Trans Papua, yang Membelah
Papua dari Selatan ke Utara
Apa yang kita bayangkan
tentang Papua, baik itu Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, umumnya
hanyalah pegunungan yang tinggi-tinggi, hutan belantara dan rawa-rawa. Berikut dengan manusianya yang setengah
telanjang. Issu-issu, dan kasus-kasus adanya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan)
yang sering melakukan penyerangan bersenjata, menambah pandangan kegelapan
orang-orang luar mengenai Papua.
Benarlah adanya, bumi
Papua dipenuhi oleh belantara, pegunungan yang menjulang dan rawa-wara yang
membentang. Namun, tidak seluruhnya benar, bahwa masyarakat Papua
sehari-harinya setengah telanjang. Benarlah adanya, disana terdapat GPK.
Pada tahun 1996, dengan
TNI AL saya menelusuri pantai bagian barat Papua, mulai dari Sorong sampai
Merauke, serta mengunjungi beberapa pulau di Provinsi Irian Barat, itu dulu
namanya. Pada Agustus tahun 2012, saya berkesempatan lagi mengunjungi Wamena
dalam rangka menghadiri Festival Lembah Baliem. Saya terkesima, dan sampai
kehilangan orientasi ketika keluar dari bandara karena saya tiba-tiba berada
disebuah perkotaan, sesuatu yang jauh berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya
(baca posting sebelumnya tentang Wamena).
Kota ini sudah tumbuh
layaknya sebuah ibukota kabupaten yang setara dengan dengan kota-kota di Jawa
dan Sumatera. Ada ATM, mini market, hotel, angkutan perkotaan, rumah makan,
rumah ibadah, dan berbagai penerbangan untuk beberapa tujuan.
Apa yang disebut Lembah
Baliem itu, membentang jalan beraspal halus dengan penerangan listrik. Semua
desa dan distrik (kecamatan) terlayani oleh angkutan pedesaan. Dan, Wamena dapat
dilihat, sudah sebagai tujuan wisata manca Negara, dan akan ditemui banyak bule,
wisatawan manca negara disana.
Bagian utara Papua,
mulai dari kepala burung, Sorong , sampai Jayapura, janganlah dikata
tertinggal, suasananya sudah metropolis. Dari Sorong sampai Merauke, sepanjang
pesisir barat, sama saja keadaannya dengan Sulawesi.
Pada tahun 1996, saya
sudah menginjakkan kaki ke Merauke, tetapi tidak sempat berjalan-jalan. Januari
2013 saya kembali ke Merauke. Kedatangan saya bersama Zulfikar Akbar ke Merauke
untuk mengunjungi beberapa perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea. Setelah
mengunjungi perbatasan Sota, sekitar 80 km dari Merauke, saya harus ke Tana
Merah, Kabupaten Digoel, di utara Merauke lebih kurang 420 km jaraknya.
Ini bukan perjalanan
yang enak, tidak semudah ke Wamena. Meski ke Wamena hanya dilayani oleh
penerbangan, karena tidak tersedia jalan darat, namun jadwal penerbagan
Jayapura – Wamena sangat ramai dan pasti. Ke Tana Merah, selain dilayani dengan
pesawat, juga tersedia jalan darat. Baik melalui jalan darat maupun dengan
penerbangan, ketidak pastian waktu untuk berangkat sangatlah biasa. Penerbangan
yang dilayani oleh Merpati, hanya pada hari Selasa, Kamis dan Minggu. Ongkosnya
Rp. 995.000 per orang. Keberangkatan pesawat tergantung cuaca. Calon penumpang
harus rajin-rajin mendatangi kantor Merpati di Jalan Mandala, Merauke untuk
mengetahui kepastian pesawat berangkat.
Tidak ada bus antar
kota disini. Untuk ke Tana Merah atau sebaliknya, dilayani oleh kendaraan mini
bus jeep. Ongkos per penumpang Rp. 750.000. Calon penumpang menunggu panggilan
telepon untuk berangkat sampai kursi penumpang terisi penuh. Cara lain untuk
mendaptkan kepastian perjalanan, dengan mencarter kendaraan tersebut. Harganya,
sungguh membuat calon penumpang shock, yaitu Rp. 9 juta satu kali perjalanan. Harga
yang fantastis! Alih-alih, cuaca buruk, jalan rusak, beresiko, karena itulah
sewa kendaraan mahal.
