Monday, June 24, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian IV

PULAU “AMAZING” YANG TIDAK TERSENTUH


Australia punya Gunung Batu Uluru, Amerika punya Gunung Batu Devils Tower, Indonesia punya Gunung Batu Mules.

Sebuah pulau di selatan Flores bagian barat, bagai negeri dongeng, atau negeri kayal seperti penggambaran film-film animasi. Menyaksikan suguhan alam – yang tidak biasa, membuat saya terperangah. Sebuah gunung batu menjulang, dengan hamparan savana dengan kisi-kisi tanaman lontar yang acak, sebuah kawasan yang tidak ditemukan dimanapun di Indonesia. Mercu suar yang mencuat ditengah keheningan dan kesepian kawasan selatan pulau tersebut, bagai lukisan di kanvas-yang sengaja dibuat.
Pulau Mules sudah hadapan mata. Muncul halangan, soal transportasi laut untuk mencapainya. Di Dintor tidak tersedia perahu tambang. Yang ada perahu cateran, sekali jalan mencapai Rp.300.000. Atas saran warga lokal, saya disarankan menunggu perahu yang datang dari Pulau Mules. Kedatangannya antara jam 14.00 sampai jam 16.00. Selagi menunggu parahu tersebut, saya ngobrol-ngobrol dengan warga disana. Dua orang diantaranya, adalah Pak Primus, asal Waerobo, menjadi guru Sekolah Dasar di Puau Mules, dan temannya guru honorer SMP. “Ikut saya saja,” kata Pak Guru, demikian dia dipanggil.

Perahu datang. Perahu terombang-ambing. Pemilik perahu susah payah menahan perahu agar penumpang mudah naik. Tidak ada dermaga. Pantai berbatu yang curam, menyulitkan warga menaiki perahu. Sepada dan bagasi saya dinaikan ke pearhu – yang dibantu oleh Pak Guru dan temannya.

Dalam tempo satu jam, parahu sampai di Pulau Mules. Karena air sedang surut, penumpang kembali menceburkan diri ke laut. “Pak, ke rumah saya saja,” kata Pak Guru.
Sedianya tadi saya akan ke rumah Kepala Desa atau ke rumah Sekretaris Desa. Saya memutuskan menerima tawaran Pak Guru. Maka bermalamlah saya di rumah Pak Guru. Sebuah kebaikan lagi saya terima lagi…

 
Baiklah, kita lanjutkan dengan explorasi Pulau Mules.
Setelah melaporkan diri kepada Sekretaris Desa Luca Mulas, Pak Bakhri, saya dititipkan kepada Pak Tua yang saya lupa namanya. Sebut saja Namanya Pak Tua, dia ini yang tahu betul seluk beluk Pulau Mules. Setiap ada tamu yang datang, Pak Tua inilah yang mengantarkan.
Perjalanan saya mulai jam 10.00 waktu bagian timur.

Keluar dari perkampungan, memasuki kasawan savana dengan tumbuhan rendah dan belukar. Setelah melewati dua aliran sungai musiman, memasuki hutan ringan. Di kawasan hutan ini terdapat sebuah sumur tua. Pak Tua mengantarkan saya untuk mengambil koordinat lokasi sumur dan membuat foto.
Meneruskan jalan setapak, keluar dari hutan, terdapat lagi savana kecil, lalu hutan ringan lagi. Jalan setapak kini mendekati pantai.

Setelah hutan, savana lagi dengan rumputnya yang tinggi. Nah, disinilah tiba-tiba saja, seperti mencuat dari hutan, bangunan jangkung mercu suar tersumbul. Dibelakangnya, muncul Gunung Mules. Wah, amazing…





Kawasan ini tidak berpenghuni. Sebuah bangunan rumah yang letaknya agak jarak dengan mercu suar, merupakan rumah jaga mercu suar yang tidak pernah ditunggui.


Mercua suar Pulau Mules dibangun tahun 1990-an, dengan ketinggian 40 meter. Terdapat pintu besi untuk memasuku rongga bangunan mesrcu suar. Pintu besi tersebut tidak dikunci. Tangga besi sipiral menggulung-gulung ke atas. 


