Thursday, February 28, 2013

Trans Papua Bagian II : Polisi yang menjaga perbatasan seorang diri...

Ipda Ma'ruf

Ipda Ma’ruf, Sang Penjaga Perbatasan

Seorang anggota polisi berpangkat Ipda menyambut dengan ramah. Namun dibalik keramahannya itu tak tersingkirkan sikap ketegasan. “Siap, Pak!,” sering terucap darinya.  Meski murah senyum, dan banyak bicara, sikap waspada selalu pada dirinya. Dengan rendah hati, Ipda  Ma’ruf Suroto meminta siapa saja untuk mengisi tamu, meminta nomor telepon dan berfoto. Siapa Ipda Ma’ruf ? Tapi, di Merauke, Papua dia sangat terkenal. 

Barangkali menjadi pertanyaan semua rakyat Indonesia, mana sih yang disebut dengan Sabang  sampai Merauke itu ? Dimana gerangan tanda letaknya di bumi? 

Sekitar 70 km dalam hitungan GPS ke Tenggara Merauke terdapat sebuah tugu dinamai Tugu Kembar Sabang - Merauke. Tugu ini ditandai dalam jarak 5200 km dari Tugu Nol Kilometer Sabang. Satu tugu berada di Sabang, tugu kembarannya berada di Merauke. Kedua tugu tersebut bukanlah batas sesungguhnya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), melainkan batas simbolis saja. Batas sesungguhnya di belahan timur, salah satu patok perbatasan adanya di Distrik Sota, sekitar 10 km ke timur Tugu Kembar Merauke.
Tugu Kembar Merauke sendiri berada di persimpangan jalan. Kearah Utara ke Boven Digoel, ke Timur ke Sota.



Kawasan perbatasan ini jalannya mulus dan lurus, melewati Taman Nasional Wasur, sekitar stau 2 jam dari kota Merauke. Berbelok ke kanan di persimpangan Tugu Kembar Merauke, akan melewati Distrik Sota dan Pos Penjagaan Perbatasan RI.  Di persimpangan tiga banyak terdapat warung kelontong, warung makan dan penjual buah-buahan. Terdapat Stasiun Pengisian BBM yang belum berfungsi.
Sebuah garupa menyambut.  

Di taman yang asri, bagian-bagian tertentu bercat merah putih,  sebuah tugu kecil berdiri tegar. Tugu yang terbuat dari alumunium tersebut bertuliskan Tim Survey IRA. Lempengan plakat bersimbolkan lambang Negara kedua Negara. Disisi PNG, bertuliskan AUST Survey Team dan plakat lambang Negara RI dan Papua New Gunea (PNG). Disisi lainnya tertera koordinat bumi : 141 1 10 E 8 25 45 S. Tertera pula tahun pembuatannya 23.8.87.  Pada plakat tertulis Joint Papua New Guinea  - Indonesia Survey 1983. Border Monument No. MM 13. Date Established  November 1983. Latitut 8 24 45 Longitude 141 01 0.   Tugu itu merupakan salah satu patok yang menandai perbatasan Republik Indonesai dengan Papua New Guinea.  


Di seberang patok yang  terbuat dari alumunium tersebut, terdapat jalan setapak menuju PNG. Tidak ada perbedaan alam antara kawasan Indonesia dengan PNG. Manusianya pun sama saja rupanya, namun Ibda Ma’ruf mengenali siapa saja yang melintasi perbatasan dari negeri jiran tersebut.

Ibda Ma’ruf sebenarnya bukanlah khusus bertugas menjaga perbatasan tersebut. Dia merupakan anggota Polsek Distrik Sota sejak tahun 1993. 

Tahun 2003, Bupati kala itu, membangun taman kecil di sekitar tugu perbatasan. Sejak dibangun, taman tersebut tidak terurus sehingga ditumbuhi semak belukar.  Dua tahun kemudian, Polisi kelahiran Magelang tahun 1967 itu, mencoba membersihkannya disetiap waktu senggangnya. Karena dia sering ke perbatasan untuk merawat taman, penduduk setempat ikut pula membantunya. 
“Taman ini luasnya satu hektar. Mambangunnya dengan uang saya sendiri. Masyarakat turut membantu mengerjakannya,” terang Ma’ruf.


Di Taman Sota Ma’ruf membuat sebuah pondok kecil alih-alih sebagai tempat istrihatnya. Kemudian pondok tersebut ia jadikan warung. Pada hari Sabtu dan Minggu, istrinya Tati Bidiningsih, berjualan makanan dan minuman. Seiring makin banyak pengunjung datang, kemudian mata dagangannya ia tambahkan dengan cendera mata seperti topi bertuliskan “Lintas Batas RI PNG, Sota Merauke”. Pada topi disertai pula dengan bendera kedua Negara. Selain topi, ada kaus yang menandai Sota. 

Ma’ruf juga menyertakan masyarakat Sota untuk berjualan di taman. Taman yang direhabilitasi oleh Ma’ruf, merubah batas lintas Negara menjadi menyenangkan, “welcome”, dan tidak menyeramkan atau menegangkan. 

