BUNGA RAMPAI FLORES
“Hallo mister” sebuah tegur sama masyarakat flores setiap ditemui di jalan-jalan. Sapa yang antusias diucapkan oleh anak-anak sampai orang dewasa.
Sapaan itu sebuah awal dari kerahaman dan sopan-santun
masyarakat Flores terhadap pendatang yang mereka anggap asing.
Keramahan tulus masyarakat Flores akan terasa nyata dengan
suguhan kopi panas ketika tamu duduk di beranda rumah mereka. Bahkan ketika
kita sedang berteduh dari sengatan matahari.
Keserdahanaan atau serba berkekurangan ekonomi masyarakat,
bahkan kekurangan air tawar, tidak mengurangi keramahan mereka dengan suguhan –
yang hanya bisa memberikan secangkir air panas.
Pengalaman saya berhari-hari dengan sepeda di jalanan Flores
sangat terbantu oleh keramahan orang Flores. Misalnya, ketika saya mengayuh
sepeda di pesisir Flores, saya diberi tumpangan bermalam dan diberi makan. Di
Pula Mules, saya ditampung oleh Pak Guru yang mengajar di Sekolah Dasar. Di
Bajawa, untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, saya dibantu dengan sepeda
motor.
Keramahan dan sopan santun masyarakat Flores bertolah
belakang dengan kesan masyakarat di Pulau Jawa bahwa orang Flores sebagai orang
suka dengan kekerasan pisik. Orang Flores sendiri juga mengetahui dan menyadari
kesan negative masyarakat luar tentang mereka. Tapi mau dikata apa, seperti
itulah anggapan orang-orang.
Kesan negative tersebut akan hilang dengan sekita ketika
kita berada di bumi “bunga” ini.
Karena suguhan kopi setiap
bertamu, seorang guide tour – yang beberapa kali bertemu di kawasan
wisata, dengan tertawa-tawa berucap, “May Trips, may drink coffe”. “This is
Flores….”
Penamaan Flores diberikan oleh bangsa Portugis, ketika
bangsa kulit putih itu menancapkan kakinya di pulau Flores. Flores yang berarti
bunga atau kembang, cara bangsa Portugis pada zaman itu mempersonikan keindahan
alamnya dengan bunga. Tidak salahlah mereka menamainya seperti itu. Memang
indah, berbunga-bunga.
Alam Flores yang
Berbeda-beda
“Bebunga-bunga”, bukan pengertian banyak bunga.
Berbunga-bunga, lebih karena keaneragaman alam dan budaya di Pulau Flores.
Perwajahan alamnya bagai membalik telapak tangan. Pada kawasan tertentu,
terbantang kegersangan, kemudian hanya dalam puluhan kilo meter saja, hijau
dengan pegunungan. Berbunga-bunga, bagai bunga rampai – yang mana dalam
seonggok bunga banyak jenis dan
warnanya.
Alam Flores penuh
kejutan. Adakalanya hijau kelam, kemudian tiba-tiba berwajah gersang kecolatan.
Di Kawasan tertentu, warga masyarakat dilipahi air bersih. Di Kawasan lain,
warganya kesusuhan air.
Bergerakan ke timur ke arah Ruteng dari Labuan Bajo,
langsung dihadapkan dengan perbukitan yang hijau. Memasuki Lembor, ditemukan
bentangan sawah yang rata dan luas. Dari Dintor ke selatan, pesisir selatan –
barat Flores, diawali dengan persawahan, diakhiri dengan kering.
Infrastruktur Jalan
Raya
Saya menikmati jalan raya Flores, baik itu jalan utama Trans
Flores, Jalan Kabupaten, maupun jalan pedesaan. Jalan raya di Flores, beraspal
halus dengan marka jalan dan rambu-rambu lalu lintas yang lengkap. Di setiap
perbelokan, jalan dilebarkan untuk memudahkan kendaaran besar bermanufer.
Jalan raya di Flores, dikenal dengan
Trans Flores, berbelok-belok tajam dengan elevasi yang tajam. Kondisi jalan ini
khas Flores. Kesamaannya di dengan daerah lain, adannya di Sumatera Barat dan
di Kawasan Toraja.
Jalan raya Flores digemari oleh para back peckers, sepeda
touring, pengendara sepeda motor, dan pengendara roda empat yang gemar
menjelajah. Dari GPS yang di upload di pengembang Peta Pintar, banyak sekali
dan mayoritas yang meng-upload atau berbagi rute, adalah orang asing.