Terdapat enam lantai – untuk sampai di ruang kaca pemantul suar. Lampu reflector mercu suar sudah memakai lampu let, dengan tenaga listrik dari dua unit aki besar.

Berada diteras mercu suar pandangan berputar 360 derajak. Pandangan ke selatan dan barat lautan luas. Ke Timur dan Utara Gunung Batu Pulau Mules dengan hamparan savana bagai karpet alam. “Keindahan dan keunikan mana lagikah yang kau cari,” dalam hati saya.
Dari teras mercu suar ini, jika mau menunggu, bisa menyasikan matahari tenggelam di lautan. Pada antara jam 15.00 sampai jam 18.00, kawanan rusa akan merumput di savana. Sempurna sudah…

Jalan setapak berbelok ka kanan, melewati pepohonan yang rindang. Terbuka sedikit, kemudian memasuki hutan. Banyak jalan setapak disini. Menelusuri jalan setapak, ditemukan gundukan tanah setinggi satu meter dengan diatasnya rata. “Ini sarang burung Maleo. Ada telurnya,” terang Pak Tua, yang berjenggot putih itu.

Selepas hutan, savana terbukan terhampar. Di sebelah kanan Gunung Batu Mules, dikiri laut. Savana yang “gondrong” tersebut, menyulitkan untuk melangkah. Pohon lontar tumbuh secara acak, memberikan caption foto yang indah.
Berjalan di savana terbuka dengan matahari terang benderang, melelahkan juga, sampai mendekati pantai utara Pulau Mules. Gunung Batu Pulau Mules selalu mendampingi dengan tampilan yang berbeda-beda.

Akhirnya memasuki hutan gersang dengan lantai pasir pantai. Perjalanan belum selesai, sampai menemukan sumur besar di kiri jalan setapak.

Di sumur ini warga mandi dan mengambil air, dan juga berfungsi untuk memberi minum ternak sapi. Sampailah di Kampung Labuan Taor yang berada di tepi pantai. Di seberang lautan, tampak daratan Pulau Flores. Jalan setapak berbeton menghubungkan tiga kampung di Pulau Mules. Jam 15.00, saya tiba kembali di rumah Pak Bakhri.

 
Tentang Pulau Mules
Sebagaimana diberitakan oleh media, bahwa Pulau Mules sudah memiliki perahu wisata desa yang diberikan oleh  Menteri  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia dan sudah dibangun dermaga wisata ternyata saya tidak menemukannya. Foto kapal wisata yang pernah ditampilkan di media, ternyata tidak ada. Di Pulau Mules memang sudah ada dermaga, tetapi di Dintor tidak ada dermaga.

Tidak mengurangi keunikan dan kecantikan Pula Mules, kawasan ini belum  siap menerima wisatawan. Pelancong jangan sampai terkecoh dengan publikasi oleh pemerintah daerah, seolah-olah di Pulau Mules sarana dan infrastrukturnya sudah memadai.
Kebutahan dasar masyarakat seperti sumber air bersih dan listrik PLN tidak ada, bagaimana dikatakan sudah siap sebagai daerah tujuan wisata.

Warga masyarakat besar harapannya pulaunya akan ramai dikunjungi seperti Pulau Komodo. Dengan adanya wisatawan, ekonomi masyarakat akan berkembang.  Jika air dan listrik saja tidak ada, bagaimana ? Masyarakat pun bimbang dengan ekses akan muncul nantinya, dengan kedatangan wisatawan, terutama orang asing. Sebaimana masyarakat Muslim yang taat, berpakaian minim mandi-mandi di pantai tentu sesuatu yang tidak menyenangkan bagi mereka.
Pulau Mules, sebagai kesatuan administrasi Desa Luca Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten  Manggarai, terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Labuan Taor, Kampung Petji, dan Kampung Konggang.

