Suara Suara Anak Rantau
“MEDAN BAPANEH” DAN PERLUASAN KOTA BUKIKTINGGI
Pengantar dari Redaksi
Zulfikar, seorang asal Bukittinggi, Sumatera Barat, sorang ahli Tata Ruang
“MEDAN BAPANEH” DAN PERLUASAN KOTA BUKIKTINGGI
Pengantar dari Redaksi
Zulfikar, seorang asal Bukittinggi, Sumatera Barat, sorang ahli Tata Ruang
yang tinggal di rantau, mengajak semua pihak untuk duduk
bersama memikirkan pembenahan kota Bukittinggi secara
sungguh-sugguh. Bukan berdasarkan tujuan politik dan PAD.
Latar Belakang Masalah
Bukit Tinggi sebaiknya tidak ditulis demikian tapi Bukiktinggi karena itulah generik dari nama kota tersebut. Ini merupakan langkah awal untuk 'Baliak Banagari' (bukan Baliak Ka Nagari). Kota Bukiktinggi sejak dulu dikenal sebagai 'Koto Rang Agam'. Substansi dari historis kalimat tersebut seyogyanya menjadi acuan bagi masyarakat yang berada dalam satu kesatuan geo-sosio-eko-kultural 'Agam' dalam membangun wilayah ini ke depan. Cukup banyak sejarah orang Agam yang dapat dijadikan titik ikat (benchmark) dalam membangun wilayah 'Agam' yang pusat pertumbuhan/ pelayanannya adalah Bukiktinggi.
Bukit Tinggi sebaiknya tidak ditulis demikian tapi Bukiktinggi karena itulah generik dari nama kota tersebut. Ini merupakan langkah awal untuk 'Baliak Banagari' (bukan Baliak Ka Nagari). Kota Bukiktinggi sejak dulu dikenal sebagai 'Koto Rang Agam'. Substansi dari historis kalimat tersebut seyogyanya menjadi acuan bagi masyarakat yang berada dalam satu kesatuan geo-sosio-eko-kultural 'Agam' dalam membangun wilayah ini ke depan. Cukup banyak sejarah orang Agam yang dapat dijadikan titik ikat (benchmark) dalam membangun wilayah 'Agam' yang pusat pertumbuhan/ pelayanannya adalah Bukiktinggi.
Dalam ilmu tata ruang dikenal hinterland dan pusat hinterland. Pada konteks Agam-Bukiktinggi, Agam merupakan wilayah hinterland dan pusat hinterlandnya adalah kota Bukiktinggi. Persoalan yang berkembang belakangan ini adalah masalah “perluasan” kota Bukiktinggi yang terlihat menjadi sangat otoristik dan kontraproduktif serta bertentangan dengan logika pembangunan suatu wilayah. Ini sebenarnya juga terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Para pengamat pengembangan wilayah dan otonomi daerah sangat menyayangkan fenomena ini terjadi, karena tidak jarang justru merugikan daerah dan wilayah sekitarnya. Dan sungguh disayangkan lagi hal ini juga (justru) terjadi pada daerah yang menjadi referensi utama di Indonesia dalam pembangunan otonomi daerah, yaitu Sumatera Barat, khususnya di wilayah ‘Tigo Tungku Sajarangan”.
Sebagian besar perluasan wilayah atau pemekaran daerah lebih banyak dilihat hanya dari sudut “politik”. Ini juga disebabkan pengertian “politik” yang lebih banyak berujung pada pendapatan daerah bahkan pendapatan sekelompok orang. Apabila pembahasan perluasan wilayah tidak didudukkan pada kajian yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (tanpa pengkotak-kotakkan masyarakat secara administratif), maka yang sebenarnya terjadi bukanlah beda pendapat tapi lebih pada beda 'pendapatan', sehingga debat tidak berkesudahan. Hal ini mungkin terjadi karena banyak daerah saat ini berlomba-lomba meningkatakan PAD dengan cara memperbanyak jenis pajak dan retribusi atau dengan cara “pengambilalihan” potensi daerah tetangga melalui perluasan wilayah. Cara-cara seperti ini sebenarnya adalah kurang sejalan dengan semangat otonomi daerah. Buktinya, ribuan Perda yang berkenaan dengan retribusi dan pajak yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah direkomendasikan oleh KPPOD untuk dibatalkan. Saat ini Departemen Dalam Negeri hanya mampu membatalkan 260-an Perda sejenis. Bukti lain, Pemerintah Agam dengan Pemerintah Kota Bukiktinggi ribut terus tentang perluasan wilayah.