Kesimpulan saya, Flores dan juga Sumba merupakan kawasan bagi orang melakukan
“perjalanan mandiri”.
Jarak antar kota antara 60 km sampai dengan 80 km.
Transportasi
Transportasi Udara
A. Labuan Bajo : Dari dan ke Jakarta,
Bali, Kupang dan Surabaya.
Ende :
Dari dan ke Jakarta, Bakli, dan Kupang
B. Transportasi Laut : Dari dan ke Surabaya dan Kupang
C. Transportasi Darat : Antar kota di Flores terdapat pelayanan bus dan travel.
D. Transportasi Lokal : Perahu pesiar dan Ojek Wisata
Terminal-terminal angkutan umum di Flores, ramah terhadap
calon penumpang. Bagaimana dikatakan demikian, diterminal dibuatkan kursi tamu
bersandar dari beton dan dalam bentuk persegi panjang. Bentuk tempat tunggu
persegi panjang tersebut bisa dijadikan sebagai tempat beristirahat oleh calon
penumpang. Maklum saja, warga adakalnya cukup lama menunggu kedatangan bus –
yang banyak tidak banyak jumlahnya.
Kuliner
Terimakasih kepada Nasi Padang.
Ini bukan promosi dan iklan dari saya. Ini sebuah fakta
dimana saya terbantu sekali oleh Warung Padang untuk makan saya. Dimana-mana,
aka nada rumah makan Padang. Saya membayangkan, apa bisa dimakan pendatang
seperti saya ini jika orang Minang tidak membuka rumah makan di pelosok Flores.
Soal makanan, tidak banyak pilihan di Flores, apalagi di
Sumba. Pembuat makanan siap saji dijajakan di warung makan, dilakukan oleh
warga perantau dari Sumatera Barat, dari Pulau Jawa dan warga dari Sulawesi
Selatan. Makanan yang beragam, hanya bisa ditemui di Labuan Bajo, Ruten dan di
Ende. Labuan Bajo, banyak terdapat restaurant, café, rumah makan. Karena Labuan
Bajo sebagai pusat aktivitas turis, disini banyak tersedia berbagai makanan
yang berselara Barat. Di Ruteng, banyak terdapat rumah makan. Di Ende, sebegai
kota yang ramai, banyak ragama makanan, baik makanan utama maupun makanan
pendamping. Namun demikian, di setiap kota kecamatan, ada rumah makan Padang,
bahkan lebih dari dua rumah makan. Ini tentu sangat membantu untuk memenuhi
kebutuhan kalori masyarakat. Sedangkan untuk makanan kecil, setiap kota ada
pembuat roti dan kue.
Di Flores buah-buahan dan sayur-sayuran langka. Buah-buahan
local jeruk, manga, sejenis markisa manis, pisang, talas, singkong disana
disebut ketela, dan jagung.
Ayam pedaging dan telor ayam di Flores harganya mahal.
Daging sapi dan ikan relative lebih murah. Harga satu porsi makan, katakanlah
di Warung Padang, dengan lauk ayam Rp. 25.000, dengan dading Rp. 25.000 dengan
telor atau ikan hanya Rp. 15.000.
Di Flores ada tempe dan tahu. Dan, ada pedagang gorengan di
pinggir jalan.
Volume Makan
Katik, adik sepupu saya, mengingatkan saya, kalua memesan
makanan,nasinya minta setengah porsi. Kok begitu. Ketika di Lembor, saya makan
di warung Padang, dengan nasi normal forsi lokal. Betul kata si Katik, saya
mampu menghabiskannya. Besoknya, sebelum melanjutkan perjalanan, saya ke warung
padang itu lagi, membai nasi bungkus sebagai bekal dijalanan. Ketika saya makan
di jalanan yang teduh di Lembor Selatan, nasi bungkus itu tak mampu saya habis.
O, ya, untuk saya tidak lupa dengan percakapan kecil di rumah Pak Guru di Pulau
Mules. Ketika makan malam dengan temannya yang menjadi guru honer SMP, “Orang
Flores makannya banyak Pak. Jadi, bapak jangan malu-malu makan banyak,” ujar
Pak Guru tertawa.
