Thursday, December 04, 2008

WANITA WANITA UTAMA ACEH

Dari Seorang Istri, Panglima Perang sampai Ratu
Di Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh, Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang pada nisannya bertuliskan Arab dan Jawa Kuno. Dituliskan di nisan itu, orang yang dimakamkan adalah Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan itu juga dapat diperoleh di kitab Negara Kartagama tulisan Prapanca. Disebutkan, Samudera Pasai merupakan daerah yang ditaklukkan oleh Hayam Wuruk, dengan Patihnya Gajah Mada. Buku Hikayat Raja raja Pasai juga menyebutkan tentang kekuasaan Majapahit terhadap Pasai. Setelah segala sesuatunya diatur di Pasai, laskar Majapahit kembali ke Jawa. Namun, sebelum kembali, pembesar-pembesar Majapahit mengangkat seorang Raja, yaitu Ratu Nur Ilah. Ratu Nur Ilah merupakan keturunan Sultan Malikuzzahir. Tidak banyak keterangan yang didapatkan oleh peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini.
Perempuan Aceh memang luar biasa. Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan, pekerjaan peperangan pun, yang biasanya seluruhnya dilakukan oleh kaum pria, diterjuninya pula. Mereka menjadi panglima, memimpin ribuan laskar di hutan dan di gunung-gunung. Bahkan ada laskar wanita yang disebut Inong Bale. Mereka ini para janda yang menuntut kematian suaminya. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Aceh pun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan rela pula menjadi anak buahnya. Diantaranya mereka yang amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nayk Dien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.
Beberapa preode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain Ratu Nur diatas, ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi ullebalang (penguasa lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar Rusia.
Dalam konteks sebuah ide, sebuah perjuangan, sebuah cita-cita, emansipasi di Aceh ketika itu tidak pernah ada dalam agenda perjuangan perempuan. Perjuangan mereka adalah bagaimana melepaskan belunggu penjajahan dan mengusir para pendatang yang hendak menguasai negerianya. Ketika para perempuan Aceh menjadi ratu dan menjadi panglima perang, Aceh adalah sebuah negara berdaulat. Emansipasi baru menjadi sebuah agenda kaum perempuan dan dibicarakan di Pulau Jawa setelah tersentak oleh pemberontakan yang dilakukan oleh R.A. Kartini.

Ratu Nahrasiyah

Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Ker
ajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya - yang memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan - dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”. Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudea. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.

Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)

Bersyukur bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama senior yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Teungku Abdurrauf dari Singkel. Ia menyarankan pemisahan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang mas dan menerapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan mengeluarkan mata uang). Selain itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balairungsari (institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiauddin Syah tetap dihormati dengan mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.

Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi
yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan - menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang mas. Masa pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya Baiturrachman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.

Ratu Inayat Zakiatuddin Syah

Naqiatuddin
Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.

Ratu Kamalat Zainatuddin Syah

Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang mas.

Laksamana Malahayati
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam meliter dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita.
Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan dari Portugis, Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda - sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh. Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.

Cut Nyak Dien

Nama Cuk Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa s
aja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.
Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda - termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar. Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri. “... selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan ...” bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi kecuali semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cur Nyak Dien dari penderitaan. “Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.

Cut Meutia
Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona. Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi. Untuk memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memanguku uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang. Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan sang adik berpihak kepada kemerdekaan.
Antara Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905, Teuke Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang Naggore.
Pang Naggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja Sabi.

Pocut Baren

Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910. Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan.
Ia telah mempersiapkan dirinya - bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi. Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya - yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.

Pocut Meurah Intan

Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan.
Pocut Meurah menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda. Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan. Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun, Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
Rizal Bustami,
disadur dari buku Wanita Utama Nusantara

Wednesday, December 03, 2008

KEARIFAN TRADISIONIL

Orang Dusun sebagai Panutan
Kearifan tidak selalu datangnya dari kaum terdidik, kaum akademis, kaum kota, namun bisa oleh kelompok masyarakat - nun berdomisili di pelosok yang tak dikenal. Kelompok - kelompok masyarakat tertentu memiliki paham - yang mereka anut sebagai tradisi sosial dan lingkungan alam. Paham yang mereka anut itu ternyata memiliki ketahanan sosial yang kuat di tengah gejolak dunia.   