Terkait dengan ‘perlombaan’ peningkatan PAD kami ingin menyampaikan satu catatan khusus. Seluruh aparat pemerintah (daerah sampai pusat) dibiayai oleh APBN (DAU), tapi seluruh anggota DPRD dibiayai oleh APBD. Semakin tinggi PAD suatu daerah semakin besar ‘jatah’ yang diterima DPRD. Ah.. itukan politik.
Secara universal (international dictionary) pengertian politik (konteks pemerintahan) adalah cara untuk mensejahterakan masyarakat, sedangkan partai politik adalah alat untuk mensejahterakan masyarakat. Berkenaan dengan pengembangan wilayah (adminsitratif) kota Bukiktinggi, apakah sudah dilakukan kajian ilmiah oleh para pakar dan praktisi yang memang kompeten dan mengenal baik sejarah dan karakteristik wilayah dan masyarakat Agam-Bukiktinggi. Bila sudah apakah mereka berkerja secara netral dan independen dengan tujuan (goals) untuk membantu pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat Agam-Bukiktinggi. Secara lebih tegas siapa yang membiayai penelitian tersebut? Pertanyaan lain apakah rencana perluasan tersebut sudah bermusyawarah dengan masyarakat (stakeholders) Agam-Bukiktinggi ?
Secara universal (international dictionary) pengertian politik (konteks pemerintahan) adalah cara untuk mensejahterakan masyarakat, sedangkan partai politik adalah alat untuk mensejahterakan masyarakat. Berkenaan dengan pengembangan wilayah (adminsitratif) kota Bukiktinggi, apakah sudah dilakukan kajian ilmiah oleh para pakar dan praktisi yang memang kompeten dan mengenal baik sejarah dan karakteristik wilayah dan masyarakat Agam-Bukiktinggi. Bila sudah apakah mereka berkerja secara netral dan independen dengan tujuan (goals) untuk membantu pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat Agam-Bukiktinggi. Secara lebih tegas siapa yang membiayai penelitian tersebut? Pertanyaan lain apakah rencana perluasan tersebut sudah bermusyawarah dengan masyarakat (stakeholders) Agam-Bukiktinggi ?
Dalam konteks otonomi daerah DPRD adalah wahana penampung dan perumus aspirasi masyarakat, sedangkan pemerintah adalah sebagai fasilitator aspirasi masyarakat. Apabila seluruh keputusan hanya diambil secara sepihak oleh pemerintah, maka sebenarnya para pengambil keputusan sudah mengkhianati prinsip otonomi daerah itu sendiri. Inilah pertanda awal ambruknya suatu negeri. Sejarah Indonesia sudah membuktikan bahwa pemerintahan yang otoriter hanya menyengsarakan rakyat. Catatan : Tahun 2003 posisi Indonesia berada pada ranking ke-5 dari seratus negara terkorup di dunia (Tranparency International). Di negara-negara yang korup rakyatnya sebagian besar sengsara.