Kebutuhan Sehari-hari
Setiap orang memiliki kebutuhan dan pilihan sendiri. Di
Flores memang tidak ada mini market modern sebagaimana adanya di Pulau Jawa,
namun di Flores ada mini market dan bahkan super market bermerek local. Dapat
saya pastikan, kebutuhan pribadi setiap orang kota, tersedia. Disamping itu,
banya terdapat kios kelontong.
Penginapan / Hotel
Setiap kota, bahakan
di kecamatan tersedia penginapan. Hotel-hotel atau homestay tersedia di setiap
kota.
Bahan Bakar kendaraan
Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) Pertamina ada di setiap
kota. Keberadaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar letakknya di pinggir kota.
Jaringan Seluler
Jaringan data dan komunikasi telpon merata tersedia oleh
pelayanan Telkomsel. Layanan lainnya, yaitu Indosat dan XL, tapi baru di
kota-kota saja.
Bank dan ATM
Layanan Bank dan ATM disediakan oleh BRI, BNI dan Bank NTT.
Layanan Listrik PLN
Dari kota sampai ke kecamatan teraliri oleh listrik PLN.
Kecuali beberapa desa belum ada jaringan listrik.
Bahasa
Tentu Bahasa lokasl lebih dominan. Namun, pemakaian Bahasa
Indonesia dalam berkomuniasi sehari-hari baik sesame warga local, mapun dengan
pendatang sudah menjadi Bahasa percakapan sehari-hari.
Tempat Ibadah
Penduduk Indonesia yang mayoritas Islam, sedangkan di NTT
mayoritas pemeluk Nasrani Katolik, tidak menghambat umat Islam melakukan
ibadah. Banyak masjid dan musholla di Flores. Sebagai mayoritas Nasrani,
kerukunan disana baik sekali. Termasuk makanan halal, seperti daging.
Pemotongan hewan untuk ayam, sapi, kambing dipastikan disembelih kalangan
Muslim.
Toleransi di Jalan
Raya
Karena kondisi gerografisFlores yang berkontur-kontur, jalan
raya di Flores berliku-liku dengan tanjakan panjang dan dengan jalan menurun panjang
pula. Karakter jalan raya macam itu membuat para pengemudi mobil dan sepeda
motor saling menghomati kendaraan lainnya. Kelakson, lampu hazard dan lampu
sen, diaktifkan sesuai dengan fungsinya.
Sopir yang Menyenangkan
Pengemudi travel, pengemudi bus antar kota, pengemudi angkutan local, ramah kepada penumpang. Mereka melayani dari pintu ke pintu.
Ketemu Dua Bule
Di Way Kabubak, Sumba Barat, saya bertemu denga seorang pria Eropa yang sudah berusia. Usinya
antara 60 sempai 70 tahun. Namanya Herman. Pak Herman, dia senang sekali saya
panggil Pak. “Saya senang dipanggil Pak. Jangan Bapak, cukup Pak Herman saja,”
pintasnya.
Pak Herman ini, lama di Jogya, katanya 15 tahun. Lima tahun
terakhir, Pak Herman sering ke Flores, Sumba, Timor, Alor, dan pelosok pulau di
NTT.
“Saya berasal dari Belgia. Seorang pensiunan. Saya ingin
mati di Sumba,” terang Pak Herman.
Tiga tahun terakhir ini, Pak Herman mengontrak rumah di Way
Kabubak. Kegiatan dia sehari, berbaur dengan masyarakat dan jalan-jalan ke kampung-kampung.
“Sumba, Flores, Alor dan lain-lain cantic sekali….,” katanya
dalam Bahasa Jawa. Saya tak paham Bahasa Jawa, lalu diterjemahkan oleh
Mbak-Mbak penjual pulsa. Lalu, kami tertawa-tawa.
“Kepada masyarakat, pemilik tanah, saya katakana kepada
mereka, ‘jangan jual tanah’ kamu. Jika ada yang mau beli, pilih kerjasama saja,
sehingga kamu dan ketrunan kamu bisa kaya,” kata Pak Herman kepada saya. Saya
setuju itu….
Di Air Panas Malanage, Bajawa, saya ketemu dengan seorang
bule yang juga sudah berumur. Orang-orang memanggilnya Om. Si Om ini, berasala
dari Canada. Pada hari itu, dia mendampingi sejumlah tamunya dari Canada.
Bule-bule Canada tersebut, tinggal di akomodasi miliknya.
