LONJAK-LONJAK DI OTO COLD
Pertamakali saya melihat oto cold
ketika saya menggowes sepeda di Jalan Lintas Flores, tepat di persimpangan Nggorang.
Di persimpangan tersebut ada dua
mobil oto cold yang sedang menunggu penumpang. Satu oto cold sudah siap
berangkat.
Wujudnya sasis truck beroda enam,
diberi cap. Di kabin dibuatkan bangku-bangku berbusa tipis. Dalam truck, ada
lima saf bangku menghadap ke depan. Di atas kap, disediakan untuk menaruh
barang-barang dan hasil pertanian. Dibagian belakang, juga untuk menaruh
barang-barang.
Oto cold atau bus kayu tidak memiliki
pintu. Penumpang, tidak pandang usia dan kelamin, memanjat truk untuk bisa
duduk. Oto Cold juga tidak mempunyai jendela. Untuk melindungi penumpang dari
hujan, dilengkapi dengan tirai.
Bus kayu penuh dengan dekorasi grafis
warna-warna.
Heboh… Ya, heboh, sebagaimana kegemaran
masyarakat Flores akan music. Bus truck ini dihebohkan dengan musik yang
hingar-bingar. Sungguh, memekakkan telinga.
Saya mencoba menaiki oto cold ini,
dari Dintor ke Ruteng Kota.
Saya hampir saja tidak kebagian bus
kayu karena terlambat mendarat di Dintor selesai melakukan kunjungan di di
Pulau Mules.
Menurut warga di Dintor, ada tiga bus
kayu yang melayani trayek Ruteng – Dintor setiap hari. Jadwal kerbarangkatan jam
02.00, jam 04.00 dan jam 05.00. Tapi itu pun, tidak dipastikan jam keberangkatannya.
Saya hamper saja patah arang, karena
terlambat dating dari Pulau Mules. Kedatangan saya di Dintor sudah lebi jam
06.00. Warga setempat tidak bisa memastikan akan ada lagi oto cold datang.
Dari arah barat terdengar musik
berdentum-dentum. Suara music tersebut tersebut makin lama-makin keras. “Nah,
itu oto cold datang,” kata warga setempat.
Benar saja, bus kayu muncul. Warga
setempat membantu saya menyetop angkutan umum tersebut. Sepeda saya dinaikkan,
dan saya memanjat truck, duduk di bangku paling depan, pas di hadapan speaker
besar.
Bus kayu melaju pelan-pelan, musik
berdentam-dentam. Sambil berjalan, oto kayu menyimpang-nyimpang dulu menjemput
penumpang disetiap perkampungan. Para penumpang sudah menunggu di depan rumah
masing-masing.
Sepuluh kilometer pertama, menelusuri
jalan pantai. Pantai di kawasan ini, sama dengan di Dintor, berbatu
bulat-lonjong dengan berbagai ukuran berwarna hitam.
Oto colt kembali ke jalan utama
setelah menjemput penumpang, lalu meninggalkan pantai, jalan lurus dengan kiri
kanan persawahan. Di depan membentang perbukitan. Jalan relatif menanjak
moderat, sampai di Kecamatan Larang. Kecataman Larang berada di ketinggian 360
dpl, ramai sekali. Nampaknya ekonomi masyarakat cukup baik disini, ditandai
dengan ramainya pusat kecamatan ini dan kondisi rumah penduduk yang sehat. Sampai
di Kecamatan Larang, terdapat layanan transportasi reguler dari Ruteng.
Kecamatan ini sudah diterangi aliran listrik PLN.
Meninggalkan Narang, jalan lurus –
menurun. Disebelah kiri jalan lembah dengan sungai dibawahnya, di kanan terbentang
persawahan. Setelah menyeberangi jembatan lembah di ketinggian 110 dpl, jalan
menanjak dan berliku-liku sampai di persimpangan Kampung Adat Todo di
ketinggian 790 dpl. Selepas Todo, jalan menurun beliku-liku, kemudian mendaki
lagi sampai ketemu Raya Trans Flores Labuan Bajo-Ruteng di ketinggian 835 dpl.
Lega rasanya menemukan jalan Raya Trans Flores yang lebih lebar. Namun, kota
Ruteng masih beberapa kilometer lagi. Ada tiga jembatan yang dilewati. Jembatan
yang panjang menjelang Jalan Trans Flores.
Jalan besar relatif rata, membuat
sedikit nyaman, setelah digoyang-goyang mengikuti kelok-kelok jalan. Dengan
jalan berkelok-kelok lagi, mencapai ketinggian 2020 dpl, salah satu Puncak Pass
di rute Trans Flores. Jalan menurun, dan kemudian mendaki, baru sampai di
Terminal Mena, Ruteng. Total perjalanan 70 km, dengan lama 4 jan, dan 4 jam
full musik.