Bila melihat sejarah “Bukiktinggi Koto Rang Agam”, perlu dilakukan tinjauan historis tentang kesatuan wilayah, dimana Bukiktinggi yang dikenal sebagai daerah Kurai atau kawasan perkotaan (secara administratif disebut Kota Bukiktinggi).Wilayah hinterlandnya adalah ‘Nagari Ampek nan Ampek” yaitu :
1.Balaigurah, Biaro, Lambah, Panampuang
2.Sungaipua, Sariak, Batagak, Batupalano
3.Sianok, Kotogadang, Tabek, Sarojo
4.Kamang, Bukik, Aua, Parumahan
1.Balaigurah, Biaro, Lambah, Panampuang
2.Sungaipua, Sariak, Batagak, Batupalano
3.Sianok, Kotogadang, Tabek, Sarojo
4.Kamang, Bukik, Aua, Parumahan
Masing-masing kawasan mempunyai karakteristik yang agak berbeda namun berada dalam satu kesatuan geografis-sosio-ekonomi-kultural dan seluruhnya berorientasi ke “gaduang” atau kawasan perkotaan Bukiktinggi (Kurai) yang menjadi wahana komunikasi, interaksi dan sinergi seluruh masyarakat Lareh Nan Bunta (ampek nan ampek). Dinamika kehidupan masyarakat Lareh Nan Bunta inilah yang menggerakan berbagai dimensi kehidupan masyarakat Agam-Bukiktinggi, bukan masyarakat dari Lubuakbasuang, bukan dari Payokumbuah ataupaun dari Batusangka (Lareh Nan Panjang). Jadi para tetua Minang dahulu memang sudah mempunyai strategi pengembangan wilayah yang sangat matang. Apabila saat ini terjadi ‘pertikaian’ dalam perluasan Kota Bukiktinggi mungkin lebih disebabkan karena tidak mau berpijak pada sejarah Batu Batikam. Katanya suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah negerinya.
Kenyataan lapangan secara sangat gamblang memperlihatkan bahwa masyarakat di Sungaipua, Guguak, Kotogadang, Kamang dan kawasan sekitarnya (ampek nan ampek) semuanya berorientasi ke Bukiktinggi, demikian juga sebaliknya. Geliat kehidupan ekonomi di Bukiktinggi sangat dipengaruhi ke empat hinterland besar ini, dismping wilayah eksternal lainnya. Dari sudut pandang manapun kenyataan ini tidak terbantahkan. Pada sisi lain, salah satu tugas pemerintah adalah melayani masyarakat (public services), tetapi mengapa titik pelayanan dialihkan ketempat dengan akses yang sangat rendah. Bila pelayanan memegang prinsip cepat, mudah dan terjangkau (murah), maka penempatan pusat pelayanan di luar Lareh Nan Bunta adalah keputusan yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip pelayanan publik. Bertentangan dengan tugas utama pemerintah, kecuali pemerintah masih memegang motto : kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah.
Lagi pula, apakah perluasan kota Bukiktinggi akan dilakukan secara terus menerus, karena apabila nanti kota sudah sesak, lalu dilakukan perluasan lagi, sesak lagi diperluas lagi…sampai kapan? Rasanya kota-kota di dunia tidak melakukan perluasan secara terus menerus. Harus ada batasan kawasan perkotaan yang visioner, mempertimbangkan daya dukung dan koneksitas kawasan dalam suatu sistem perwilayahaan yang seimbang, habitable dan sustainable dalam suatu kerangka besar untuk mencapai prosperity.
Tawaran Solusi
Hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia sejak awal tahun 1990 sudah memproklamirkan diri sebagai fasilitator, tahun 1998 lahir tuntutan yang begitu luas agar diterapkannya otonomi daerah dan tahun 2000 Pemerintah Pusat menerapan otonomi daerah secara resmi. Pada kenyataannya memang terjadi kegamangan dalam pelaksanaannya baik secara administratif maupun teknis. Hasil cermatan kami menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Indoensia secara finansial masih sangat tergantung dari DAU (Pemerintah Pusat) dan dalam penyelenggaraan pemerintahan eksekutif belum memposisikan diri sebagai fasilitator tapi tetap menjadi eksekutor. Eksekutor sebenarnya beda tipis dengan otoriter. Padahal otonomi daerah akan dapat berjalan apabila lahir kontribusi masyarakat dalam membangun daerahnya, sehingga terbangunlah kemandirian daerah. Jadi adalah hal yang mustahil untuk berotonomi apabila paradigma pemerintah daerah masih mengandalkan bantuan pusat dan tetap menjadi eksekutor, kecuali kota-kota kaya seperti Bontang, Balikpapan dan Tenggarong.
