DI PULAU DUA, BURUNG DATANG DAN PERGI
Dekat di mata, seakan tergapai, namun tak tersentuh. Merekaadalah kerumuman burung liar yang datang dan pergi sesuka hatinya.
Menjelang maghrib di menara pengintai Pulau Dua. Sekawanan burung laut terbang rendah dengan gerakan menjauh-mendekat. Mereka membentuk formasi kalung raksasa yang berjuntai-juntai menghiasi langit. Setelah puas terbang, kawanan burung itu membubarkan formasinya untuk kemudian satu per satu landing di dahan-dahan pohon. Segera saja hutan itu ditingkahi riuh suara mereka. Rombongan lain menyusul turun setelah mempertunjukkankebolehan yang sama. Kelak, ketika matahari sudah tenggelam di balik batas laut, keriuhan itu digantikan oleh suara burung Kowa Maling, pencari makan di malam hari.
Pulau Dua yang termasuk wilayah Serang, Jawa Barat, merupakan pemukiman ribuan burung dari aneka jenis. Kawasan yang luasnya 30 hektar ini boleh dikatakan sangkar raksasa. “Surga” burung ini didominasi jenis Dara Laut pemakan ikan, kelompok terbesar di sana. Species terbanyak adalah burung kuntul yang terdiri dari Kuntul Kerbau (Bulbulcus ibis), Kuntul Karang (Egretta garetto/sacral), Bangau Putih (Egretta alba). Selain itu juga Kowa Maling dan Pecuk Padi (Phalocrocorax sukirostris), serta burung Kucing Bakau (Fekis viverrina) yang bentuk wajahnya memang mirip kucing.
Perjalanan mereka pulang-pergi itulah yang menghadirkan tontonan paling menakjubkan karena menampilkan berbagai formasi; mulai dari formasi kalung hingga formasi permadani terbang. Tak ada foto atau lukisan yang benar-benar mampu melukiskan pemandangan itu secara tepat. Kita baru bisa merasakan keindahan itu dengan mata telanjang. Sayang, tidak sembarang orang boleh memasuki kawasan yang dilindungi itu. Harus terlebih dahulu mendapat ijin resmi dan mematuhi semua peraturan yang berlaku.
Bagai Menghitung Bintang
Pulau Dua merupakan Suaka Alaereka hidup bebas seakan menjadi gerombolan tuan besar di Pulau Dua. Mereka memiliki pola hidup sendiri yang sudah merupakan keteraturan alam. Subuh mereka mencari makan, menjelang matahari tenggelam sudah kembali ke sarang masing- masing.
Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi sejak 30 Juli 1937 yang mencakup luas delapan hektar. Kawasan itu diperluas menjadi 30 hektar pada tahun 1984 melalui SK Menteri Kehutanan dengan juga memasukkan wilayah Pulau Satu. (Rizal Bustami/Majalah NONA/Juni 1987).
Awalnya di kawasan tersebut ditemukan 63 jenis burung. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh World Wild Fund (WWF)menemukan, populasi burung di Pulau Dua pernah mencapai jumlah 50.000 yang terdiri dari 97 jenis. Namun, jumlah dan jenis itu bukan merupakan kepastian, karena setiap saat bisa berubah. Burung-burung itu datang dan pergi sesukanya mengikuti “jadwal” perjalanan mereka. Berapa jumlahnya, sama saja dengan menghitung bintang di langit.
Pada tahun 70-an, kawasan yang mereka tempati hanya pada radius 8 ha di bagian utara. Sedangkan kawasan penyangga atau cadangan yang tidak kalah rimbunnya, tidak disentuh. Tentu saja kawasan yang seluas itu menjadi sesak ditempati puluhan ribu burung. Mau dikata apa, mereka memang suka di sana. Apa yang terjadi belakangan ini? Rumah singgah 8 hektar itu ditinggalkan. Mereka pindah ke kawasan cadangan di belahan selatan. Hal itu bukan tanpa sebab. Menurut Mad Sahi, penjaga suaka alam itu, burung-burung meninggalkan “rumahnya” karena terjadi perubahan pada kawasan tersebut. Oleh berbagai perkembangan, kawasan tersebut mulai mengering. Air laut tidak lagi membasahi tanah. Selain itu, bakau dan kayu api-api berkurang pula kerindangannya. Sebaliknya, kawasan hutan di bagian selatan semakin luas.