Setiap kampung memiliki sumur umum. Membuat sumur sendiri, untuk menyalurkan air, memerlukan aliran listrik. Untuk penerangan malam, kampung-kaampung menggunakan mesin pembangkit listrik yang dayanya minim. Listrik hanya mengalir sampai jam 22.00
Dari ketiga kampung tersebut, dermaga hanya terdapat di Kampung Konggang. Jadwal perahu untuk kembali ke Dintor, tidak ada jadwalnya. Pendatang harus  mencari informasi kapan perahu menyeberang.

Tentang Sumur Kuno
Ada dua sumur kuno di Pulau Mules. Satu sumur berada di selatan, di hutan, satu sumur tua lainnya di Kampung Konggang. Kedua sumur kuno tersebut menjadi menarik, karena sudah ada sejak masyarakat modern mendirikan perkampungan di Pulau Mules. Orang-orang di Pulau Mules tidak ada yang mengetahui, siapa yang membuat sumur tersebut. Pak Bakhri yang sudah berumur 60 tahun, mengatakan, “Kakek saya saja, tidak tahu siapa yang membuat sumur itu.”

Pak Tua yang mengantarkkan saya ke sumur kuno di hutan, mengatakan, “Jadi, tanda tanya bagi kami, siapa pendahulu kami di pulau ini. Sebab, sumur ini sudah ada sejak lama.”

Sumur yang berdinding batu karang, dengan diameter 1.5 meter tersebut, menyimpan air di kedalaman 30 meter. Menurut Pak Tua yang sering mengunjungi sumur tersebut, sumur tersebut tidak pernah kering airnya.

Jika nantinya Pulau Mules dibuka untuk wisatawan, dengan catatan kebutuhan dasar seperti listrik dan air bersih tersedia stabil, saya memiliki keyakinan kawasan akan maju dengan  banyaknya wisatawan.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Pulau Mules, kawasan ini keren untuk diabadikan. Untuk akomodasi disana, warga setempat bersedia untuk menampung tamu.

Data Metrik GPS :
Dintor-Pulau Mules           : 6 km
Jalan setapak Pulau Mules : 18 km
Luas Pulau Mules              : 20 ha



  







 


 


Powered by Wikiloc














Friday, June 21, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian III

RUTE LABUAN BAJO-DINTOR LEWAT LEMBOR


Pulau Mules dari pesisir selataan Flores

Rute ini menyajikan tantangan dan keindahan karena bukan jalan utama.

Tidak menyangka, jika di Pulau Flores memiliki persawahan yang luas. Salah satu area persahawan yang luas itu ada di Kecamatan Lembor.
Lembor sentra beras, dengan pertanian yang modern

Selepas mengikuti Jalan Trans Flores – Ruteng – yang menanjak dan berkelok-kelok patah, jalan menurun dan kemudian mendatar sampai di Lembor. Menjelang sampai di Lembor, terbentang persawahan – dimana jalan raya mulus membelah dalam bentuk huruf “L”. Tidak menyangka pula, pertanian padi disini amat modern, ditandai dengan pengerjaannya sudah memakai mesin. Menggunakan mesin dimulai sejak proses penolahan tanah, dan saat panen. Tiba saatnya panen, mesin-mesin seukuan mini buatan merek Jepang ke sawah memanen padi. Mesin keluar dari sawah sudah membawa gabah bersih.


Di sepanjang jalan di Lembor baik menuju Ruteng maupun ke Kecamatan Lembor Selatan, di pinggir jalan petani menjemur padi.

Berada di daratan yang rata dan berada dibawah perbukitan, menjadikan Lembor melimpah air dan menjadikan tanahnya subur. Keadaan ini serupa kearah Ruteng. Namun berbeda dengan kearah Lembor Selatan dan Dintor, semakin ke selatan keadaan alam semakin kering. Jalan Lembor, Lembor Selatan dan Dintor inilah yang saya susuri dengan sepeda.


Tujuan perjalanan dengan sepeda adalah ke Dintor untuk menuju Pulau Mules dan ke Kampung Adat Waerebo.