Hakekat utama dari otonomi daerah sebenarnya adalah kembalinya kekuasaan ke tangan rakyat. Namun kenyataan yang terjadi adalah otoritas yang selama ini sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Pusat sekarang dikuasai oleh Pemerintah Daerah, sehingga sering kita dengar lahirnya raja-raja kecil di daerah. Dan menariknya lagi di daerah juga terjadi pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke legislatif. Hal ini terjadi karena legislatif secara legal-formal merupakan representasi masyarakat. Disini terjadi reduksi masyarakat dari ratusan ribu masyarakat menjadi puluhan masyarakat saja (maksimal 45 orang). Dalam pengambilan keputusan publik, sebagian besar keputusan hanya diputuskan antara ekskutif dan legislatif. Namun apabila kita tilik secara lebih jujur sebenarnya yang berkuasa adalah eksekutif, karena mereka jauh lebih berpengalaman dibanding anggota dewan. Sehingga kemana suatu kota akan ‘dibawa’, untuk apa uang rakyat digunakan, sangat ditetukan oleh eksekutif. Di beberapa daerah eksekutif direduksi lagi menjadi Walikota/Bupati. Jadi…..? lebih berbahaya lagi bila di daerah lahir motto King Do No Wrong.
Dalam perjalan masyarakat Minang dikenal yang namanya Medan Bapaneh yang sekarang populer dengan istilah Public Area yang digunakan untuk Public Meeting. Menurut salah seorang tokoh sepuh di Balaigurah, Medan Bapaneh adalah suatu lapangan terbuka (secara fisik lapangan tersebut masih ada) yang dijadikan tempat pertemuan para Datuak Indua, Datuak Suku, Datuak (biasa) dan Juaro. Para Datuak yang hadir merupakan orang-orang pilihan yang sangat representatif dari kelompok-kelompok masyarakat (suku-suku). Juaro biasanya menjadi fasilitator dan keamanan yang berpihak kepada masyarakat luas. Pertemuan besar atau juga pertemuan-pertemuan terbatas yang dilakukan secara rutin atau insidentil tersebut merupakan wahana pengambilan keputusan tertinggi yang berkenaan dengan berbagai macam persoalan kehidupan masyarakat Lareh Nan Bunta. Pertemuan tersebut bersifat terbuka, egaliter (tagak samo tinggi duduak samo randah) dan dihadiri oleh siapa saja yang berminat. Disinilah segala keputusan yang menyangkut orang banyak diputuskan. Sangat demokratis dan mengedepankan kepentingan 'urang banyak', kepentingan bersama.
Dalam berbagai pertemuan kepala daerah baik melalui APEKSI, APKASI maupun ADEKSI saat ini sedang getol-getolnya membahas materi tentang good governance. Diantara prinsip good governance tersebut adalah partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Bahkan para pejabat yang hadir pada pertemuan tersebut sangat bersemangat apabila mendiskusikan prinsip-prinsip terebut. Namun sayangnya hampir seluruh prinsip tersebut hanyalah dijadikan sebagai wacana saja dan sedikit untuk gagah-gagahan dengan menggunakan bahasa asing (Inggris). Padahal intisari dari good governance tersebut sudah menjadi prinsip dan praktek pengelolaan daerah oleh para pendahulu kita di Minangkabau ini.
