thailand
80 persen.
Pertumbuhan populasi pun mencerminkan angka itu. Populasi
Filipina naik 1,9 persen setiap tahun, sementara Indonesia
1,2 persen, dan Thailand
0,9 persen. Populasi Cina hanya tumbuh 0,6 persen setiap tahunnya. Jika Anda
meningkatkan akses kontrasepsi buat perempuan...Anda bisa membalikkan tren
kelahiran," kata Josefina Natividad, direktur Institut Populasi di
Universitas Filipina.
Meski tersedia di banyak tempat, biaya kontrasepsi tak
terjangkau buat kebanyakan orang. Namun hal ini akan berubah jika undang-undang
kesehatan reproduksi disahkan.
Pemerintahan Aquino menjanjikan pertumbuhan inklusif dan
melihat perlambatan pertumbuhan penduduk adalah kunci mencapai itu.
"Presiden, meski dengan risiko mengasingkan gereja,
menyatakan bahwa undang-undang ini adalah prioritas," kata Menteri
Anggaran Florencio Abad. "Pesan ini sangat jelas."
"Negara Dilumpuhkan"
Tapi ini adalah pesan yang tak disukai gereja.
Menurut mereka, kontrasepsi buatan tak bermoral, dan
undang-undang ini akan merintis jalan untuk melegalkan aborsi. Undang-undang ini tidak melegalkan aborsi, namun
meningkatkan perawatan buat perempuan yang menderita komplikasi setelah
menjalani aborsi ilegal.
Menurut gereja, orang lebih baik menggunakan keluarga
berencana alami.
Mereka berpendapat bahwa kemiskinan adalah sebab, bukan
dampak, dari angka kelahiran tinggi. Anak-anak dilahirkan ke rumah tangga tanpa
memiliki makanan cukup karena pemerintah gagal menghabisi korupsi dan
menyediakan pekerjaan, kata uskup.
"Kepercayaan kami sangat kuat bahwa kontrasepsi tidak
akan menjadi jawaban," kata Pastur Melvin Castro, sekretaris eksekutif
dari Konferensi Uskup Katolik di Komisi Keluarga dan Kehidupan Episkopal di
Filipina.
"Mereka miskin bukan karena mereka tak memiliki
kontrasepsi namun karena tak punya pekerjaan. Beri mereka pekerjaan dan ini
akan menjadi alat penjarakan kelahiran yang paling efektif buat mereka."
Para ahli ekonomi
berpendapat bahwa oposisi gereja yang terus-menerus menjadi faktor penting yang
memengaruhi kebijakan penduduk. "Negara...dibuat lumpuh dari upaya
menyelesaikan masalah ini karena posisi keras dari hierarki Katolik," kata
kelompok 30 ekonom dari Universitas Filipina lewat laporan penelitian mereka.
Meski terjadi perdebatan antara gereja dan lawan politik
yang tak setuju menggunakan anggaran negara demi membiayai kontrasepsi, sebuah
polling tahun lalu menunjukkan 70 persen masyarakat mendukung undang-undang
ini. Pendukungnya ingin undang-undang tersebut disahkan pada masa kerja kongres
ini yang berakhir Juni.
Menurut para ekonom, jika Filipina ingin mengambil
keuntungan dari 'dividen demografik', saat tenaga kerja yang muda dan jumlah
besar menghasilkan tabungan dan investasi untuk mendorong ekonomi negara, maka
menurunkan tingkat kelahiran harus dilakukan.
Usia rata-rata di Filipina adalah 22,2, dibandingkan dengan
25 di Malaysia, India 25,1, dan Indonesia 27,8. Tak seperti negara lain yang
menua seperti Jepang, yang orang-orang lanjut usianya membebani angkatan
pekerja, di Filipina anak-anaklah yang menyerap sumber daya yang harusnya bisa
dialihkan ke tabungan dan investasi.
Untuk setiap 100 orang bekerja di Filipina, mereka harus
menanggung 58 orang lainnya, menurut data Bank Dunia. Bandingkan dengan 40 di
Indonesia dan 29 di Thailand.
"Jendela demografik ini hanya akan terbuka jika tingkat
kelahiran turun dengan cara yang memungkinkan populasi anak muda tumbuh lebih
lambat daripada pertumbuhan usia pekerja," kata Arsenio Balisacan, menteri
perencanaan sosial ekonomi.
Aquino mungkin tak terlihat seperti pendukung kontrasepsi
gratis. Mendiang ibunya, Corazon Aquino, menjadi tokoh utama revolusi people
power atas dukungan gereja, dan menumbangkan diktator tua Ferdinand Marcos pada
1986.
Marcos juga menjadikan pengendalian penduduk sebagai
prioritas pada 1960an dan memasukkan keluarga berencana pada konstitusi 1973.
Namun Corazon Aquino, mengingat jasa gereja dalam gerakan demokrasi, menghapus
klausa tersebut saat piagam ditulis ulang pada 1987.
(Penyuntingan oleh Robert Birsel)
Foto-foto : Reuters
No comments:
Post a Comment