|
Sumber Foto ; TNI AL |
|
Sumber Foto : TNI AL |
MENGENANG USMAN DAN HARUN
Wed Nov 16 19:29:15 CET 2005
Yap Hong Gie ouwehoer at centrin.net.id
Usman, Masa Kecil
Pada masa penjajahan Jepang, di desa Tawangsari Kelurahan
Jatisaba Kabupaten Purbalingga, lahirlah seorang bayi bernama Janatin, tepatnya
pada hari Minggu Kliwon tanggal 18 Maret 1943 pukul 10.00 pagi. Janatin lahir
dari keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah yang kemudian dikenal dengan nama Usman, salah seorang Pahlawan Nasional. Hari, bulan dan tahun berjalan terus, Janatin
terus tumbuh menjadi besar dan kemudian memasuki lingkungan yang lebih luas
sesuai dengan pertumbuhannya dan ia
mulai menunjukkan identitas dirinya sebagai Janatin. Orangnya pendiam lagi
tidak sombong, memang demikian pembawaannya. Pergaulannya luas, bisa bergaul
dengan teman semua lapisan yang sebaya dengannya. Tidak merasa rendah diri
walaupun anak desa, dan tidak sombong dengan orang yang lebih lemah dari dia,
sehingga ia mempunyai teman banyak.
Sebagai kepala keluarga Haji Muhammad Ali selalu menerangkan
agama sebagai landasan hidup. Demikian pula dalam bidang pendidikan sebagai
dasarnya beliau menekankan pada pendidikan agama. Tujuannya tidak lain agar
kelak putra-putrinya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa serta
tahu membalas jasa orang tua. Karena itu tidaklah mengherankan bila putra-putri
Haji Muhammad Ali sedikit banyak mengetahui soal keagamaan dan semua dapat
membaca Al Qur'an dengan baik.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Janatin meneruskan ke SMP
kota Purbalingga, yang jaraknya kurang lebih sekitar tiga kilometer dari tempat
tinggalnya. Ia masuk di sekolah swasta SMP Budi Bhakti. Sekolah ini merupakan
salah satu sekolah yang mendapatkan simpati di kalangan masyarakat Purbalingga,
karena prestasinya sejajar dengan sekolah negeri.
Walaupun Janatin dari kalangan Islam, namun tidak ada
halangan dari orang tuanya untuk memasuki sekolah tersebut. Karena tujuan masuk
sekolah bukan untuk belajar agama tetapi untuk menuntut ilmu pengetahuan yang
akan dipergunakan sebagai bekal hidup. Sedangkan masalah ilmu agama sudah diperoleh di rumah yang diajarkan oleh orang tuanya sendiri.
Sebagai anak desa Janatin tidak lupa akan tugas yang diberikan oleh orang
tuanya, yaitu membantu orang tuanya. Ia turut bekerja untuk meringankan beban
orang tua, seperti membersihkan kebun, membantu bekerja di sawah dalam mengolah
sawahnya, kemudian turut membantu memetik hasil kebun serta memikulnya ke
rumah. Setiap hari ia membawa sabit dan menjunjung keranjang untuk mencari
makanan binatang piaraan. Pekerjaan demikian sudah menjadi kewajiban yang
dijalankan setiap hari, sehingga menjadikan dirinya seorang yang tabah dan
ulet.
Di samping itu Janatin ikut juga memperkuat olah raga bulu
tangkis di desanya. Permainan bulu tangkis ini diperoleh dari perkenalan dengan
anak-anak kota. Untuk arena permainan telah dikorbankan sepetak tanah miliknya
yang terletak di dekat rumahnya. Dengan dibukanya lapangan ini banyak
mengundang pemuda-pemuda di desanya, bahkan lebih luas lagi sampai ke kota.
Memasuki Kehidupan Militer
Dengan dikomandokannya Trikora pada tanggal 19 Desember 1961
di Yogyakarta oleh Presiden Sukarno, mulailah konfrontasi total terhadap
Belanda. Guna menyelenggarakan operasi-operasi militer untuk merebut Irian
Barat, maka pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar
Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan No. 1 tahun
1962 membentuk Komando Mandala yang bertanggung jawab atas segala kegiatan
Operasi ABRI serta Sukarelawan.