Setelah tawar menawar
yang panjang, sewa kendaraan deal. Jam 10.30
kami meninggalkan Merauke. Sebelum meninggalkan kota, perbekalan untuk dijalan
dibeli dulu di mini market. Rutenya ke arah Patung Kembar Sabang-Merauke, di
persimpangan ke Perbatasan Sota. Di persimpangan tiga ini, mobil berhenti.
Sopir mengajak kami ke warung nasi untuk makan. Inilah pemberhentian pertama.
Bukan mobil kami saja yang berhenti disini, ternyata semua kendaraan yang
menuju utara, berhenti dan penumpang makan. Sebagian dari jalan ini, berada di
bagian Taman Nasional Wasur. Taman Nasional Wasur ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan dengan Surat Keputusan No.
448/Menhut-VI/90, seluas 413.810 hektar
Jalan lurus, landai dan
lengang. Sedikit sekali ada kendaraan melintas di rute ini. Kiri kanan jalan
hutan dan dibeberapa tempat terdapat rawa. Tidak ada perkampungan dan aktifitas
masyarakat. Beberpa Pos Penjagaan Perbatasan TNI (Tentara Nasional Indonesia) terdapat
di jalanan ini. Di setiap Pos Penjagaan Perbatasan, kendaraan atau orang yang
lewat tidak perlu melapor, cukup memperlambat kendaraan dan membunyikan
kelakson.
Mobil jeep kuluaran
tahun 90-an itu, berlari kencang. Sang sopir yang berasal dari Sulawesi
Selatan, dan kenek dari Lombok, seperti kesetanan. “Kita harus sampai sebelum
malam, Pak,” kata sang sopir, yang masih remaja itu.
Empat jam perjalanan mulai muncul sepeda motor dan
kendaraan roda empat. Tak lama, tampak dua tiang menara komunikasi radio. Kami
berada di Distrik Bupul. Disini terdapat Kantor Polsek Bupul, dan Pos TNI. Di
Bupul juga terdapat Batalion TNI. Keadaannya sudah seperti di Lampung. Banyak
terdapat rumah-rumah kayu beratapkan seng. Masyarakat penghuninya berkulit
coklat terang. Rupanya kawasan ini dulu transmigran dari Jawa, sentra pertanian
padi. Disini, mobil yang kami tumpangi menambal ban karena sebelumnya ban
pacah. Tampak ada kehidupan ekonomi yang baik disini, ditandai dengan
rumah-rumah yang baik, kendaraan sepeda motor, dan antena parabola. Suasana
damai dan tenang. Dan memang, 90 persen masyarakatnya adalah pendatang. Inilah
salah satu kawasan pemasok beras dari Merauke untuk kawasan Papua.
Beras Merauke memang
terasa enak. Warna putih bersih, panjang dan berisi. Tidak keras, juga tidak
lembek. Di Papua, beras Merauke sangat digemari. Bagi saya, yang pemerhati
kuliner, inilah beras terbaik yang saya makan.
Mobil Taft kembali
melanjutkan perjalanan. Melewati perkebunan kelapa sawit, tetapi tidak begitu
luas. Selepas perkebunan, melalui simpang tiga, Desa Sempati namanya. Tak jauh
dari Desa Sempati, melewati Distrik Ulilin. Disini terdapat stasiun pengisian
bahan bakar kendaraan, seperti yang ada di kota. Tetapi, lucunya, pengisian bahan bakar justru dengan kaleng minyak.
Rupannya pompa pengisian bahan bakar belum berfungsi.
Mobil kembali dipacu.
Tiada kampung, dan kehidupan. Beberapa jembatan sedang dibangun. Sampailah di Pasar
Muting, yang cukup ramai. Inilah tempat pemberhentian berikutnya. Setelah
beberapa saat melanjutkan perjalanan, melewati jembatan konstruksi besi yang
cukup panjang, yang berada di lingkungan hutan. Selepas jembatan ini, memasuki
perkebunan kelapa sawit. Berada di perkebunan kelapa sawit, hari sudah sore.
Menjelang malam, beru diketahui bahwa lampu utama mobil tidak berfungsi. Sang
sopir dan kenek, berusaha memperbaikinya. Lampu berfungsi kembali, tapi tidak
baik kondisinya.
Perjalanan malam di
perkebunan. Kelap - kelip lampu menara dari kejauhan, kami menghidupkan semua telepon
seluler. HP berkartu SIM Telkomsel dan Indosat mendapatkan sinyal. Di tempat
yang ramai, mobil kami minta berhenti untuk melakukan komunikasi sebelum sinyal
hilang kembali. Kami berada di Asiki, yang cukup ramai.