SUPERMOTO JAKARTA

Supermoto Jakarta, juga menjadikan Kedai Kopi Cantigi sebagai persinggahan

Friday, November 28, 2008

The Real Mountain Bike


Tentang Kami
Kami pemain sepeda lama (kolot). Kami diuntungkan oleh tempat - dimana di Bogor sampai Cibodas dimana tersedia banyak jalan untuk menggowes sepeda. Kami bisa bermain sepeda "seenaknya" mau pergi kemana. Kami tanpa organisasi atau kelompok. The Real Mountain Bike, adalah aliran kami. Dimana kami menggowes sepeda, bahkan memanggul sepeda mencapai suatu tempat sembari mengamati dan mencatat hal-hal yang menarik dan baru kami lihat. Kami tidak berorganisasi atau mempunyai club. Siapa saja boleh ikut. Tak kami hiraukan kalangan peserta, tak kami pedulikan sepeda apa yang dipakai. Bagi kami, bermain sepeda bersama-sama - untuk silaturahmi, mengenal kawasan yang tersuruk dan meningkatkan kesehatan badan. Kami mempunyai bascamp  Kedai Kopi Cantigi, Pasar Cibodas, Cipanas.

THE REAL MOUNTAIN BIKE : Kota Bunga - Arca - Gunung Batu

Bagi Jiwa Petualang,
Perjalanan Panjang Kota Bunga -
Arca - Gunung Batu

Medan yang dicari-cari. Dicari-cari maksudnya, jalan yang
dilalui memiliki semua kelas dan katagori sehingga semua
jenis sepeda bisa mengikuti. Tidak ada klafikasi dan
kelas. Sepeda hanyalah kendaraan.




Perjalanan Kota Bunga – Arca – Gunung Batu bervariasi dan komplit. Ada jalan tanah berdebu di musim kemarau dan jadi bubur dimusim hujan. Jalan kasar, jalan berbatu lepas, jalan berbatu susun dan bahkan jalan raya hotmix. Pas betul untuk sepeda Mountain Bike.
Perjalanan dimulai dari belakang Kota Bunga, Pacet, Cianjur. Sebelum gerbang Kota Bunga, terdapat jalan desa lurus. Sekitar 2 km, arahkan sepeda ke kanan melalui jalan tanah. Ini merupakan pendakian pertama – yang panjangnya sekitar 800 m. Berada di jalan ini, Komplek Kota Bunga persis di bawah. Sampai di puncak, terhampar perkebunan teh. Jalan disini beraspal dan di beberapa titik berbatu lepas. Tujuannya adalah Desa Arca, Kabupaten Bogor.
Setelah puas mengayuh sepeda di perkebunan teh, “terhidang” jalan hotmix lebar. Di sini kenikmatan bersepeda. Sepeda bisa dipacu sekuat nyali. Jalan hotmix tersebut terputus, kembali ke jalanan desa. Sampai di perkampungan, tujuannya adalah Gunung Batu. Rajin-rajianlah bertanya jalan. Setelah keluar dari hutan pinus, ditemukan jalan menyimpang. Ambil jalan ke kiri. Tidak ada kampung disini. Jalan kecil beraspal kembali memasuki hutan pinus. Keluar dari hutanpinus, terdapat sebuah warung di persimpangan ke Air Terjun Cipamingkis. Istirahatlah dulu. Kami
namakan warung ini Warung Tape karena menyediakan tape goreng. Dari posisi ini, arahkan pandangan ke lembah.Akan tampak sebuah bukit berdiri sendiri seperti piramid. Perhatikan garis putih berkelok-kelok dibawahnya, itulah tujuan berikutnya.
Jalan selanjutnya menurun tajam berbatu sekitar 800 meter. Disini skill dan sepeda diuji. Selepas jalan rusak tersebut, tersedia jalan halus. Jalan turun yang menyediakan pemandagan sawah di kiri – kanan. Kemudian memasuki perkampungan. Hati – hati mengendara, jangan sampai terlena. Di jalan ini, nantinnya ditemukan tikungan tajam ke kiri. Stop di sini. Di kiri ada warung. Isi dulu perbekalan disini. Kami namakan Warung Timun. Lihat petunjuk jalan : Gunung Batu, Cariu, Cianjur. Belok ke kanan, ikuti jalan berbatu.
Terdapat dua turunan tajam berbatu sebelum menyeberangi jembatan kayu. Melewati jembatan kayu, jalan menanjak tajam berbatu sampai ke kaki Gunung Batu. Tidak ada tempat berteduh. Ketimun yang kami beli di warung tesebut, bagai buah pear di Gunung Batu.

