Wednesday, May 26, 2010

Catatan Zulfikar


BUKIKTINGGI YANG CARUT MARUT, 
RATAP SEORANG RERANTAU

Oleh : Zulfikar*

Pengantar
Siapapun di Nusantara ini bila melihat gonjong Jam Gadang di televisi, maka semua pemirsa pasti akan menangkap pesan yang sangat jelas, itu adalah Sumatera Barat.  Jadi Jam Gadang bukanlah sekedar land mark dari kota Bukiktinggi (kami tidak menggunakan kata “Bukittinggi”) tapi merupakan ciri khas Sumatera Barat, ciri visual yang menjadi milik dan kebanggaan khalayak Minang
.

Kekaguman pemirsa atau masyarakat di luar Sumatera Barat tidak saja hanya karena Jam Gadang tapi juga karena lansekap Kota Bukiktinggi yang begitu memikat, Ngarai Sianok yang spektakuler dan tiga gunung yang  indah, Marapi, Sago dan Singgalang. Hampir semua pendatang mengatakan, bila belum ke Bukiktinggi itu artinya belum ke Sumatera Barat.  Disinilah orang bisa menikmati lansekap kota yang cantik sambil mencicipi berbagai penganan dan nasi kapau yang lezat ditingkah semilir angin berhawa pegunungan.  Tentunya kita tidak mengabaikan keindahan Lembah Anai, danau Maninjau dan Singkarak, Lembah Arau, kelezatan Sate Mak Syukur ataupun keagungan Istana Pagaruyuang.




Kota yang Malang
Namun mereka yang pernah menyaksikan betapa sangat indahnya Kota Bukiktinggi pada beberapa puluh tahun yang lalu, pasti akan merasa miris, sedih dan terhenyak, karena Jam Gadang, Pasa Ateh, Pasa Lereng serta hijaunya kawasan Taman Satwa-Benteng Fort De Cock sudah tercemar, semrawut dan carut-marut.

Jam Gadang bila dilihat dari Pasa Bawah (dekat hotel Jogja) tertutup oleh papan reklame LG yang sangat pongah, dari arah Birugo lansekap sekitar Jam Gadang terganggu dengan adanya ruko Niagara (namanya saja tidak membanggakan), Bank BNI dan tiang pancang yang sedang di bangun pas dibawah tebing (entah bangunan apa lagi).  Dari sudut yang sama terlihat Jam Gadang tertutup oleh pohon-pohon yang sudah menjulang tinggi disisi jalan yang menuju Pasa Ateh. Parahnya lagi pelataran di sekeliling Jam Gadang ditutupi conblock yang tidak ramah lingkungan, tidak hijau, tidak asri. Ada suatu hal yang hanya bisa disesalkan oleh hampir seluruh masyarakat minang, mengapa public view bagian barat Jam Gadang ditutup (disengaja) oleh bangunan yang justru memperagakan keangkuhan dunia barat dan kapitalis.  Kita hanya bisa mengurut dada.  Belakangan ini kami juga mendengar akan dibangun mall disekitar kawasan Jam Gadang.  Ini semua menjadi aneh dan tidak smart (cerdas).


Sebagai catatan tambahan saja, sebagaian mall hanya dapat bertahan sebentar dan umumnya dikunjungi oleh orang-orang pinggiran, menjadi tempat transaksi seksual, tempat ngeceng dan akan meningkatkan semangat konsumtif.  Jadi memang benar apa yang dikatakan Nabi kita, bahwa ‘pasar’ adalah tempat yang sangat ‘panas’ dan sebaiknya dihindari.

Di berbagai kota-di dunia, apalagi kota-kota yang menjadi tujuan wisata masyarakat dunia, orisinalitas dari peninggalan sejarah justru mereka pelihara, di-explore sehingga menjadi daya pikat yang luar biasa dan oleh karena itu orang-orang tertarik untuk melihat objek tersebut.  Sebut sajalah misalnya Candi Borobudur, menara Eiffel (Paris), menara Pisa (Roma) dan lain-lain. Untuk Jam Gadang rasanya hanya bisa dikomparasikan dengan bangunan bersejarah di atas, bahkan Tugu Monas saja bukan kelasnya.
 