Keluar dari perkebunan,
melewati hutan. Dari monitor GPS, sisa perjalanan ke Tana Merah 20 km lagi.
Sisa 20 km tersebut terasa amat jauh dan lama, karena sejak pagi kami
terombang-ambing di mobil. Sekitar jam 21.00, kami memasuki kota Tana Merah,
Ibukota Kabupaten Digoel. Terlebih dahulu kami mencari hotel. Setelah check in,
kami mencari makan. Semua warung makan sudah tutup, satu warung makan dari
Makasar, mau membuka warungnya kembali, sehingga kami bisa makan malam.
Takjub juga berada di
jantungnya Papua, setelah melalui 420 km perjalanan, terang benderang, ada
akitivitas masyarakat, dan banyak pertokoan. Kota ini, kota yang sedang tumbuh,
jangan berharap mendapatkan fasilitas yang memadai. Tapi untuk sekedar
kebutuhan mendasar, tersedia. Kota ini bersisian dengan Sungai Digoel, yang
bermuara di Pantai Barat Papua.
“Boven itu artinya
kecil atau pendek, Digoel adalah nama sungai. Tentang Boven itu, kami pun masih
rancu, sepertinya dari bahasa Belanda,” jelas Clemens, Dewan Adat Moyo,
Kabupaten Boven Digoel.
Pagi, keesokan harinya,
kami harus melanjutkan perjalanan ke perbatasan Kombut, Distrik Mindiptana, 120
km dari Kota Tana Merah. Ke Mindiptana sendiri sejauh 73 km. Perjalanan ini
dicatat dengan GPS Garmin 60CSX dan Garmin Oregon 300.
Jalan raya ke
Mendiptana beraspal baik, dan terasa menyenangkan, hanya beberapa bagian saja
dalam kondisi perbaikan. Jalan ini berstatus Jalan Internasional nantinya, yang
akhirnya menembus Lintas Batas Kombut-Papua New Guinea.
Mendiptana kita
menemukan sebagai sebuah pedesaan yang sudah berusia tua, dan modern. Pedesaan
modern diartikan sebagai desa yang sarana dan prasaranya sudah komplit.
Ketika sampai di
Mindiptana dan mencari informasi transportasi berikutnya menuju Kombut, kami
dihampiri oleh Kepala Kepolisian (Kapolsek) Distrik Mindiptana. Setelah kami
menjelaskan siapa kami dan tujuan kami, Kapolsek memberikan bantuan yang
diperlukan.
Perjalanan berikutnya
tidak bisa ditempuh dengan kendaraan
roda empat, karena beberapa jembatan rubuh bahkan sudah lapuk. Menuju Kombut,
sejauh 47 km, menggunakan jasa ojek yang dibayar Rp. 400.000 per sepeda motor.
Seluruh jalan menuju
Perbatasan Kombut, berupa jalan tanah. Jalannya cukup lebar, dalam proses
penyempurnaan. Dua Pos Penjagaan Perbatasan berada diruas jalan ini. Meski
berada pada bagian timur Papua, kehidupan masyarakat cukup baik. Warga setempat
berumah kayu, tidak lagi dengan model rumah tradisionil Papua, yahitu honey.
Beberapa rumah terpasang parabola. Penghasilan utama penduduk dari getah karet
hutan.
Sampai di Kombut, kami
mendatangi ke Pos Penjagaan Perbatasan TNI Kombut. Kami hanya sekedar mengisi
buku tamu dan meminta informasi lokal. Pos yang terletak di ujung Papua
tersebut, terpencil keberadaannya, namun berdekatan dengan perkampungan. Dari
bincang-bincang dengan anggota TNI setempat, diketahuilah bahwa mereka minim sarana
pendukung, bahkan sepeda motor pun tidak punya. Sedangkan makan sehari-sehari, makan
seadanya. “Indo mie saja, sudah mewah bagi kami. Untuk ke Mindiptana, membeli
keperluan logistik, kami meminjam motor warga, karena memang kami tidak punya,”
terang salah seorang anggota TNI yang berasal dari Sumatera Barat.
Di Kombut terdapat
sekolah dasar yang dikelola oleh gereja. Setiap petang, di sekolah ini
diajarkan bahasa Inggris. Pengajarnya adalah pengungsi Papua di Papua New Guinea.
Diantara pengajar tersebut, adalah Pius. Dia sudah setahun ini mengajar bahasa Inggris.
Murid-murid sukarela, bahkan banyak diikuti oleh orang dewasa.