Masalah Trikora berkumandang di seluruh pelosok tanah air,
telah memanggil segenap lapisan
asyarakat dan membangkitkan hati semua pemuda untuk menyumbangkan tenaga
dalam pembebasan wilayah yang masih dikuasi Belanda.
Kesempatan inilah membuka pintu bagi Janatin untuk memasuki
dinas militer, seperti pemuda lainnya dari pelosok tanah air. Sehingga dalam
waktu yang singkat berbondong-bondong pemuda Indonesia mendaftarkan diri untuk
menjadi Sukarelawan, dan salah seorang yang terpanggil adalah Janatin.
Pada saat itu Janatin sudah menduduki SMP kelas tiga ialam
kwartal terakhir.Karena panggilan hatinya yang bergelora ingin menjadi ABRI,
maka setelah menyelesaikan pendidikan, Janatin mendaftarkan menjadi ABRI.
Sebelumnya ia memang nengagumi angkatan Bersenjata. Hal ini terlihat dari
perhatian fanatin kepada kakaknya yang berdinas di Militer. Bila
kakaknya pulang, selalu mendapat perhatian dari Janatin, baik dari pakaian
seragam, sikap, dan geraknya. Begitu pula setiap melihat anggota ABRI baik
tetangga se desa ataupun kenalan selalu menjadi perhatian baginya. pengaruh
inilah yang mengilhami dirinya sehingga ingin menjadi seorang militer.
Semula maksud Janatin tidak mendapat restu dari bapaknya,
orangtuanya mempunyai pandangan lain, menghendaki agar anaknya melanjutkan
sekolah yang lebih tinggi. Haji Muhammad Ali mengharapkan anaknya tidak
memasuki dinas militer, beliau sudah merasa cukup karena ketiga kakaknya sudah
menjadi ABRI, sedangkan Janatin biarlah mencari pekerjaan yang lain.
Namun karena kemauan keras yang tidak dapat dibendung, ia berusaha mendapatkan
restu dari ibunya. Akhirnya Janatin mendapat restu dari orangtuanya untuk
memasuki dinas militer.
Janatin pada tahun 1962 mulai mengikuti pendidikan militer
di Malang yang dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini
dilaksanakan guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora.
Karena itulah Korps Komando Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama
(Secatamko), lamanya pendidikan enam bulan dan Janatin termasuk siswa angkatan
ke - X . Setiap siswa selesai melakukan pendidikan dan latihan pendidikan
amphibi dan perang hutan. Pendidikan ini
merupakan kekhususan bagi setiap anggota Korps Komando Angkatan Laut.
Pendidikan Calon Tamtama dilaksanakan bertingkat. Pendidikan dasar militer
dilakasanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat
latihan Pasukan Pendarat di Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan
latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo. Di
sinilah letaknya pembentukan disiplin yang kuat, ketangguhan yang luar biasa,
keberanian yang pantang menyerah serta membentuk kemampuan fisik di segala
medan dan cuaca, merupakan Pembentukan Pendidikan Korps Komando Angkatan Laut.
Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia
berhak memakai baret ungu.
Berkat pendidikan dan latihan yang diperoleh selama memasuki
militer, Janatin tubuhnya menjadi tegap, kekar, pikirannya tambah jernih,
korek, yang lebih penting lagi ia terbina dalam disiplin yang tinggi, patuh,
taat dan tunduk kepada perintah atasannya.
Janatin pada bulan April 1964 dengan teman-temannya
mengikuti latihan tambahan khusus di Cisarua Bogor selama satu bulan. Mayor KKO
Boedi Prayitno dan Letnan KKO Harahap masing-masing sebagai Komandan latihan
dan wakilnya. Dalam pendidikan khusus ini dibagi dalam 13 Tim, sedangkan materi
yang diberikan antara lain: Inteljen, kontra inteljen, sabotase,Demolisi,
gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini,
diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nanti.
Tohir alias Harun, Masa Kecil
Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya,
tampaklah dari kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer
persegi. Di pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau
inilah pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa
itu, yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama
Keramat Bawean.
Pada saat tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau
Bawean tanggal 4 April 1943, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Tohir
bin Said.
Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu
Aswiyani, yang kemudian terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.
Sejak dibangku Sekolah Dasar ia tertarik dengan kulit-kulit
kerang yang terdampar di pasir-pasir tepian pantai daripada memperhatikan
pelajaran di sekolah, hal ini akibat seringnya Tohir pergi ke pantai laut.