Perjalanan saya mulai dari Labuan Bajo. Semula saya menggowes sepeda. Setelah menjajal beberapa tanjakan dan kelokan Trans Flores, saya menyerah dan melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum trayek Labuan Bajo-Ruteng. Di Lembor tiba sore. Bermalam di Homestay ….

Di Lembor ada dua homestay, yaitu Homestay …. Dan Homestay. Disini tersedia beberapa tempat makan yang cukuplah, dan tentu ada rumah makan Padang. Perbankan dan ATM yang tersedia, yaitu Bank BRI dan Bank NTT. Kecamatan Lembor memiliki Puskesmas dengan fasilita sUGD dan ada apotik. Jaringan komunikasi dan data hanya tersedia Telkomsel.

Kembali ke atas, perjalanan menuju Dintor, jika dilakukan baik itu dengan mobil, sepeda motor atau bersepda, disarankan membeli makanan dan keperluan lain di Dintor.

Dari Dintor, mengarah ke selatan, selang 1 kilometer dari Pasar Lembor. Jalan relative menurun dan lurus. Di kiri kanan jalan terhampar persawahan. Makin ke selatan, keadaan alam semakain kering.

Setelah melewati Puskesmas Lembor Selatan, ditemui sungai dengan airnya yang bersih disebelah kana jalan. Kemudian, ditemui Desa Nanga Lili, yang mayoritas dihuni oleh warga  berasal dari Bugis. Desa ini berada dekan pantai, jadi masyarakatnya menjadi nelayan. Terdapat masjid cukup dan took kelontong kecil.
Makin ke selatan, alam makin keras, gersang. Sepanjang jalan dari Desa Nanga Lili ke Desa Dintor, tidak ada aliran listrik.
Sampai ke pantai, jalan cukup baik dan besar. Selanjutnya ke arah timur – lebih banyak menelusuri pantai, jalan sedikit mengecil, dengan kondisi jalan cukup baik. Di dua sungai, sedang dibangun jembatan. Pada tahun 2019, kedua jembatan tersebut sudah siap pakai. Meski sedang pembangunan jembatan, mobil ukuran kecil dan mobil wisata bisa melalui jalan ini. Bagi wisatawan ke Kampung Adat Wae Rebo, rute selatan ini pilihan terbaik, karena lebih pendek dan berpemadangan indah.

Rute selatan ini ekskotis, memiliki daya tarik yang khas dan belum banyak diketahui umum. Rute wisata ini, tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dan Kebupaten Manggarai.

Desa Dintor, yang secara administrasi berada di Kabupaten Manggarai, tidak ada apa-apa disini. Sebagai kawasan transit ke dua kawasan wisata, yaitu ke Wae Rebo dan Pulau Mules, seharusnya ditata – supaya menarik dipandang mata.
Terbentang laut lepas di selatan Flores, dan pantai berbatu bulat – lonjong berwarna hitam seakan membingkai pantai.

Jalan beraspal, dikiri perbukitan rendah, dan kiri jalan laut. Jalan turun naik, cendrung lurus kearah timur. Samar-samar, diujung pantai timur, tersembul dari lautan seperti bukit, yang bentuknya berpunduk. Nah itulah Pulau Mules.

Setelah melewati tanjakan pendek, jalan berada diatas tebing pantai. Terdapat kawasan terbuka, dan bebarapa bangunan kecil terbengkalai dan jalan setapak berbeton. Rupanya kawasan ini pernah dibangun fasilitas wisata, tapi tidak dilanjutkan. Pantai Hera nama lokasi ini. Memang terpat sebagai kawasan wisata. Tebing yang curam, dibawahnya terdapat sumber air panas yang keluar dari karang. Laut lepas, dengan pemandangan Pulau Mules. Karena telah memasuki sore, saya berniat istirahat malam disini. Lokasi yang saya pilih bangunan kecil, sepertinya toilet yang terbengkalai. Selagi membongkar bagasi sepeda, saya didatangi warga lokal, dan bertanya mau apa yang saya lakukan. Saya katakan, saya mau bermalam disini. “Jangan disini. Ikut saya saja,” kata Paul Kecil, yang kemudian memperkenalkan namanya.