“Di PNG bahasa Inggris
sebagai bahasa wajib. Saya disini untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris,
agar warga Papua di perbatasan melek pengetahuan, karena pengetahuan itu
umumnya berbahasa Inggris,” ungkap Pius.
Pius dengan beberapa
orang sekampungnya di Kombut, mengungsi ke PNG tahun1984. Para pengungsi dari Indonesia ini ditempatkan
di Desa Yogi, Parovinsi Kiongga, Papua
New Guinea. Juga ada pengungsi dari daerah lainnya.
Mereka mengungsi karena
ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun apa yang terjadi disana,
harapan tinggallah harapan. Mereka tinggalkan kampung halaman, lepaslah kewarga
negaraannya, apa mau dikata, dinegeri seberang mereka tanpa pengakuan kewarga
negaraan. “Kami para pengungsi, yang cukup banyak disana, tinggal di kampung Yogi, dibawah otoritas UNHCR. Kami ingin
kembali ke kampung halaman, ke sini, untuk membangun kampung kami,” terang Pius
yang mana camp pengungsi tersebut berada 20 km dari batas Negara, atau 4,5 jam
berjalan kaki. Sedangkan Kombut, berada
sekitar 20 km pula dari batas Negara.
Antara kedua warga
Negara, bebas-bebas saja berlalu lalang. Karena sudah saling mengenal, dan
mereka tidak diberlakukan ketentuan keimigrasian, namun wajib melapor. Di
Mindiptana terdapat Kantor Imigrasi. Warga PNG biasa berbelanja ke Mindipatana,
mereka berjalan kaki bisa seharian. Mereka datang, adakalnya membawa
barang-barang dagangan. Golok PNG sangat disukai di Papua. Ketika saya hendak
membeli golok tersebut, warga PNG tidak mau menjualnya, “Punya orang, ada yang pesan,”
kata mereka dalam bahasa Indonesia.
Antara Mindiptana –
Kombut, tampak tanaman buah –buah yang sudah tua, seperti manga, rambutan, dan
durian. Pohon buah-buahan tersebut mengelompok di satu kawasan, dan terdapat
diberbagai tempat. Akan hal itu, saya bertanya kepada pemilik sepeda motor yang
saya tumpangi. “Betul Pak, ini dulu kampung. Mereka mengungsi ke PNG pada tahun
80-an. Yaa, sekarang mereka nggak bisa lagi kembali. Kehidupan mereka di
pengungsian sangat susah, masyarakat PNG saja tidak mau menerima mereka. Karena
itu mereka ingin kembali ke Papua” kata pengemudi sepeda motor itu.
Awan berat menyelimuti
Kombut, pengumudi ojek tampak gelisah, sebentar-sebentar mereka mengadah ke
langit. Kami paham, karena jika hujan turun, akan menyulitkan sepeda motor
melaju. Begitu rintik hujan pertama jatuh, saya mengemasi perangkat agar tak
basah, kecuali GPS Garmin dan Sony Xperia Active yang tahan air.
Hujan yang turun, meski
tak lebat, merepotkan perjalanan dengan sepeda motor kembali ke Mindiptana.
Acapkali saya harus turun dari boncengan, dan adakalanya mendorong-dorong
sepeda motor supaya bisa bergerak di jalan yang mendaki.
Saya berpapasan denga
dua sepeda motor, yang berpenumpang. Salah seorang diantaranya
berteriak-teriak, “Tunggu, tunggu… Berhenti, berhenti…!”
Pengemudi ojek saya
minta berhenti. Empat orang menghampiri saya. “Bapak dari mana, apa tujuan
kesini. Saya kepala kampung disini,” sapa Adrianus Awengka, kepala kampung,
yang juga sebagai kepala suku.
“Saya dari Kombut,
untuk melihat kondisi pembangunan sarana dan prasarana disini. Termasuk jalan
dan jembatan,” jelas saya, dengan menunjuk ke arah jembatan kayu yang roboh.
“Kamu liat-liat lagi,
foto-foto lagi… Sudah sejak tahun 10
(maksudnya 2010) tak ada perbaikan,” balas Adrianus dengan nada tinggi.
“Saya dari Jakarta
Bapak,” balas saya.
“Saya tak peduli dengan
Jayapura, tak peduli dengan Tana Merah. Jika bapak dari Jakarta, apalagi ?,”
tambahnya makin garang.
“Saya kesini untuk
melihat-lihat, supaya bisa dilaporkan ke Jakarta,” jawab saya.