Jadi begitu mahal dan berharganya sejarah dan orisinalitas dari Jam Gadang tersebut.  Tapi mengapa pendekatan penanganan objek ini seakan-akan mengabaikan strategi dan teknik pengelolaan yang profesional. Profesional ? Rasanya tidak perlu muluk-muluk untuk menterjemahkannya, mari kita terjemahkan dengan cara urang awak, yaitu memberikan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi semua pihak, khususnya masyarakat Agam - Bukittinggi.  


Bila kita bergerak agak timur Jam Gadang terlihat Janjang Gudang tidak terawat dan anehnya lagi mengapa harus ada gapura dengan tulisan Janjang Gudang yang justru menutupi keunikan janjang itu sendiri.  Dari depan Gedung BNI pemandangan ke arah janjang juga tertutup oleh bangunan non permanen yang sangat tidak indah (yang ada tulisan pegadaiannya). Tebing di sebelah barat Hotel Jogja  serasa semakin gersang.  Bangunan di tebing sebelah timur Janjang Gudang juga terlihat sangat semrawut, sehingga mengingatkan saya kawasan kumuh di sisi sungai Ciliwung di kawasan Jakarta Selatan.  Diseberang Gedung BNI, sepanjang trotoar yang menuju Pasa Bawah (terminal) sudah berdiri ruko dan bangunan semi permanen yang juga terkesan kumuh, apalagi yang di atas terminal.  Dulunya adalah trotoar untuk pedestrian yang cantik dan memberikan pandangan yang luas ke arah Gunung Marapi.  Tanpa sadar keberadaan bangunan di sepanjang trotoar tersebut telah merampas hak publik, public view yang begitu mahal.


Keadaan ini ditambah lagi dengan kekumuhan dan kesemrawutan yang terjadi pada trotoar di atas Pasa Bawah (di atas terminal, hampir setengah badan jalan dijadikan tempat berdagang).  Jadi adalah wajar apabila di kawasan tersebut terjadi kemacetan yang cukup parah, karena pengaturan ruang yang tidak pada tempatnya.  Setahu kami trotoar adalah untuk pejalan kaki dan jalan raya adalah untuk lalu lintas kendaraan (bermotor atau tidak bermotor), bukan untuk berdagang.




Dalam suatu konferensi nasional kami pernah berkelakar tentang visi kota Solo, karena kota Solo juga sekarang sangat kumuh dan semrawut, maka kami usul agar kota Solo mempunyai visi Kota Terkumuh se Indonesia.  Dengan demikian, semua orang akan penasaran dan berduyun-duyun datang ke Solo untuk melihat seperti apa kota terkumuh se Indonesia tersebut, sehingga dapat meningkatkan PAD daerahnya (ini hanya merupakan ungkapan terhadap kegamangan suatu kota yang bingung membangun dan menetapkan visi).

 Apa visi kota Bukiktinggi ?
Dari Pasa Bawah, mari kita merayap ke atas, ke Pasa Lereng.  Kawasan ini merupakan kawasan yang cukup legendaris, karena jarang pasar berada di lahan yang miring (lereng).   Dulu ini merupakan salah satu kawasan favorit amai-amai (ibu-ibu) untuk berbelanja, sekarang jajanan.  Rasanya saat ini kharisma pasa ini sudah mulai menurun, karena penataan warung atau lapak yang kurang memperhatikan nilai-nilai keindahan, kebersihan dan arsitektural khas Minang.