Saya dibawa ke sebuah homestay, Pante Hera Homestay dimana dia bekerja disana. Homestay tersebut tidak ada tamu. “Bolehkah saya istirahat disini?” “Boleh. Tapi, kita ke rumah saya dulu,” katanya.

Matahari sudah tenggelam. Disini tidak ada penerangan listrik PLN. Dengan lampu senter, saya mengikuti mereka ke kampungnya. Di rumahnya, saya disediakan makan. Setelah makan, saya diantar kembali ke homestay.

“Bapak, karena kami besok pagi akan ke Lembor ada pesta keluarga, bapak kunci saja paga ini,” kata Paul dengan menunjukkan pintu pagar.

Malam itu saya di homestay sendirian. Tida ada suara yang lalu lalang, kecuali suara desiran angin dan deburan ombak yang menampar dinding karang. Pagi sekali, sebagaimana saran Paul Kecil, saya meninggalkan homestay, mengowes sepeda ke Dintor. Kejadian itu, salah satu kebaikan yang saya terima, dari sekian kebaikan yang ditawarkan kepada saya.

Selama dalam perjalanan ini, saya tidak pernah berjumpa dengan mobil, sepeda motor pun sekali-kali saja. Aktivitas cukup besar, pembangunan jembatan. Banyak alat-alat berat memapas tebing batu. Dua bocak kampung, membantu saya mendorong sepeda karena tanjakannya tajam sekali. Kedua bocah tersebut mengantar saya sampai di Desa Borik. Disinilah saya baru menemukan kios kelontong. Saya membeli minuman mineral, dan memesan teh manis. Air mineral menerima pembayaran dari dari saya, tapi teh manis di teko gratis.

Tibalah saya di Dintor sekitar jam 13.00. Serangkaian perjalanan dua hari yang melelahkan, dari atas dipanggang matahari, dari bawah terkena hawa panas aspal.
Lapar dan haus. Di Dintor ada satu-satunya warung makan kecil, tapi pun makanannya tidak tersedia. Maka makan nasi putih dengan telor dadar sajalah.

Dintor, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, merupakan check point ke Kampung Adat Waerebo, ke Pulau Mules dan ke Ruteng. Banyak turis berkunjung ke Waerebo. Jalan yang telah saya lalui, merupakan jalur wisata.

Sebagai pintu gerbang ke wisata unggulan, yaitu ke Waerebo yang legendaris, seperti kampung tak terurus. Jalannya sempit dan kotor. Tidak ada apa-apa disini. Toko kelontong, tempat makan tidak memadai. Toilet, yang sangat dibutuhkan bagi wisatawan, tidak tersedia.

Untuk ke Waerobo, biasanya turis berangkat dari Labuan Bajo dengan mencarter mobil sekelas Avanza seharga Rp.1.500.000. Rute yang dipakai yaitu Labuan Bajo, Lembor, pantai selatan, Dintor. Bisa juga melalui Ruteng.

Ke Dintor,  dari Labuan Bajo maupun dari Ruteng, tidak tersedia transportasi umum. Namun demikian, transportasi umum antara Ruteg dan Dintor, hanyalah apa disebut disana oto cold, yaitu truck yang dijadikan sebagai kendaraan penumpang. Oto cold ini akan menjadi bagian cerita sendiri, karena unik dan mengundang tertawa.
Kapasitas jalan antara Lembor sampai Dintor, bisa dilalui dengan kendaraan kecil sampai sedang. Jalan beraspal, meski kecil di bagian selatan. Dua buah jembatan sedang dalam pembangunan, yang nantinya bisa dilalui oleh mini bus. Disepanjang jalan ke selatan dan diselatan, tidak tersedia warung makan dan Pom bensin. Penjual bensin eceran pun jarang. Toko kelontong ada, namun jarang. Jaringan komunikasi dan data hanya pelayan operator Telkomsel. Dibagian selatan, sampai ke Dintor bagian timur, tidak tersedia jaringan listrik PLN.