Ma’ruf menjadi sosok yang unik dan langka di negeri ini. Di Taman Perbatasan Sota itu, dia tidak dalam penugasan khusus karena disini tidak terdapat Pos Penjagaan Lintas Batas dan tidak ada Kantor Keimigrasian. Kantor Imigrasi adanya di pusat Distrik (Kecamatan). Namun, Ma’ruf menjelma sebagai “Petugas Penjaga Perbatasan” karena sehari-hari dia berada disana. Dengan demikian, dia sangat mengenal orang per orang yang melintasi perbatasan.

Ma’ruf jadi dikenal oleh masyarakat perbatasan kedua Negara. Inilah peran unik Ma’ruf, selain sebagai alat keamanan Negara, dia juga berlaku sebagi “diplomat” dimana ia menjembatani hubungan masyarakat di kedua Negara. 


Tak jarang, dia berperan sebagai perantara ketika orang PNG hendak ke wilayah Indonesia untuk suatu keperluan. Bahkan, Ma’ruf bersedia berbelanja ke pasar untuk keperluan warga PNG tersebut karena suatu alasan mereka tidak bisa masuk ke Indonesia.

Meski Ma’ruf ramah kepada semua orang, tidak serta merta warga PNG bebas-bebas saja lalu lalang. Ada aturan tak tertulis, dan tata terbit yang dipatuhi. “Mereka ini kan masih bersaudara, jadi kita tidak bisa melakukan aturan yang ketat. Namun demikian, warga seberang menghormati kedaulatan kita kok,” jelas Ma’ruf.
Sebetulnya, Ma’ruf tidak saja membina warga Indonesia, tetapi juga telah membina warga PNG dengan sendirinya. Akhirnya tumbuh saling kepercayaan dan persahabatan dalam menjaga keamanan. 

Bahkan, cerita Ma’ruf, pernah terjadi warga Indonesia berbuat kriminal di kampungnya, melarikan diri ke PNG. Warga PNG menahan orang tersebut, lalu menyerahkannya ke Ma’ruf. “Lucunya, mereka bukannya melapor ke Kepolisian RI, malah menyerahkannya kepada saya,” Ma’ruf bercerita tertawa-tawa.

Kecintaan masyarakat kedua Negara terbukti ketika Ma’ruf dimutasikan. Mendengar Ma’ruf dimutasikan, warga Sota mendatangi rumah kediaman Kapolres di Merauke – meminta mengembalikan Ma’ruf ke Sota. Kejadian tersebut membuat Ma’ruf menangis haru. Mengetahui Ma’ruf kembali bertugas di Sota, dan hadir kembali di Taman Sota, masyarakat PNG pun berdatangan memberikan salam.
Apa yang dilakukan oleh Ma’ruf di Patok Sota, tak urung mendapat cibiran, namun demikian tidak menyurutkan aktivitasnya. 

Biarpun berada di negeri paling ujung NKRI, dan sudah pasti hanya segelintir orang yang mengetahui posisi buminya, toh namanya sampai jua ke Kantor Kepresidenan. Pada tanggal 1 Juli 2012, Ma’ruf mendapat penghargaan dari Presisen RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian Kapolri menaikkan pangkatnya menjadi Ipda.

Itulah buah dari jerih payah dan pengabadiannya yang luar biasa. Sebagai anggota Polri, tapi dia telah melebihi tugasnya sehari-hari. Dengan sukarela dia jaga perbatasan, dengan sabar ia bina warga di kedua Negara, ia bangun sebuah citra perbatasan yang tidak menyeramkan. Ia pun menjadi terkenal, dan semua wisatawan yang datang berfoto dengannya.

Ia selalu didampingi oleh istrinnya. “Saya betah disini. Saya tidak mau pindah dari sini,” Ibu dari dari dua anak itu.
Mendapat kenaikan pangkat luar biasa, bukan harapannya. Diundang ke Jakarta, tak pernah dalam mimpinya. Namun dia ingin memiliki rumah sendiri di dekat perbatasan. Dia sudah punya tanah disana, tapi tidak mempunyai uang untuk membangun rumah. “Mudah-mudah Pak SBY memberikan rumah buat kami,” harap Ma’ruf.


Ma’ruf sudah menetapkan pilihan hidupnya, sampai akhir hayatnya mengabdikan diri menjaga NKRI, meski hanya satu dari tapal batas saja dari 123 lintas batas di seluruh Indonesia. 

“Saya tidak mempunyai dan tidak memakai pakaian lain selain pakaian Polisi. Tidur saja saya memakai kaus Polisi,” ungkap Ma’ruf yang selalu rapi dengan sikap sempurna itu. 
Tinggal satu saja harapan Ma’ruf dan istrinya, yaitu memiliki rumah pribadi di perbatasan Sota, karena dia sudah menetapakn pilihan hidupnya mengabdi selamanya disana. (Rizal Bustami)
















No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023