Perahu-perahu yang setiap hari mencari nafkah di tengah-tengah lautan,
merupakan daya tarik tersendiri bagi Tohir. Dengan jalan mencuri-curi ia sering
menyelinap ikut berlayar bersama perahu-perahu nelayan ke tengah lautan. Bahkan
ia sering tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumah, karena mengikuti
perahu-perahu layar mencari ikan di tengah laut beberapa hari lamanya.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuan
keluarganya, ia berhasil melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas di Jakarta sampai mendapatkan ijazah. Sejak ia menginjak bangku
Sekolah Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal dagang, di samping itu tetap rajin belajar mengikuti
pelajaran-pelajaran di sekolahnya dengan jalan mengutip kawan-kawannya.
Ia telah menjelajahi beberapa Negara, tetapi yang paling
dikenal dan hafal daerahnya adalah daratan Singapura. Kadang kadang ia
berhari-hari lamanya tinggal di Pelabuhan Singapura. Dan sering pula ia ikut
kapal mondar-mandir antara Singapura - Tanjung Pinang.
Seorang pemuda Tohir tidak terlepas dari persoalan dunia
percintaan. Pada masa remaja kira-kira umur 21 tahun ia pernah jatuh cinta
dengan seorang gadis idaman hatinya yang bernama Nurlaila.
Tanpa diketahui oleh Samsuri kakak sulungnya sebagai
pengganti ayahnya yang sudah meninggal, Tohir dan gadis tersebut telah sepakat
untuk kemudian hari membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sebagai tanda
janjinya gadis tersebut dilingkarkan cicin emas di jari manisnya.
Setelah mendengar kabar, bahwa gadis idaman yang pernah
ditandai cincin akan melangsungkan perkawinan dengan seorang pemuda pilihan
orang tua sang gadis, Tohir merasa tersinggung. Pada saat di rumah sang gadis
sedang ramai-ramainya tamu dan kedua mempelai sudah hampir dihadapkan penghulu,
tiba-tiba Tohir dan kawan-kawannya datang menghentikan Upacara perkawinan.
Dengan nada marah-marah, ia bersikeras menghendaki agar Upacara perkawinan itu
dibatalkan.
Karma penghulu mendapat ancaman dari Tohir, akhirnya lari ke
rumah kakaknya yang dekat tempat Upacara perkawinan bekas pacar Tohir di Jalan
Jember Lorong 61 Tanjung Priok, minta tolong untuk mencegah tindakan Tohir.
Akhirnya Samsuri terpaksa ikut campur dalam masalah perkawinan ini. Ternyata
setelah diusut, barulah diketahui bahwa gadis tersebut secara diam-diam dengan
Tohir melakukan tunangan.
Sebagai seorang anak yang menghormati orang tua maupun
saudaranya yang lebih tua, akhirnya ia menuruti apa yang dikatakan kakaknya
untuk mengurungkan niatnya, tapi dengan syarat barang-barang perhiasan dan uang
yang sudah diberikan kepada gadis tersebut dikembalikan. Sampai saat ini gadis
tersebut masih hidup rukun dengan suami dan anaknya, di bilangan Tanjung Priok.
Memasuki Dunia Militer
Dalam Tim Brahma I dibawah Letnan KKO Paulus Subekti Tohir
memulai kariernya sebagai anggota KKO AL. Ia mulai masuk Angkatan Laut bulan
Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia
bertemu dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep.
Ketiga pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering
ditugaskan bersama sama.
Setelah Tohir memasuki Sukarelawan ALRI, yang tergabung
dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II) dan mendapat gemblengan
selama lima bulan, di daerah Riau daratan, pada tanggal 1 Nopember 1964.
Kemudian pada tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I
(Kopko I).
Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai
Sukarelawan Tempur bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu.
Hingga beberapa lamanya rombongan Tohir dan kawan-kawannya yang tergabung dalam
kesatuan AKOTI Basis X melaksanakan tugas di Pulau Sambu. Tohir sendiri telah
ke Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura
menyamar sebagai pelayan dapur, ia ke sana menggunakan kapal dagang yang sering
mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.
Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat
menguntungkan dalam penyamarannya. Bahasa Inggeris, Cina dan Belanda yang
dikuasai dengan lancer telah membantu pula dalam kebebasannya untuk bergerak
dan bergaul di tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.