Si Om – yang gemar merokok Ji Sam Soe ini, prihatin dengan
lokasi-lokasi cantic sudah dikuasai oleh pendatang sampai bangsa asing. Pandangannya
sama dengan Pak Herman, agar masyarakat local menikmati dan makmur dengan
kedatangan wisatawan. “Saya sedih, banyak tanah bagus sudah milik orang. Saya
minta masyarakat untuk tidak menjual tanahnya. Jika saya mau, saya bisa beli,
tapi tanah saya sewa, dan bekerja sama dengan desa,” tegas Si Om, yang
mengajarkan Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.
Selain keprihatinanya soal tanah beralih pemilik, Si Om –
yang beristrikan wanita setempat, Si Om seperti marah dengan sampah manusia di
tempat-tempat di wisata. Nah, untuk memberikan kesadaran kebersihan lingkungan
sejak kecil, bocah-bocah yang belajar Bahasa asing kepadanya, membayarnya
dengan sampah plastic.
Bagai Anekdot
Ngobrolin,
bincang-bincang ringan mengenai Flores, bagai sebuah anekdot. Realitanya entah
iya dan entah tidak, seperti guyonan. Ternyata
benar-benar fakta. Misalnya, benarkan sepeda motor di Flores tidak pernah
dikunci? Benarkah volume makan orang Flores besar? Benarkah orang Flores
pemarah dan kasar? Seperti apa itu Oto Cold, bis kayu? ( Baca Bab : Oto
Cold……). Cerita berikut ini saya rangkum dari pengalaman dan cerita orang lain,
dan apa yang saya temukan.
Semenjak saya berada di kapal Labuan Bajo dari Surabaya,
saya tentu banyak ngobrol dengan warga setempat dan perantau. Cerita yang banyak dituturkan, ialah keramahan orang
Flores dan senang menjamu tamu.
Soal kunci sepeda motor. Saya punya saudara sepupu, M Iqbal
Katik, yang mengajar di Politeknik Pariwisata Labuan Bajo. Katik panggilannya,
ke Labuan Bajo membawa sepeda motor untuk sarana transportasinya. Di stang
sepeda motornya menggantung kunci gombok. Gombok sepeda motor tersebut menjadi
olok-olok teman-temannya di Labuan Bajo. “Kunci ini tak perlu disini. Buang
saja,” kata teman Katik tertawa.
Lain padang lain ilalang. Laik lubuk, lain ikannya. Seorang
perantau dari Jakarta yang bekerja di Rumah Makan Padang Ranagh Minang yang terkenal
di Ruteng, membawa kedua kebiasaan di dua tempat. Di Ruteng, dia terbiasa
meinggalkan kunci stater di sepeda motor. Ketika dia pulang ke Jakarta,
kebiasaan meninggalkan kunci starter di sepeda motor dibawanya pula. “Beberapa
kali saya begitu. Untung saja sepeda motor pinjaman nggak hilang,” Izul, 30
tahun, yang berasal dari Jakarta Timur.
Seorang Guide tour di Bajawa, berteriak hebok dengan
mengangkat gelas kopi di tangannya. “May adventure, my drink coffee.” Begitulah
yang saya alami, selama perjalanan saya dengan sepeda. Dimana saya berhenti
istirahat, disitu ada warga, saya disuguhi kopi panas.
Dalam hari kedua saya menggowes sepeda dari Labuan Bajo
tujuan Dintor, di pantai selatan yang memukau, saya nyaris bermalam di bangunan
toilet yang terbengkalai pembangunannya. Sekitar jam 15.00 waktu setempat.
Hitungan ekstimasi waktu dan jarak ke Dintor, saya akan sampai sekitar jam
19.00. Dalam pikiran saya, jika perjalanan saya teruskan, akan banyak
momen-momen foto yang terbaik terlewatkan. Sekitar jam 17.00, saya putuskan
bermalam di lokasi tersebut.
Lokasinya bernama Pantai…. Pantai bertebing curam, dengan
pemandangan laut dan Pulau Mules. Deburan ombak menghantan tebing karang,
bersaut-sautan, sesekali angin berhembus kencang. Saya bongkar bagasi sepeda.
Saya hendak menggelar matras, ketika itulah saya dihampiri seoarang anak muda
yan memakai sepeda motor.
“Bapak mau apa disini?,” tanya dia.