Bila mencermati pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara Pemerintah Kota Bukiktinggi dengan Pemerintah Kabupaten Agam dalam perluasan Kota Bukiktinggi rasanya kami sebagai masyarakat Minang merasa malu, sedih, geram dan agak bergidik, karena proses perluasan ini mengabaikan sistem “Banagari” yang sudah dipraktekkan oleh para pendahulu kita. Pada proses ini juga menimbulkan rasa malu terhadap masyarakat di Nusantara ini karena kita secara sadar telah mengangkangi kehebatan ”otonomi daerah” yang dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesai. Sedih karena tatanan ruang yang nota bene didalamnya terdapat nyawa dan nurani “diatur” secara otoriter oleh sekelompok orang yang diberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan pemerintahan demi pencapaian kesejahteraan rakyat. Sedih karena pemerintah sama sekali mengabaikan sejarah pembangunan wilayah “Bukiktinggi Koto Rang Agam”, mengabaikan pendekatan “Medan Bapaneh” (public meeting, bermusyawarah untuk bermufakat), mengabaikan masyarakat Agam-Bukiktinggi yang justru selama ini patuh membayar retribusi dan pajak untuk menghidupi para pengelola daerah dan wilayah ini. Apakah masih pantas kita mengaku sebagai masyarakat Minang atau kita salah memahami 'Baliak Banagari' menjadi 'Baliak Ka Nagari' (suatu sistim pemerintahan desa, khas Minangkabau). Mengapa kita tidak mau belajar dari contoh luhur yang sudah dipraktekkan para tetua kita.
Bila kita mau melihat persoalan perluasan kota ini dengan “hati nan putiah”, menggunakan pendekatan ilmiah yang aplikatif dan bersandar kepada tugas utama pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, maka sudah saatnya kita mempraktekkan secara sungguh-sungguh apa yang dicontohkan oleh para tetua kita dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan secara bersam-sama. Untuk itu kami menawarkan langkah-langkah yang mungkin baik dilakukan demi terbangunnya wilayah Agam-Bukiktinggi yang diharapkan bersama, yaitu :
1.Perlu diidentifikasi tokoh dan kelompok-kelompok masyarakat Agam-Bukiktinggi yang peduli, independen, dan mau berbuat yang terbaik bagi wilayah ini, baik yang berada di Kabupaten Agam, Kota Bukiktinggi maupun mereka yang berada di perantauan, termasuk perwakilan dari tokoh masyarakat daerah tetangga (Batusangaka, Limopuluah Koto, Padangpanjang, Solok dan tentunya Padang berikut dengan Pemerintah Propisni dan Pusat).
2.Melakukan pemotretan terhadap situasi, kondisi, persoalan, potensi faktual-aktual wilayah Agam-Bukiktinggi, baik secara fisik maupun non fisik.
3.Memfasilitasi kajian ilmiah tentang sistem kota-kota (kawasan-kawasan pertumbuhan dan hinterland) yang terdapat di wilayah Agam-Bukiktinggi serta koneksitas antar kawasan dan kelompok masyarakat
4.Menyelenggarakan silaturrahmi akbar para warga Agam-Bukiktinggi dengan tujuan membangun strategi bersama dalam memajukan masyarakat dan wilayah Agam-Bukiktinggi tanpa harus mengkotak-kotakkannya dalam batasan adminsitratif yang maya.
5.Menyepakati sistem perwilayahan dan strategi pembangunan wilayah (Agam-Bukiktinggi) dengan mempertimbangkan kearifan lokal, sejarah, sistem wilayah (system of cities), potensi, aspirasi, harapan masyarakat dan sustainability pertumbuhan dan perkembangan wilayah dan isinya.
6.Kemudian seluruh hasil kesepakatan (sementara) perlu di ujipublikkan melalui media masa dan safari dialog kebeberapa kawasan, sehingga diperoleh masukan untuk penyempurnaannya.
7.Menyusun program pembangunan wilayah yang selanjutnya menjadi program pembangunan daerah masing-masing, namun sudah terintegrasi baik dari segi sosial, ekonomi, fisik, kultural dan spiritual dalam satu kesatuan wilayah Agam-Bukiktinggi.