Rute Labuan Bajo, Lembor, Dintor bagi saya luar biasa unik dan cantik. Bagi yang gemar jalan-jalan, rute ini boleh dicoba. Sepanjang jalan menyajikan pemandangan dan suasana lingkuran yang berubah-ubah dan berbeda. Selepas kegersangan alam yang kecoklatan, berganti dengan kehijauan dan kebiruan laut. Kemunculan Gunung Pulau Mules selalu membuat kecutan baru. Bukankah wisata itu kejutan-kejutan penglihatan?



Data Metrik GPS :
Labuan Bajo-Lembor   : 60 km
Lembor-Dintor              : 38 km

  

 

























Powered by Wikiloc

Powered by Wikiloc


Powered by Wikiloc


Thursday, June 20, 2019

Serial Kawasan Wisata Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian II



Labuan Bajo, oh Labuan Bajo….
Berdebu, Tumpukan Sampah, Lalu lintas yang kacau…

Labuan Bajo dulunya berupa kampung nelayan, yang didiami oleh masyarakat Bajo dari Sulawesi. Kawasan kemudian berkembang secara alami, sebagai pijakan berikutnya bagi wisatawan yang hendak mengunjungi hewan komodo di Pulau Rinca, dan pulau lainnya. Nelayan Bajo, adalah pemberi jasa transportasi laut awalnya, sebelum investor datang dengan kepal cepat dan kapal pesiar. Warga asli keturuan Bajo tersebut masih bermukim di Labuan Bajo, di sepanjang pusat wisata.

Kawasan pantai Labuan Bajo berlahan datar sempit. Selebihnya, perbukitan yang mana kemudian berkembang sebagai kawasan perkantoran dan pemukiman.

Kabupaten Mangarai Barat merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai berdasarkan Undang Undang No. 8 Tahun 2003. Wilayahnya meliputi daratan Pulau Flores bagian Barat dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya Kecil, Pulau Bidadari dan Pulau Longos. Luas wilayah Kabupaten Manggarai Barat adalah 9.450 km² yang terdiri dari wilayah daratan seluas 2.947,50 km² dan wilayah lautan 7.052,97 km².

Labuan Bajo merupakan gerbang wisata bukan saja untuk melihat Komodo, tetapi juga melihat kawasan ekskotis lainnya di Pulau Flores. Biasanya, setelah mendatangi Komodo, wisatawan asing, akan melanjutkan perjalanan ke kawasan lainnya di Flores, seperti ke Kampung Adat Wae Rebo, ke Ruteng, Bajawa, dan ke kelimutu.
Kota yang tekenal ini, sayangnya tidak menggambarkan sebagai etalase atau outlet wisata. Kota ini hanya fokus dan terlena menjual komodo. Tamu tidak akan mendapatkan informasi pandang mata di pusat-pusat wisatawa, seperti di pelabuhan, bandara, di titik kumpul wisatawan. Sedangkan di Bandara Komodo, informasi yang menonjol hanya kunjungan ke Komodo.

Kota ini terabaikan. Kotor dan berdebu. Tumpukan sampah membuat kesan yang tidak baik bagi pengunjung.
Di koridor wisata, tepatnya di Jalan Yos Sudarso, lalu lintas kendaraan pribadi, kendaraan wisata dan angkutan ekspedisi menjadi satu. Jalan Yos Sudarso, disandingkan dengan Bali, seperti Jalan Raya Kuta, Jalan Siminyak dan Jalan Legian – dimana terpusat kegiatan tourisme.

Disepanjang jalan ini, pusatnya bisnis pariwisata, hotel, café, rumah makan, jasa wisata, pelayanan daving, perbankan, mini market, dan sebagainya. Betapa kacaunya jalan ini, ketika dilewati oleh truck-truck pengangkut barang, sehingga menggangu aktivitas dan kesantaian turis.

Sebaiknnya pemerintah daerah menyediakan jalan sendiri untuk transportasi besar. Keadaan macam itu, membuat enggan turis melakukan kegiatan di uar hotel.

Jarak antar kota :
Labuan Bajo – Waerebo          : 112 km
Labuan Bajo – Ruteng             : 126 km


























HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023