Di kaki Gunung Batu, terdapat tanah lapang. Layangkan pandanganke utara, tampak atap warung Cipamingkis dan jalan berkelok-kelok. Geser mata ke arah jam 11.00, tampak tower komunikasi. Inilah tujuan berikutnya. Di Seberang lapangan, akan ditemukan jalan pas ukuran satu mobil. Keluar dari jalan ini, ketemu jalan aspal.
Ikuti jalan aspal arah mendaki.Kayuh tarus sepeda melewat jalan tanah sampai menemukan simpang tiga yang terdapat tower komunikasi. Ikuti jalan kanan. Beberapa meter dari simpang ini, terdapat warung kelontong di atas jalan. Istirahat disini. Kami namakan Warung Teteh, karena kami tidak tahu siapa namanya. Duduk-duduk di warung ini, diseberang terhampar kebun teh yang tadi pagi dilalui. Etape ini merupakan fase kritis. Mengapa dikatakan fase kritis, karena berada pada kondisi krisis pisik dam mental. Keputusan arus diambil, melanjutkan perjalanan dengan sepeda, atau sepeda dinaikkan ke mobil.
Kami sudah tiga kali melakukan tes perjalanan, setiap minggu berturut-turut. Tes pertama meninjau jalan. Tes kedua, sebanyak sepuluh orang, mengayuh sepeda sampai di tower. Kembali ke Cipanas, sepeda dinaikkan ke mobil karena kemalaman. Tes ke tiga, diikuti 13 sepeda. Perjalanan kali dituntaskan dengan sepeda. Dari posisi Warung Teteh, lama bersepeda ke Kota Bunga memakan waktu 2 jam.

Total jalan yang dilalui55 km, dengan lama mengayuh 5 jam. Berangkat jam 08.00, sampai di Kota Bunga pukul 18.00. Melalui trek ini wajib didampingi kendaraan for will drive. Makanan dan harus dibawa. Kalori yang dibutuhkan selama perjalanan 2000 kal. Asumsi air minum per orang, 4 liter. Atur waktu istirahat, karena bisa kemalaman di jalanan. Menumpuh trek ini, diperlukan kesehatan yang prima, pisik yang cukup dan mental yang kuat. Selamat mencoba, kawan penggemar Sepeda Gunung ……… (Rizal Bustami)
Peserta : Ando (IT), Andi, Heru, Heru, Aji, Edi, Pane, Edi (mekanik), Rizal (penulis), Krisna (fotografer), Herry, Ibo, Sodik, dan Ikit.









Lihat Gunung Batu di peta yang lebih besar


















Thursday, November 27, 2008

ENDUROTOTALE


ENDUROTOTALE MENJADIKAN KEDAI KOPI CANTIGI
SEBAGAI RUMAH SINGGAH MEREKA
www.endurototale.com





Di Cantigi Cibodas

THE REAL MOUNTAIN BIKE LEMBAH KARMEL - CIANJUR



Bagi Jiwa Petualang,
Lembah Karmel (Cipanas) ke Cianjur
Bermula dari pelusuran di Google Earth menemukan kampung – kampung kecil yang jalannya terputus-putus. Sebagai orentasi medan, rute sepeda ini adanya dibalik perbukitan yang tampak di Cipanas.
Trek CipanasMariwati Jongol; Cipanas – Jangari lewat Lembah Karmel, baik untuk bermain sepeda. Jalan beraspal melewati perkampungan. Apalagi jalur Lembah Karmel – Jangari, setelah melewati Lembah Karmel, jalanan menurun. Hamparan daratan rendah di bawah tampak lapang. Bila cuaca bagus, Waduk Citara kelihatan berkilau-kilau.

