Friday, May 08, 2009

ANTASARI DAN JURNALIS "KUNCEN"

……..saya mohon teman-teman wartawan tidak main hakim sendiri lewat media massanya masing-masing seperti halnya ada aparat penegak hukum yang kebablasan menetapkan Antasari Azhar sebagai otak pelaku pembunuhan (intelectual dader). Itu terlalu prematur karena proses peradilan belum berjalan. Biarlah pengadilan yang memutuskan benar atau salah mantan ketua KPK tersebut. Soal pemberitaan kasus yang Menjerat Antasari Azhar. Demikian ditulis oleh Eka L. Prastya, Redaktur Koran Sindo, di Facebook.


Benar adanya, apa yang disampaikan oleh wartawan muda ini. Saya pun menyambangi apa yang ditulis Eka di wall yang sama.

Saya sebagai wartawan yang tidak lagi di media cetak, merasa tergerak hati, terusik naluri untuk mempelajari kasus pembunuhan Nassarudin tersebuti. Karena menyangkut nama seorang pejabat tinggi top di Indonesia, yaitu Antasari Azhar, Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tentulah ini perkara tidak sesederhana itu.


Ada dua hukum yang berlaku di negeri kita, satu Hukum Formal, satu lagi Hukum Masyarakat. Hukum masyarakat lebih dahulu jalannya, dibandingkan Hukum Formal. Perkara belum sampai ke Pengadilan, masyarakat telah menghakimi. Tak tau pangkal perkara, masyarakat telah menvonis. Inilah masyarakat, “pembunuh karakter”.


Proses Hukum Formal sedang dijalankan. Polisi sebagai penyidik, telah mengemukakan komponen – komponen fakta lapangan, seperti saksi, barang bukti, pelaku dan pengakuan. Para tersangka sudah ditangkap dan ditanyai satu per satu oleh Polda Metro Jaya. Komponen-komponen fakta hukum tersebut nantinya akan diuji Logika Hukum-nya di Pengadilan.


Mari kita berandai-andai. Seandainya benar Antasari sebagai si pemberi perintah pembunuhan tersebut, perkara ini barang tentu akan jelas, sejelas-jelasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara Logika Hukum dan Logika Umum. Andaian kedua, Antasari tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut ? Bukanlah Antasari otak dari pembuhuhan tersebut, maka kalang kabutlah aparat hukum negeri ini.


Logika Peristiwa ini saat ini sedang dikritisi oleh masyarakat. Itulah Logika Umum yang tengah berlangsung di masyarakat. Masyarakat mulai ragu terhadap fakta-fakta dasar hukum aparat penyedik.

Saya tidak akan meneruskan pembicaraan tentang jalannya proses hukum yang tengah berlangsung, karena sudah ada badan yang kompeten yang mengurusnya. Saya mengingatkan rekan-rekan yang bergerlya di lapangan, teliti sebelum membeli, teliti sebelum menjual. Saya maksudkan disini, teliti menilik sebuah informasi, dan hati – hati memuat beritanya.


Ini adalah perkara canggih dan sarat dengan banyak kemungkinan. Waspada terhadap satu fakta yang seolah-olah fakta. Mungkin saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan lembaga tertentu. Siapa yang mengotori, siapa yang membersihkan. Jadi, banyak kemungkinan. Membuka kemungkinan-kemungkinan itu, merupakan tugas wartawan.


Besarkan mata, pertajam telinga.

“Air tenang tidak berarti tidak ada riak.”

“Dalami lubuk, agar tau ikan berenang di dalamnya.” “Tidak terdengar, bukan berarti tidak ada suara.”

“Tidak tampak, bukan berarti tak ada sesuatu.”

Fungsi wartawan adalah sebagai “anjing penjaga”, tapi jangan sebagai “anjing kampung”, satu menggonggong semua ikut menggonggong. Begitu dilempari roti, berhenti menggonggong. Begitu duduk mengambil batu, ekor ditekuk.


..... perbanyaklah mencari data sendiri, jangan hanya jadi "kuncen" Polda dan Kejakgung, yang hanya menunggu jumpa pers, balas Deddy di wall yang sama.


Jadi “kuncen”, menunggu sedakahan informasi.

Masyarakat kita yang pemarah, mudah naik darah karena terpengaruh oleh berita yang menyesatkan. Masyarakat telah menghakimi, sedang proses hukum tengah berjalan.


Kiranya, wartawan Indonesia harus belajar banyak kepada Tintin, dengan Snowynya. (Rizal Bustami)

No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023