 Kembali ke Pasa Ateh, yang menjadi latar belakang Jam Gadang, dulu disini berdiri los-los yang sudah digantikan oleh pasar bertingkat.  Los-los tersebut mempunyai nilai historis dan sosial yang sangat tinggi, ada yang namanya Los Maninjau, Los Banuhampu, Ampek Angkek, dll. Nama dari los-los tersebut merupakan pengejawantahan secara fisik interaksi sosial-ekonomi masyarakat yang  berada dalam satu kesatuan wilayah serta gambaran posisi Bukiktinggi sebagai simpul jasa dan perdagangan di Sumatera bagian tengah.  Namun niali-nilai tersebut terhapuskan oleh gedung modern yang sebenarnya tidak mempunyai daya tarik bagi pendatang atau perantau kecuali orang-orang kampung  yang belum pernah ke kota-kota besar.  Sebenarnya tidak ada masalah apabila kita akan membangun tempat pebelanjaan yang modern hanya saja tetap mempertahankan keunikan arsitektural los tersebut.  Pertimbangan teknis lainnya, harus ada kajian tata bangunan yang memberikan batasan sky line bangunan di sekitar Jam Gadang.  Bila tidak, mungkin sulit membayangkan bagaimana tata bangunan sekitar Jam Gadang nantinya.




Ada hal lain yang menggelitik saya (saya jadi geli dan geram) mengapa di atas Patung Pahlawan Tak Dikenal ditonggokkan patung orang yang sangat tidak artistik.  Apakah masyarakat Bukiktinggi memang mempunyai rasa seni yang dangkal sehingga harus secara visual atau verbal untuk memasang patung orang (karena pahlawan itu kan orang) ?  Kemana perginya rasa seni masyarakat Minang yang tinggi tersebut ? Bila kita berdiri disuatu tempat yang nanti akan berdiri ‘kerajaan’ pemerintah Kota Bukiktinggi, dekat Bukikambacang lalu melayangkan pandangan ke arah Benteng Fort De Cock - Taman Marga Satwa, maka kita akan melihat keindahan kota Bukiktinggi dari sisi yang lain. Sungguh menakjubkan.  Hanya saja sekarang ada yang merusak pemandangan tersebut, yaitu ‘bangkai’ konstruksi bangunan hotel yang belum rampung.  Ini sangat mengganggu, karena di kerimbunan tersebut tiba-tiba menyeruak ‘bangkai’ bangunan yang sangat kontras dengan lingkungannya, kontras dari sisi lansekap dan sosial-budaya masyarakat Buiktinggi.  Dengan perspektif seorang perencana kami mencium bau yang sangat menyengat yang menyebar ke seantero kota.


Sekedar Usul Penanganan
Apapun kondisinya, “rancak atau buruak” itulah fakta kota Bukiktinggi, koto rang Agam. Itulah kota kita.  Masih cukup banyak kondisi dan kawasan yang tetap membanggakan kita seperti kawasan Ngarai Sianok, adanya rencana pemilahan kawasan  kegiatan, seperti kawasan Jam Gadang (Jalan Sabalik) yang diarahkan untuk pariwisata, kawasan pemerintahan di dekat Bukikambacang, pusat jasa dan perdagangan di Aua Kuniang dan lain-lain.  Hanya saja apakah pemilahan tersebut sudah dikaji secara baik dan benar.  Secara baik, dilihat dari manfaat dan mudarat pemilahan terebut, apakah akan menyelesaikan persoalan kota ataukah malah menambah persoalan baru.  Secara benar, perlu dilihat dari kajian daya dukung lahan, lingkungan, sosial struktur ruang, peran kota Bukiktinggi sebagai simpul dan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya ataupun daerah lain seperti Pakan Baru, Padang, Solok dan lain-lain.  Dan yang terpenting apakah arah pembangunan kota sudah merupakan resultante aspirasi masyarakat dan kaidah-kaidah perencanaan kota.  Bila itu hanya merupakan keinginan dan kepentingan segelintir orang, maka Insya Allah para penerus kita nanti akan menuai kesemrawutan dan kekacauan ruang dan isi kota.




No comments:

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023