“Saya akan bermalam disini. Besok pagi saya akan lanjutkan
perjalanan ke Dintor,” jawab saya.
“Oh, jangan disini. Disini aman, tapi banyak angin. Ikut
saya,” katanya.
Perabotan sepeda saya loading kembali. Saya mengikutinya ke
jalan aspal. Saya dibawa ke sebuah homestay, Pante Hera Geust House namanya. Homestay yang terbuat dari kayu dan
bambu tersebut berada diatas tebing pantai, dengan beberapa pondok
peristirahatan. Homestay tersebut tidak ada tamu. Pemiliknya bernama Paul,
orang Amerika. Penjaganya dinamai pula Paul Kecil. Paul Kecil itulah yang
menyediakan tempat istirahat. “Sebelum gelap, kita rumah saya dulu. Kita makan
dulu, nanti bapak saya antar kesini.”
Saya mengikuti dengan membawa headlamp. Rupanya di, perkampungan berada di dalam.
Kampung tersebut tidak ada listrik. Rumah Paul, rumah beton yang belum
diplaster dan lantainya masih tanah sebagian. Karena malam, penerangan memakai
listrik desa – yang hanya sampai jam 22.00. Sembari istrinya memasak, kami
ngobrol sambal minum kopi. Hidangan disuguhkan, nasi, mie instan dengan telor.
Selesai makan, saya diantarkan kembali ke homestay oleh suadaranya. Sesampai di
homestay, saudara Paul, berkata, “Bapak, besok pagi, kami semua mau ke Lembor
untuk acara keluarga. “Jadi, besok pagi, bapak kunci saja sendir ipagar
homestay. Cara seperti ini,” katanya. “Selamat malam bapak. Selamat
beristirahat. Semoga selamat,” katanya.
Pagi sekali, saya tinggalkan homestay tersebut. Tentu saya
kunci-kunci dulu.
Perjalanan yang indah…
Matahari sudah mulai meninggi, tapi masih jauh untuk sampai
di puncak tertingginya. Jalan naik turun, dan tidak banyak kelok. Mulut ini,
terasa pengen meminum teh manis panas. Ukhhh, tidak ada kedai disini.
Dua bocah putus sekolah saya temui di sebuah ptoyek
pembangunan jembatan. Jalannya lansung menikung dan mendaki. Kedua bocah
tersebut, terus mengikuti saya. Ternyata, kedua bocah tersebut setiap hari di
lokasi itu untuk membantu sepeda motor yang tidak kuat mendaki jalan. Keduanya
membantu dengan mendorong sepeda motor, dengan imbalan sekadarnya. Mereka itu
pulalah yang membantu saya mendorong sepeda sampai ke jalan rata diatas bukit.
“Dek, dimana ada kios disini,” tanya saya. “Ada diatas Pak,” katanya.
Satu-satunya kios umum di rute ini, terdapat di Desa…. Kios
tersebut milik desa. “Bang, bikinkan saya teh manis yang banyak,” pinta saya.
Sembari menunggu teh manis panas, saya mengambil air mineral
untuk bekal dan saya minum saat itu. Katika saya minta tagihan pembayaran, saya
hanya membayar air mineral, sedangkan teh manis gratis. Saya melanjutkan
perjalanan, kedua bocah tersebut saya kasih uang jajan.
Sampailah saya di Dintor sektar jam 12.00-an.
Tidak ada apa-apa di Dintor. Dintor hanyalah kampung kecil,
sebuah persimpangan tujuan ke Kampung Adat Wae Rebo dan ke Pulau Mules.
Saya kebingungan karena tidak ada kapal atau perahu untuk
menyeberang ke Pulau Mules. Saya berharap, kapal wisata bantuan dari
Kementerian Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia sebagaimana ramai
diberitkan dan dimuat foto kapal tersebut tidak ada disini. Dalam berita
disebutkan, kapal tersebut diperuntukkan untuk Desa Luca Mulas, di Pulau Mules.
Berkat bantuan Pak Guru, yang berasal dari Wae Rebo, saya dibantu untuk bisa ke
Pulau Mules bersamanya. Bawaan saya berendong petong, dibantu olehnya menaiikan
ke perahu nelayan. Sampai di Pulau Mules, Pak Guru langsung mengajak saya ke
rumahnya. “Rumah saya gubuk,” kata dia.