Salah seorang
diantaranya, memakai rompi coklat, menyela “Bapak masuk kampung kami tanpa
lapor. Saya ini sebagai anggota Pengawas perbatasan. Liat ini, tanda pengenal
ini,” ia menunjuk bet bertuliskan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan di
rompinya.
“Saya meminta maaf
kepada bapak kepala kampung, karena saya tidak lapor. Saya terburu-buru, karena
mau hujan,” kata saya.
“Ini jalan tak bisa
masuk mobil. Jembatan tak diperbaiki,” kepala suku makin tinggi nadanya.
“Bapak harus sabar, dan
bapak harus mengerti. Disini taka ada batu, tak ada pasir, bagaimana mengecor
semen untuk jembatan. Dengan apa pondasi jalan dibuat. Batu dan kerikil saja
didatangkan dari Sulawesi. Kayu memang banyak disini, tapi tak tahan lama. Jadi
bapak harus menunggu,” jawab saya keras.
Kepala suku mulai
melunak, dan tertawa. Dia menyalami saya. Kemudian saya balas dengan salam khas
Papua, jepit jari, “kaonak”.
“Bapak-bapak bagus
mencegat saya di jalan. Berarti bapak menjaga kampung dengan benar, setiap
orang asing seperti saya masuk sini. Bapak harus tetap jaga kampung dari
pengacau,” kata saya memuji.
“Ya sudah, jalanlah
kembali, nanti hujan makin deras. Selamat jalan, hati-hati. Sampai keadaan sini
ke Jakarta.”
“Selamat sore
bapak-bapak,” saya memberi salam.
Sampai di Mindiptana,
matahari hampir tenggelam. Mobil taft sudah siap menunggu saya. Saya dapati
Kapolsek sudah berada di dekat mobil. Kami pamit, dan saya mengacungkan jempol
kepada Kaplosek sambil berujar, “Bapak memastikan kami meninggalkan Mindiptana,
bukan. Bapak selalu waspada terhadap pendatang.”
Sekitar jam 21.00, kami
meninggalkan kota Tana Merah, tanpa menjelajahi kota bersejarah ini, dimana
Bung Karno dulu pernah ditawan Belanda. Sebagaimana berangkat, mobil kembali
digasak kecepatannya. Sesekali kami berpapasan dengan iring-iringan truck yang
membawa bahan komediti, bahan makanan, bahan bangunan dan lain-lain ke Tana
Merah. Kendaraan kecil pun, tidak ada yang jalan sendirian. Rupanya kami
sajalah yang jalan sendirian di ruas Trans Papua itu.
Sekitar jam 24.00,
dibelakang kami, kendaraan menghidupkan lampu hazard dan sesekali memberikan
lampu dim. Saya katakan kepada sopir, untuk memberi jalan kendaraan tersebut.
Dua kendaraan pick up melewati kami. “Mobil itu membawa mayat,” jelas sopir.
Kami terus berada di
belakang kendaraan tersebut, terkadang
jaraknya jauh, namun terlalu dekat ketika melewati jalan buruk.
Ditengah-tengah jalan
lurus dan hutan, sekitar jam 02.00, ball joint roda kiri hendak lepas. Sopir
dan kenek bekerja keras memperbaikinya dengan mengikat ball joint tersebut
dengan karet. Uh, lengang berada di pedalaman Papua.
“Kita perlu memberikan
apresiasi dan mengakui Pemerintah Pusat - yang telah membangun jalan ini.
Betapa sulit dan mahalnya membangun jalan ini, batu saja diimport dari
Sulawesi,” komentar Zulfikar Akbar, konsultan tata ruang – yang sudah merancang
tata ruang beberapa kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia ditengah
keheningan malam di tanah Papua, saat menunggu mobil diperbaiki.
Tiba di Merauke jam
06.00, kami ke bandara untuk terbang kembali ke Bandara Sentani, Jayapura.
Trans Pupua yang
membelah Papua, yang tak kami sangka, memang ada. Jalan ini bersisian dengan
perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea bagian tengah ke selatan. Melihat
pekerjaan yang berlangsung, bahkan pada malam hari pun di beberpa jambatan,
tahun 2013, ruas utama Trans Papuas sudah rampung. (Rizal Bustami)
(Foto-foto
dan track log GPS dapat dilihat pada up load Trans Papua Bagian I : Galery Foto
dan Trans Papua II : Polisi yang Menjaga Perbatasan Seorang Diri)
No comments:
Post a Comment