8.Mejalankan program pembangunan yang telah disepakati dan semata-mata berorintasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Langkah-langkah tersebut sebaiknya diinisiasi dan difasilitasi oleh para tokoh masyarakat Minang (Agam-Bukiktinggi) yang betul-betul capable, kompeten, berpengaruh, dikenal masyarakat secara luas, independen, profesional dan berpengalaman menyelenggarakan multistakeholders meeting. Pertemuan dirancang dengan semangat kebersamaan dan egaliter, 'tagak samo tinggi, duduak samo randah' (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) mencari solusi dari berbagai persoalan wilayah Agam-Bukiktinggi guna pencapaian cita-cita bersama.
Bila memang keadaan tidak memungkinkan tentunya pertemuan tidak perlu dilakukan di 'Medan Bapaneh', namun harus bersifat live (on air – radio dan atau TV) serta interaktif. Jadi saat pertemuan dilangsungkan hampir seluruh penduduk Agam-Bukiktinggi memang mengetahui persis seluruh percakapan dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun melalui radio. Seluruh masyarakat pada saat itu mungkin akan mendengarkan radio di seluruh pelosok “pasa” dan ‘jorong”. Inilah awal kebangkitan “Baliak Banagari” untuk “Mambangkik Batang Tarandam”.
Tapi itu semua kan harus ada biayanya? Tentu. Dananya berasal dari masyarakat yang selama ini dikelola oleh pemerintah, namanya PAD. Pemerintah yang mana? Ya, pemerintah yang mengurusi Agam-Bukiktinggi. Apakah mereka mau? Apabila kedua pemerintah ini memegang prinsip pemerintahan yang baik, mengaku demokratis dan bermaksud untuk mensejahterakan masyarakat, mestinya mau. Kami yakin mereka mau. Sangat yakin.
Penutup
Apabila kita ingin membangun nagari ini, demi pencapaian cita-cita bersama, maka sudah saatnya kita menegakkan apa yang sudah dicontohkan para pendahulu kita. Pola pendekatan ini seperti ini sebenarnya baru berkembang di dunia sana tidak lebih dari 50 tahun yang lalu. Sebelum itu mereka melakukan apa yang sekarang sedang kita lakukan.
Jadi pendekatan pembangunan partisipatif bukanlah barang baru bagi masyarakat Minang. Hanya saja kita terlalu mudah terkontaminasi dengan sistem dan kepentingan perorangan dan kelompok tanpa mau berkaca kepada pengalaman mulia para pendahulu kita.
Sudah saatnya masyarakat Minang, baik yang di kampung maupun di perantauan untuk bangkit dan berbuat bersama tanpa menyalahkan siapapun demi masa depan nagari yang kita cintai ini.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan di kaki gunung Marapi dari titisan leluhur Minang, hanya mampu sagetek (sedikit) berbagai pengalaman dari beberapa kota di Indonesia untuk dipersembahkan kepada masyarakat Minang, untuk ranah nan indah yang sangat saya cintai.
Zulfikar St. Pangeran, tinggal di Kota Bogor
Tawaran Solusi
Hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia sejak awal tahun 1990 sudah memproklamirkan diri sebagai fasilitator, tahun 1998 lahir tuntutan yang begitu luas agar diterapkannya otonomi daerah dan tahun 2000 Pemerintah Pusat menerapan otonomi daerah secara resmi. Pada kenyataannya memang terjadi kegamangan dalam pelaksanaannya baik secara administratif maupun teknis. Hasil cermatan kami menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Indoensia secara finansial masih sangat tergantung dari DAU (Pemerintah Pusat) dan dalam penyelenggaraan pemerintahan eksekutif belum memposisikan diri sebagai fasilitator tapi tetap menjadi eksekutor. Eksekutor sebenarnya beda tipis dengan otoriter. Padahal otonomi daerah akan dapat berjalan apabila lahir kontribusi masyarakat dalam membangun daerahnya, sehingga terbangunlah kemandirian daerah. Jadi adalah hal yang mustahil untuk berotonomi apabila paradigma pemerintah daerah masih mengandalkan bantuan pusat dan tetap menjadi eksekutor, kecuali kota-kota kaya seperti Bontang, Balikpapan dan Tenggarong.