Benar juga rumahnya betul-betul gubuk kayu yang berada di
hadapan sekolah. Rumah tersebut dia sendiri yang membangunnya. “Tidur dan makan
disini saja. Nanti lapor ke Sekretaris Desa,” pintanya.
Di rumahnyalah saya selama 2 malam. “Besok, Bersama saya
saja kembali ke Dintor karena saya harus ada tugas ke Ruteng,” katanya.
Pukul 04.00, kami dengan penerangan senter, saya menggowes
sepeda ke Kampoung Petji untuk menumpang dengan perahu bermotor ke Dintor. Di
Dintor, kami berpisah. Pak guru dengan sepeda motor, saya di Dintor menunggu
oto cold untuk ke Ruteng.
Cerita Sopir Truk di
kapal
Saya sedang berada di Aimere untuk tujuan ke Kampung
Belaraghi. Di Dermaga Aimere, bejejer truck ukuran menengah bermuatan penuh.
Konvoi truck tersebut ber plat nomor AB dan AD. Mereka ini sudah 2 hari menunggu kedatangan kapal dari Kupang
– yang dijadwalkan tiba pada hari Selasa untuk selanjutnya ke Wai Ngapu Sumba.
Pada Selasa jam 08.08, kapal very mengangkat sauh. Saya ikut jadi penumpang di
kapal tersebut. Kapal tersebut penuh. Membawa truk, mobil pribadi, sepeda
motor, hewan ternak babi seukuran anak sapi dan buah pisang. Baru saya ketahui
kemudian, bahwa di Sumba tidak ada tanaman pisang.
Di kapal, saya kebetulan duduk-duduk berdekatan dengan para
sopir dan kenek truck. Maka keluarlah cerita pengalamannya selama mengemudikan
truck di Flores. Seorang sopir yang datang dari Solo, bercerita truknya mogok di
Jalan Raya Trans Flores, filtes olie truck-nya pecah. Hari sudah malam, dan
jauh dari kampung. Dia memutuskan bermalam di jalan, menunggu pagi ke Ruteng
untuk membeli filter olie baru. Sepeda motor, menghampirinya. Pemilik sepeda
motor bertanya, kenapa Mas, ada masalah? Sopir truck menjawab, filter olie
trucknya pecah. Warga tadi, menjawab, “Mas, saya akan kembali. Saya pulang
dulu,” Si Sopir mengulang percakapan warga tersebut. Si Sopir truck dan
keneknya mengabaikan janji warga tersebut akan kembali. Selang 3 jam kemudian,
warga tadi datang dengan mobil mini kap. Dia membawa magic gear yang sudah ada
nasi matang, lauk telor dadar, ikan asin dan sambal juga ada, termos berisi air
panas, plus gula, koi dan teh. Mereka makan bersama. Warga tersebut turut
bermalam di lokasi. Paginya, sopir truck diantar ke Ruteng untuk membeli filter
olie. Kembali ke truck, filter olie dipasang, mobil hidup kembali. Sebagai
balas jasa, sopir truck memberikan uang Rp.300.000. Si Warga menolak pemberian
tersebut. “Mas, saya tidak minta uang. Saya hanya menolong mas saja,” ujar
Sopir truck – yang ketika itu, adiknya sebagai kenektur. “Nih, adik saya,”
sopir tersebut menunjuk adiknya yang membawa kopi dari kantin kapal. Sopi truck
dari Solo itu, kemudian bertemu lagi dengan saya di kota Waitabula, Sumba Barat
Barat Daya.
Akhirnya berebut ceritalah para sopir-sopir tersebut.
Seorang sopir lain yang berbadan tambun, berasal dari
Maluku. Di Flores pula, sekembali dari Sumba, truck mogok di jalan. Sore
menjelang malam, dia diahmpiri warga kampung, menawarkan rumah untuk
beristrahat. Si sopir, menolak tawaran tersebut karena sungkan. Warga tersebut
kembali menyemput dia dan keneknya. Akhirnya kedua mengikuti warga tersebut.
Sopir dari Maluku Utara tersebut, diseaikan makan dan kamar untuk tidur. Selama
dua hari memperbaiki trcknya, dia diatarkan makan siang. Makan malam dan tidur
di rumah warga. Ketika hendak pamit karena trcuknya sudah bija jalan lagi, si
sopir memberi uang Rp.200.000, sebagai tanda terimakasih. Si pemilik rumah
menolak pemberian tersebut.
No comments:
Post a Comment