Pertemuan Usman Harun dalam Operasi Dwikora
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi
dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah
baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya
Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando
tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini
terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.
Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar.
Dilihat dari segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang
akan dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi
negatif kurang menguntungkan, karena apabila
sukarelawan
itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa,
jadi bukan sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan
itu tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.
Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian
memutuskan untuk mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna
mendampingi sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan
Indonesia di daerah musuh. Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300
orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan
Operasi A. mereka diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor.
Selesai latihan mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan
di daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).
Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim
Brahma I beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45
orang dan tim Brahma V 22 orang.
Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
1. Sub. Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat
dengan sasaran Singapura.
2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan
Pangkalan Tanjung Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran
Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke
daerah masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer
maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.
Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah
Basis II. A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan
menggunakan kapal jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di
bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan
pangkat Letkol KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang
berpangkalan di Pulau Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan
kawan-kawannya,, ia berkenalan dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini
merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat
tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.
Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya
sedikit lebih tua dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam
bidang militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah
Singapura. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih
banyak memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang
keadaan dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana.
Tetapi sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa
tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.
Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus
maka satu-satunya jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan
memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut
kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian
dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Dari penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang
penting bagi para Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian
para Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah
musuh.
Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan
kecurigaan lawan, para sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini
disesuaikan dengan nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian
Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang
tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji
Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya
Harun bin Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan
penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian
tempat-tempat yang dianggap penting.
Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur
yang setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan.
Kekuatan ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para
Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan
bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di
daerah perbatasan.
Memasuki wilayah Singapura
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air
laut tenang ketiga Sukarelawan iini mendayung perahu,Sukarelawan itu dapat
melakukan tugasnya berkat latihan-latihan dan ketabahan mereka. Dengan cara
hati-hati dan orientasi yang terarah mereka mengamati tempat-tempat penting
yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas mengamati sasaran-sasaran ini
dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka meng
adakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan masing-masing.
Atas kelihaiannya mereka dapa berhasil kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau
Sambu sebaga Basis II dimana Usman dan Harus bertugas.
Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya aga berkumpul
kembali untuk merencanakan tugas-tugas yang haru dilaksanakan, disesuaikan
dengan hasil penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan
singkat, mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh
karena belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,
ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke
daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang mendalam. Sehingga apa yang
dibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang gemilang.
Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi
dengan kebulatan dan kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan
Hotel Mac Donald, Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat
sekitarnya. Hotel tersebut terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d
kota Singapura.
Pada malam harinya Usman dan kedua anggotanya kembali
menyusuri Orchad Road. Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura
ketiga putra Indonesia bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi
karena pada saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu
yang paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi,
mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan gerakan menyusup untuk memasang
bahan peledak seberat 12,5 kg.
Dalam keheningan malam kira-kira pukul 03.07 malam
tersentaklah penduduk kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti gunung
meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald
yang terbuat dari beton cor tulang hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke
penjuru sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling
berdesakan ingin keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula
penghuni toko sekitarnya berusaha lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan
sehingga mengalami luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di
sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30
orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Di antara orangorang yang berdesakan dari dalam gedung ingin keluar
dari hotel tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman.
Foto3 : Bom ditempatkan di tangga di lantai MacDonald House.
Merobek dinding beton Hongkong Shanghai Bank Dan, menewaskan dua perempuan bekerja
di sana. (http://www.singapolitics.sg)
|
Bom ditempatkan di tangga di lantai MacDonald House.
Merobek dinding beton Hongkong Shanghai Bank Dan, menewaskan dua perempuan bekerja
di sana. (http://www.singapolitics.sg)
|
Suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald
dan sekitarnya, namun Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin
menjauh ditelan kegelapan malam untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka
kembali memencar menuju tempat perlindungan masing-masing.
Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul
kembali. Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi
menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari
pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya,
lagi pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang jarumpun untuk bisa
ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura.
Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat
untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama
Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri.
Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret
1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan,
karena apa yang mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui
secara bulat untuk kembali ke pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang
telah dicapai kepada atasannya. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan
kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan,
supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan. Mulai saat inilah
Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya. (lanjut...)