Hakekat utama dari otonomi daerah sebenarnya adalah kembalinya kekuasaan ke tangan rakyat. Namun kenyataan yang terjadi adalah otoritas yang selama ini sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Pusat sekarang dikuasai oleh Pemerintah Daerah, sehingga sering kita dengar lahirnya raja-raja kecil di daerah. Dan menariknya lagi di daerah juga terjadi pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke legislatif. Hal ini terjadi karena legislatif secara legal-formal merupakan representasi masyarakat. Disini terjadi reduksi masyarakat dari ratusan ribu masyarakat menjadi puluhan masyarakat saja (maksimal 45 orang). Dalam pengambilan keputusan publik, sebagian besar keputusan hanya diputuskan antara ekskutif dan legislatif. Namun apabila kita tilik secara lebih jujur sebenarnya yang berkuasa adalah eksekutif, karena mereka jauh lebih berpengalaman dibanding anggota dewan. Sehingga kemana suatu kota akan ‘dibawa’, untuk apa uang rakyat digunakan, sangat ditetukan oleh eksekutif. Di beberapa daerah eksekutif direduksi lagi menjadi Walikota/Bupati. Jadi…..? lebih berbahaya lagi bila di daerah lahir motto King Do No Wrong.
Dalam perjalan masyarakat Minang dikenal yang namanya Medan Bapaneh yang sekarang populer dengan istilah Public Area yang digunakan untuk Public Meeting. Menurut salah seorang tokoh sepuh di Balaigurah, Medan Bapaneh adalah suatu lapangan terbuka (secara fisik lapangan tersebut masih ada) yang dijadikan tempat pertemuan para Datuak Indua, Datuak Suku, Datuak (biasa) dan Juaro. Para Datuak yang hadir merupakan orang-orang pilihan yang sangat representatif dari kelompok-kelompok masyarakat (suku-suku). Juaro biasanya menjadi fasilitator dan keamanan yang berpihak kepada masyarakat luas. Pertemuan besar atau juga pertemuan-pertemuan terbatas yang dilakukan secara rutin atau insidentil tersebut merupakan wahana pengambilan keputusan tertinggi yang berkenaan dengan berbagai macam persoalan kehidupan masyarakat Lareh Nan Bunta. Pertemuan tersebut bersifat terbuka, egaliter (tagak samo tinggi duduak samo randah) dan dihadiri oleh siapa saja yang berminat. Disinilah segala keputusan yang menyangkut orang banyak diputuskan. Sangat demokratis dan mengedepankan kepentingan 'urang banyak', kepentingan bersama.
Dalam berbagai pertemuan kepala daerah baik melalui APEKSI, APKASI maupun ADEKSI saat ini sedang getol-getolnya membahas materi tentang good governance. Diantara prinsip good governance tersebut adalah partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Bahkan para pejabat yang hadir pada pertemuan tersebut sangat bersemangat apabila mendiskusikan prinsip-prinsip terebut. Namun sayangnya hampir seluruh prinsip tersebut hanyalah dijadikan sebagai wacana saja dan sedikit untuk gagah-gagahan dengan menggunakan bahasa asing (Inggris). Padahal intisari dari good governance tersebut sudah menjadi prinsip dan praktek pengelolaan daerah oleh para pendahulu kita di Minangkabau ini.