Cantigi Peace tidak akan bahas jalur jalan aspal ini, melainkan jalan setapak menuju Cianjur. Sama – sama dimulai dari Kota Bunga, arahkan sepeda ke Jalan Raya Mariwati. Sampai di Simpang Tiga Lembah Karmel, belokkan sepeda ke kanan menenuju Lembah Karmel. Jalan beraspal halus mulai mendaki. Lewati saja Lembah Karmel sampai mencapai punggungan perbukitan.. Setelah mencapai punggungan, jalan menurun. Jalan beraspal kasar – melewati kampung-kampung dan hutan buatan.
Supaya tidak kesasar, cari dulu simpang tiga Kampung Pajagan, Desa Kutawaringin, Kecamatan Mande. Menemukan simpang tiga ini, belok ke kanan. Jalan akan turun tajam. Setelah itu, cari Kampung Geger Bintang, Desa Kutawaringin, Kecamatan Mande. Kampung Geger Bintang berada diujung belokan SS tajam. Perlambat sepeda agar tidak lolos dari kampung ini. Istirahat dulu disini. Ada warung kecil di atas jalan. Di hadapan, terdapat jalan menuju kebun. Itulah jalan berikutnya. Pada musim durian antara Januari sampai Maret, bisa menikmati durian dari kebun Pak Jaksa.
Kayuh sepeda melalui jalan kebu
n tersebut. Setelah melewati punggungan bukit, jalan habis di Kampung Nunuk. Di ujung kampung, belokkan sepeda ke kiri melalui jalan setapak.Setelah melewati Kampung Nunuk, akan ditemukan jalan bercabang dua. Di sebelah kiri, terdapat sebuah rumah. Ambil jalan ke kanan. Di kampung berikutnya, tanyakan jalan ke Cibereum atau Baros.
Di pedalaman ini, terasa kesunyian. Jadi aneh, baru saja lepas dari hiruk pikuk kendaraan bermotor, tidak jauh dari kalangan berduit bersenang-senang di villa villa mewah, masyarakat disini menjalankan kehidupan dengan apa adanya. Bertani, mengambil hasil hutan dan mengunduh nira. Tidak ada kendaraan bermesin. Jalan – jalan setapak, nyaris tidak bisa dilewati sepeda motor. Entah siapa yang tahu, bila ada kehidupan disini. Aparat desa saja, apalagi dari pemerintah daerah, tak pernah mengunjungi rakyatnya yang hidup terpencil itu. “Sudah 63 tahun merdeka, kami disini tidak menikmati listrik. Kami bentangkan kabel sampai 2 km ke tiang listrik terdekat. Kabel sering dicuri orang pula,” terang Pai, 50 tahun, tokoh masyarakat Kampung Geger Bintang.Oleh masyarakat pedalaman Cianjur itu, air sungai dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Pembangkit listrik non PLN tersebut bisa dilihat di jalur sepeda.

Teruskan telusuri jalan setapak. Setelah berada di punggungan ke lima, terhamparlah kota Cianjur. Turuni jalan sampai menemukan rumah pertama. Turun ke sawah, lintasi pematang. Di rumah pertama tanyakan jalan ke Simpang Tiga Ciberuem ke penduduk. Melewati gang perkampungan dulu, nanti ketemu jalan aspal pertama, Kampung Tegal Panjang, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Mande. Ikuti jalan turun. Sampai di Simpang Tiga Cibereum, belok kanan. Jalan aspal besar, melewati penumpukan kayu dan perkebunan karet. Telusuri saja Jalan Raya Babakan Karet. Ujung dari jalan ini, adalah Jalan Raya Cianjur (Cipanas – Cianjur). Perjalanan berakhir di Gedung Pemuda Cianjur.
Mengikuti jalur ini, pisik harus prima. Lama perjalanan dari Dusun Geger Bintang sampai Gedung Pemuda Cianjur 4 – 6 jam. Bawa perbekalan logistik karena tidak ada warung untuk jajan. Part dan peralatan wajib dibawa karena Cantigi Peace dua kali mengalami pecah ban dalam. Sinyal seluler yang kuat, Mentari. (Rizal Bustami / Alvin "Gimbal")
Peserta : Rizal Bustami dan Alvin "Gimbal"














Dukun Dukun Mentawai

The Medicine Man dari Mentawai

Dukun bagi masyarakat pedalaman Mentawai, sama derajatnya dengan seorang dokter.
 
Cita – citamu apa nak ?
Aku ingin jadi dokter.
Begitulah jawaban umum anak – anak Indonesia jika ditanyakan apa cita – citanya. Apakah jalan hidupnya sesuai dengan cita – citanya, itu urusan nanti. Namun, “dokter” bagi orang Indonesia adalah sebuah profesi idaman. “Harga” seorang dokter pria termasuk tertinggi untuk dijadikan menantu, malah lebih “tinggi harganya” dibandingkan seorang pilot pesawat terbang. Sampai, ini naifnya, agar mobil cepat laku terjual dengan harga yang baik pula, pedagang perlu membumbui dengan, “Ini mobil, kepunyaan dokter”. Bukankah guru juga profesi yang mulia, tetapi sedikit yang bercita – cita menjadi guru. 

Monday, November 10, 2008

Penambang Emas Tradisionil

BERJUDI NASIB, BERTARUH PERUNTUNGAN

Tahun 2001 terjadi bencana longsor di Cisampai. Cisampai merupakan kawasan tambang emas tradisionil yang dikelola secara perorangan terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebanyak 20 orang meninggal saat itu. Di Pongkor, sudah beberapa kali lobang-lobang pengambilan emas ambruk. Berapa jumlah korban meninggal, sulit menghitungnya karena mereka berkerja liar.