Kawasan Pulau Dua tidak ubahnya kota besar yang menjadi muara urbanisasi. Kebanyakan burung yang ada di sana merupakan para pendatang seiring dengan pergantian musim. Mereka datang dari Taiwan, Hongkong, dan Filipina, bahkan ada pula yang hijrah dari benua Australia. Pendatang tersebut umumnya burung kuntul yang kemudian berbaur dengan burung-burung lokal, seperti Perkutut, Kuntul Dederu, Raja Udang, dan burung-burung kecil lainnya. Meski jumlahnya mencapai ribuan, namun tidak mengakibatkan “tuan rumah” tersingkir. Bahkan, mereka bisa hidup rukun dan damai dengan kebiasaan hidup masing-masing. Yang menggemaskan, burung-burung itu bersarang rendah. Itu menggoda hati untuk menyentuh dan mengambilnya. Mereka begitu jinak di tangan, padahal mereka sebenarnya burung liar.
Burung-burung pendatang itu menetap selama enam bulan, antara Juni sampai November. Setelah bertelur dan nak-anaknya bisa terbang jauh, mereka meninggalkan Pulau Dua meneruskan perjalanan. Adakalanya jadwal kedatangan mereka meleset oleh berbagai sebab. Contohnya, November tahun ini, mereka belum tampak hadir. Padahal, biasanya di bulan November, Pulau Dua senantiasa ramai “tamu”. Menurut perkiraan Mad Sahi, Pulau Dua akan ramai di bulan Januari.
Jangan Bawa Antinyamuk
Pulau Dua berada di Desa Sawah Besar, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang. Sekitar 22 KM dari kota Serang, tidak jauh dari situs Banten Lama. Kendaraan roda empat hanya sampai di pusat desa. Perjalanan berikutnya dilakukan dengan berjalan kaki selama setengah sampai satu jam melalui pertambakan. Anda tidak perlu berlama-lama di kawasan ini, karena terlalu banyak nyamuk. Bahkan, di siang hari pun nyamuk-nyamuk nakal itu gemar menempeli kulit kita. Perlu diingat, meskipun nyamuk banyak, tidak dibenarkan membawa zat antinyamuk karena dapat merusak struktur lingkungan di sana. Kalau pun Anda tidak tahan dengan gigitannya, tepuk saja.
Yang disebut Pulau Dua itu ternyata tidak sebagaimana pulau yang sesungguhnya. Kawasan itu telah menyatu dengan daratan Pulau Jawa. Penyatuan ini diakibatkan oleh berton-ton lumpur yang terbawa arus Kali Kemayungan sehingga membentuk endapan yang kemudian menyatukan kedua pulau itu. Pulau Satu yang berada di sebelah utara Pulau Dua juga diperkirakan akan menyatu oleh sebab yang sama.
Daratan yang meluas tersebut oleh masyarakat setempat dijadikan tambak udang dan ikan. Belakangan tambak-tambak tersebut berpindah tangan kepada pemodal dari Jakarta. Begitu suburnya bisnis tambak hingga kini Pulau Dua terkepung oleh tambak-tambak. Bagian barat dan utara menghadap laut. Berada di menara pengintai, sekeliling Pulau Dua hanya kelihatan daratan berwarna coklat. Yang hijau hanya bagian Pulau Dua saja.
Jalan setapak di tengah hutan bakau dan kayu api-api yang terkadang becek dan kelam, dihebohkan kicauan beraneka jenis burung dan teriakan Kowa Maling. Kotoran burung yang berwarna putih berceceran dimana-mana. Di rawa-rawa akan ditemui sekawanan kecil burung berwarna putih dan hitam.
Pulau Dua, bagi kalangan peneliti, mahasiswa, pemerhati lingkungan hidup, wartawan, dan birokrat, merupakan sebuah pergulatan dalam hal mempertahankan suatu kawasan konservasi. Banyak pihak yang sangat peduli terhadap kawasan ini di tengah ancaman pengrusakan yang tak kalah kuatnya. Dari kalangan wartawan sebut saja nama Rudi Badil dan Uthun yang gigih berjuang dengan caranya sendiri. Banyak peneliti lahir di sini. Tidak sedikit skripsi mencetak sarjana. Dua menteri, yaitu Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja, tak kalah memberikan perhatian terhadap pulau tersebut.