Dalam tulisan ini saya sengaja
mencantumkan ketinggian tempat yang
dilalui, untuk mengambarkan betapa sulitnya jalan raya ini yang berada di
ketinggian yang rapat dari ketinggial nol pantai. Sebagai catatan, dengan
Panjang jalan 70 km, terdapat perbedaan ketinggian nol dpl ke 2020 dpl.
Riwayat Oto Colt, Bus Kayu…
Hanya di Flores ditemukan jenis
kendaraan macam ini. Inilah kendaraan umum rakyat Flores. Biaya murah, dan
dijemput dan diantar sedapat dijangkau oleh truck penumpang tersebut.
Barangkali lebih tepat disebut truck penumpang, tapi biarlah sebagaimana
masyarakat disana meyebutnya.
Bus kayu dibangun oleh “karo seri”
local. Sasis truk didatangkan dari Surabaya, sasis baru tentunya. Di Flores,
baru nanti truk diberi “karo seri”, dengan membuat rangka kap, tempat duduk dan
jangan lupa sound system. Kap diberi atap yang kuat untuk menampung barang, dan
juga diduduki oleh penumpang. Body truk diperindah dengan grafis yang bercorak
warna-warni. Soal sound system, wajib, menjadi prioritas. Suaranya harus deras.
Untuk membuat karoseri bus kayu, biayanya antara Rp. 8 juta sampai dengan Rp.
10 juta.
Dinamakan oto cold, karena pada
awalnya truk yang digunakan adalah jenis cold diesel. Warga kemudian menyebutnya
dengan oto cold, menjadi nama generic disamping bus kayu. Disebut pula dengan
bus kayu, karena karoserinya tersebut dari kayu.
Dari semua bus kayu yang saya amati
dari, kendaraan tersebut terawat dengan baik. Kembang ban bagus. Suara mesin
halus.
Dalam pekembangannya, jenis angkutan serba guna ini memakai kendaraan lebih kecil seukuran carry.
Dibuat dari mobil kecil, supaya bisa menjangkau jalan-jalan pedesaan. Bahkan,
seperti yang saya temukan di lokasi wisata Bajawa, rombongan bule dibawa dengan
bus kayu mini itu.
Dengan menaiki bus kayu dari Dintor
sampai ke Ruteng, bagi saya sebuah pengalaman perjalanan yang menyenangkan dan
bisa menikmati alam pedesaan Flores. Saya pun tak peduli dentaman ragam music
selama 4 jam perjalanan.
Mengikuti perjalanan di Trans Flores
saja sudah membuat kesan yang mendalam, dibandingkan dengan ruas-ruas jalan
raya di Pulau Jawa misalnya. Jalan utama di Flores, boleh dikatakan ekstrem,
terutama perbelokan jalan yang patah-patah. Rute Dintor yang nota bene barada
di pantai, membuat kendaraan merayap mendakinya.
Diperlukan sopir berpengalaman
mengemudi bus kayu, dan semua jenis kendaraan di Flores. Pengemudi harus sabar,
mengontrol kendaraan dan yang penting ada toleransi terhadap pengandara lain.
Sepanjang perjalanan saya dengan kendaraan umum di Flores, pengemudi disana
memiliki etitut yang baik dalam mengendara, misalnya memberikan kesempatan bagi
kendaraan yang datang dari bawah, memberi tahu situasi lalu lintas di depan dengan
lampu sen dan membunyikan kelakson sebelum memasuki tikungan. Kebiasaan
memberikan kelakson di Flores, durasinya panjang. Demikian pula kebiasaan
pengemudi di Sumbawa, baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat. Memberikan
kelakson panjang seperti di NTT, jika di Pulau Jawa tentu membangkitkan emosi
pendengarnya.
Inilah keunikan lain, dengan karakter
yang kuat di Flores.
Bus kayu itu menunut saya, bisa
sebagai atraksi wisata tersendiri bagi wisatawan lokal dan luar negeri. Dengan
menaiki bus kayu, selain dapat mengenal masyarakat setempat, tentu menikmati
alam pedesaan Flores. Ruteng Dintor – Ruteng dan sebaliknya, bisa ditawarkan
sebagai paket perjalanan sendiri, karena di Dintor memiliki dua distinasi
wisata yaitu Kampung Adat Waerebo dan
Pulau Mules.
Di Flipina Jeepney, sudah menjadi
ikon wisata disana. Kendaraan yang semula sebagai transportasi umum, sekarang
menjadi daya tarik wisata. Jeepney bahkan lebih dikenal dibandingkan dengan
Flipina itu sendiri. Bagaimana dengan oto colt, tentu bisa juga seperti jeepney
dengan cara memperkenalkan terus-menerus kepada turis, baik turis Indonesia
maupun mancanegara.
Dintor-Runteng : 70 km
Lama perjalanan 4 jam
Ongkos Rp.40.000.
No comments:
Post a Comment