Cisoka tambang emas tradisionil yang bertetangga dengan Cisampai. Tambang ini pernah ditinggalkan karena hasilnya tidak memadai. Para penambang kembali ke Cisoka karena tambang Pongkor dilarang, sedangkan di Cisampai tidak seberapa hasilnya. Tambang emas tradisionil Cisoka, berada di Kampung Lebak Pari, Desa Cisoka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Matahari masih malu-malu ketika kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi tambang. Kami seperti berkerjar-kejaran matahari di tengah musim penghujan. Inilah ujung jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kami meneruskan perjalanan menuju lokasi melalui jalan setapak. Diseberang lembah sana, pada tebing, ada lobang-lobang, seperti goa. Di dalam lobang itulah orang mencari emas. Kami memilih lobang milik H.Kirna untuk dimasuki. Pada mulanya lobang cukup untuk membungkuk. Makin ke dalam, perut kami makin tertekuk sehingga kami berjalan “mengesot’. Entah sejauh apa kami merangkak sampai bertemu dengan penambang sedang bekerja.

Bongkahan batu dibawa keluar. Batu-batu tersebut dihaluskan dengan cara dipalu, lalu dimasukkan ke selinder-selinder yang berisi air, gelundungan namanya. Di selinder diberi air raksa yang berfunsi untuk memisahkan unsur logam dengan tanah. Selinder diputar selama 10 jam. Sebagai penggerak, ada yang menggunakan mesin disel dan ada pula dengan kincir air.

Dua karung bebatuan akan menghasilkan logam putih sebesar biji jagung yang dinamai belion. Logam lunak tersebut kemudian diproses. Hasilnya menjadi logam putih – keperakan yang beratnya 1 gram. Untuk menjadikannya emas, maksimal kadar 99 %, diproses lagi. Hasil akhirnya hanya ½ gram emas. Bila satu gram emas harganya Rp. 220.000, maka 1 gram belion Rp. 110.000.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tinggal di kawasan terpencil. Di tambang, tidur beralaskan tikar, berbantalkan lipatan tangan.

Rony, misalnya. Ia tinggalkan anaknya yang baru berusia 3 bulan. Ia spesialis tester kadar emas. Keahliannya itu berkat pengalamannya sejak tahun 1980 bekerja di tambang emas. “Saya bekerja tambang sejak tahun 81, saat-saat sekaranglah saya rindu pulang. Kangen anak,” ungkap Rony, belum menengok anaknya karena uang belum terkumpul.

Di tambang Haji Kirna, bekerja 40 penambang. Penambang bekerja 2 shif – siang dan malam. Dari hasil tambang, setiap penambang menghasilkan 2 karung. Dua karung batu, menjadi 1 gram belion. Dari hasil bersih belion, H. Kirna mendapatkan 40 persen karena ia harus mengeluarkan biaya untuk proses, listrik, nyangga, karung dan fasilitas. “Pekerjaan ini sudah saya jalankan sejak tahun 60-an. Saya memulainya di Rajang Lebong (Bengkahulu). Dulu saya penambang, sekarang pemilik tambang,” jelas Pak Haji, yang sudah satu bulan tidak pulang ke rumahnya.

Aang., 45 tahun, sedang beruji peruntungannya pula. Pria asal Cisimut, Lebak ini, memiliki sebuah lobang yang bertetangga dengan H. Kirna. Selama satu bulan menggali, tambangnya belum juga menghasilkan emas. Untuk membiayai hidup 10 penambangnya, Aang harus mengeluarkan uang 1 juta rupiah per minggu.

Bekerja di tambang tradisionil besar resikonya. Resiko longsor, lobang amruk, atau bahaya kesehatan di lobang. Namun, mereka ini menepiskan semua resiko itu. “Kalau bicara bahaya, banyak teman saya mati di Pongkor. Jika ada pekerjaan lain, saya berhenti. Bahaya kesehatan di dalam, saya tidak ngerti. Keadaannya seperti itulah,” terang Fijei, dimana belum bisa menengok anak dan istrinya karena penghailannya tidak cukup.

Semuanya adalah perjudian. Berjudi dengan nasib, berjudi dengan peruntungan. Tidak peduli, apakah itu bagi pemilik lobang atau bagi penambang. Hasilnya tidak seberapa, badan bisa terkubur hidup-hidup. Inilah ironi kehidupan pekerja penambang emas.

Kilau emas, tidak sekilau kehidupan mereka ! Rizal Bustami / Foto : Alfan

Kami bersedia mengantarkan Anda ke Tambang Emas Rakyat Cisoka dengan Land Rover.

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023