Penjarahan
Segala upaya itu disaksikan oleh Mad Sahi dan dia jugalah yang terkadang sendiri menanggung segala derita agar pulau tersebut tidak dijarah masyarakat setempat.
Pada tahun 70 sampai 80-an, gangguan terhadap Pulau Dua dengan segala isinya tidak tanggung-tanggung. Hutan bakau digasak untuk diambil kayunya. Pembangunan tambak-tambak udang pun mendesak kawasan. Orang keluar masuk membawa senapan angin dan jerat. Nelayan dan petambak burung-burung memusuhi kawanan burung. Kawasan seluas 8 hektar itu beberapa kali dipagar dengan kawat berduri, namun tidak pernah bertahan lama. Andaikata tidak ada usaha yang tak kenal lelah dan takut, dapat dipastikan kawasan tersebut sudah berubah menjadi tambak atau menjadi hamparan lumpur tak berguna.
Saat ini pulau tidak lagi berpagar. Juga tidak ada papan pengumuman sebagaimana umumnya suatu suatu kawasan konservasi. Hanya sepetong lempengan seng yang bertuliskan “Pulau Dua” menempel di sebatang pohon menandakan, inilah kawasan Pulau Dua. Tidak lagikah bahaya mengancam? Sejauh ini, ancaman hampir tidak ada. Sebab, masyarakat setempat telah menyadari betapa pentingnya arti kawasan tersebut. Para pemilik tambak juga sudah bisa hidup bertetangga dengan burung-burung. Bahkan, ketika burung-burung itu mencuri ikan-ikan di tambak, mereka biarkan. Nelayan pun toleran kepada para burung tersebut.
“Saya percaya bahwa masyarakat disini sudah sadar. Mereka ikut menjaga Pulau Dua,” jelas Mad Sahi yang mendapat penghargaan Kalpataru dan Satya Lencana Pembangunan dari Pemerintah.
Meskipun ancaman perusakan dan perburuan burung sudah tidak ada lagi, tidak berarti kenyamanan burung tersebut tidak terusik. Beberapa tahun belakangan ini, tamu yang mendatangi kawasan Pulau Dua semakin banyak saja. Setiap hari Minggu, rombongan pelajar dan masyarakat dari berbagai daerah memasuki kawasan itu. Tujuannya hanya satu, yaitu rekreasi.
Kunjungan–kunjungan seperti itu dalam jangka panjang berpotensi besar merusak tatanan kawasan tersebut. Pertama, karena struktur alam yang ada akan berubah. Kedua, burung-burung tidak lagi merasa damai karena banyak manusia berkeliaran. Pada satu sisi, kedatangan pelajar dan masyarakat memang dibutuhkan sebagai ajang pendidikan dan kecintaan lingkungan hidup, sekaligus mendatangkan tambahan dana bagi Pemerintah Daerah setempat. Namun dalam soal perlindungan alam, kedatangan manusia bisa sangat mengganggu. Kondisi mutakhir inilah yang menganggu pikiran Mad Sahi. Kekawatiran Mad Sahi dapat dimengerti. Sebab, dialah yang sepanjang 20 tahun berada disana. Ia tampak begitu cemas. “Saya mengusulkan Pulau Satu untuk rekreasi. Biarlah pendatang menonton burung dari jauh. Sedangkan kawasan Pulau Dua, khusus untuk peneliti,” usulnya.
Kegundahan Mad Sahi perlu ditanggapi. Usulannya tidak ada salahnya dipelajari untuk menghindari bencana terhadap kawasan Pulau Dua. (Rizal Bustami / Foto – Foto : Alvan)
Boks
“Teman dari UI apa kabarnya, ya? Tidak ada lagi yang datang kesini,” ucap Mad Sahi sesaat setelah bertemu lagi dengan Swara KARTINI Indonesia. Lalu, ingatannya meloncat ke sosok Rudi Badil (Kompas) dan Uthun (Suara Pembaruan), Emil Salim, dan Sarwono Kusumatmadja. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pertalian khusus dengannya. Persahabatan itu tergalang di Pulau Dua. Mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menyelamatkan kawasan tersebut dari kehancuran. Tentang sosok Emil Salim rupanya tersimpan khusus di hati Mad Sahi. “Saya selalu ingat Pak Emil. Saya juga merasa bahwa Pak Emil tidak akan melupakan saya,” ungkap Mad Sahi di rumahnya di Kampung Sawah yang ia peroleh dari hadiah uang Kalpataru tahun 1982.
Lelaki bertubuh kecil itu telah berjibaku menghadapi segala ancaman yang akan mengenyahkan burung-burung di Pulau Dua. Ia telah mempertaruhkan nyawa dan nasib keluarganya demi burung-burung. Pengetahuannya tentang burung dan lingkungan Pulau Dua melebihi kepakaran siapapun. Sudah beberapa doktor, sarjana, dan wartawan lingkungan hidup lahir di sini. Sedikit banyak, Mad Sahi ikut berperan mensukseskan penelitian dan reportase mereka.
Mad Sahi berasal dari Ujungkulon. Tahun kelahirannya ia tidak tahu persis. Ia hanya mengira-ngira usianya berdasarkan keterangan orangtuanya yang kurang lebih 43 tahun. Pengabdiannya di Pulau Dua dimulai sebagai tenaga serep (cadangan) pamannya, Sabin, tahun 1978. Kemudian, ia diangkat sebagai pegawai honorer. Tahun 1982, ia menerima Kalpataru. Hadiah uang dua setengah juta rupiah ia belikan tanah dan rumah. Tahun berikutnya, ia diangkat sebagai pegawai negeri.
Untuk kedua kalinya ia menginjakkan kaki ke Istana Negara ketika pada tahun 1995 dianugrahi Satya Lencana Pengabdi Lingkungan. Sebagai hadiah, ia diberangkatkan ke Mekah.
Selain burung-burung, hanya Odah yang mampu memikat hati Mad Sahi. Tahun 1979 mereka menikah di Sawah Besar. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua anak, Ati (lulusan Sekolah Dasar) dan Riswan (Kelas 3 SD).
Mad Sahi hanya lulusan Sekolah Dasar. Mungkin saja tidak tamat. Namun, Kalpataru dan Satya Lencana ada padanya. Entah karena “kebodohan”nya atau karena keluguannya, piala Kalpataru yang didapatkannya tahun 1982 hanya dua hari di rumahnya. Ceritanya, sepulang dari Istana Negara, Pemda Serang meminjam piala itu untuk sebuah acara pameran pembangunan. Belakangan ia ketahui Kalpataru tersebut terbang ke Bandung. Dua dasawarsa ia menantikan Kalpataru. “Katanya Kalpataru itu akan diantarkan ke saya. Mana janjinya?” harap Mad Sahi yang golongan kepegawaiannya masih saja II D.
Kalpataru dan Satya Lencana tidak sembarang orang bisa memperolehnya. Bila Mad Sahi mendapat penghormatan itu, tentu ia bukan sembarang orang. Di balik kesederhanaan dan keluguannya, ia telah membuat karya besar, yaitu mengamankan Pulau Dua dengan segala isinya. Ia tetap saja sebagai orang yang sederhana dan lugu. “Saya hanya orang kerja. Kok, saya diberi penghargaan setinggi itu,” masih saja tidak yakin apa arti dari perbuatannya selama ini.
Ia bergaul dengan segala lapisan, mulai dari orang kampung, mahasiwa, dosen, peneliti, wartawan, pejabat sampai menteri. Kepada wartawan ia sangat terbuka. Ia tahu apa yang dibutuhkan oleh wartawan. Sekali pertanyaan keluar, ia tanggapi panjang lebar. “Ini kan untuk diberitakan. Pintar-pintar bapak saja menulisnya,” pinta Mad Sahi.
Nama Mad Sahi dengan Pulau Dua sudah setali mata uang. Keduanya seperti tidak bisa dipisahkan. Jiwa Mad Sahi ada disana, meskipun raganya sedang bersama anak dan isterinya. “Tidak tahulah. Di rumah pun saya bangun tengah malam lalu ke pulau,” akunya. (Rizal Bustami)
No comments:
Post a Comment