Bila mencermati pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara Pemerintah Kota Bukiktinggi dengan Pemerintah Kabupaten Agam dalam perluasan Kota Bukiktinggi rasanya kami sebagai masyarakat Minang merasa malu, sedih, geram dan agak bergidik, karena proses perluasan ini mengabaikan sistem “Banagari” yang sudah dipraktekkan oleh para pendahulu kita. Pada proses ini juga menimbulkan rasa malu terhadap masyarakat di Nusantara ini karena kita secara sadar telah mengangkangi kehebatan ”otonomi daerah” yang dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesai. Sedih karena tatanan ruang yang nota bene didalamnya terdapat nyawa dan nurani “diatur” secara otoriter oleh sekelompok orang yang diberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan pemerintahan demi pencapaian kesejahteraan rakyat. Sedih karena pemerintah sama sekali mengabaikan sejarah pembangunan wilayah “Bukiktinggi Koto Rang Agam”, mengabaikan pendekatan “Medan Bapaneh” (public meeting, bermusyawarah untuk bermufakat), mengabaikan masyarakat Agam-Bukiktinggi yang justru selama ini patuh membayar retribusi dan pajak untuk menghidupi para pengelola daerah dan wilayah ini. Apakah masih pantas kita mengaku sebagai masyarakat Minang atau kita salah memahami 'Baliak Banagari' menjadi 'Baliak Ka Nagari' (suatu sistim pemerintahan desa, khas Minangkabau). Mengapa kita tidak mau belajar dari contoh luhur yang sudah dipraktekkan para tetua kita.
Bila kita mau melihat persoalan perluasan kota ini dengan “hati nan putiah”, menggunakan pendekatan ilmiah yang aplikatif dan bersandar kepada tugas utama pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, maka sudah saatnya kita mempraktekkan secara sungguh-sungguh apa yang dicontohkan oleh para tetua kita dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan secara bersam-sama. Untuk itu kami menawarkan langkah-langkah yang mungkin baik dilakukan demi terbangunnya wilayah Agam-Bukiktinggi yang diharapkan bersama, yaitu :
1.Perlu diidentifikasi tokoh dan kelompok-kelompok masyarakat Agam-Bukiktinggi yang peduli, independen, dan mau berbuat yang terbaik bagi wilayah ini, baik yang berada di Kabupaten Agam, Kota Bukiktinggi maupun mereka yang berada di perantauan, termasuk perwakilan dari tokoh masyarakat daerah tetangga (Batusangaka, Limopuluah Koto, Padangpanjang, Solok dan tentunya Padang berikut dengan Pemerintah Propisni dan Pusat).
2.Melakukan pemotretan terhadap situasi, kondisi, persoalan, potensi faktual-aktual wilayah Agam-Bukiktinggi, baik secara fisik maupun non fisik.
3.Memfasilitasi kajian ilmiah tentang sistem kota-kota (kawasan-kawasan pertumbuhan dan hinterland) yang terdapat di wilayah Agam-Bukiktinggi serta koneksitas antar kawasan dan kelompok masyarakat
4.Menyelenggarakan silaturrahmi akbar para warga Agam-Bukiktinggi dengan tujuan membangun strategi bersama dalam memajukan masyarakat dan wilayah Agam-Bukiktinggi tanpa harus mengkotak-kotakkannya dalam batasan adminsitratif yang maya.
5.Menyepakati sistem perwilayahan dan strategi pembangunan wilayah (Agam-Bukiktinggi) dengan mempertimbangkan kearifan lokal, sejarah, sistem wilayah (system of cities), potensi, aspirasi, harapan masyarakat dan sustainability pertumbuhan dan perkembangan wilayah dan isinya.
6.Kemudian seluruh hasil kesepakatan (sementara) perlu di ujipublikkan melalui media masa dan safari dialog kebeberapa kawasan, sehingga diperoleh masukan untuk penyempurnaannya.
7.Menyusun program pembangunan wilayah yang selanjutnya menjadi program pembangunan daerah masing-masing, namun sudah terintegrasi baik dari segi sosial, ekonomi, fisik, kultural dan spiritual dalam satu kesatuan wilayah Agam-Bukiktinggi.
8.Mejalankan program pembangunan yang telah disepakati dan semata-mata berorintasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Langkah-langkah tersebut sebaiknya diinisiasi dan difasilitasi oleh para tokoh masyarakat Minang (Agam-Bukiktinggi) yang betul-betul capable, kompeten, berpengaruh, dikenal masyarakat secara luas, independen, profesional dan berpengalaman menyelenggarakan multistakeholders meeting. Pertemuan dirancang dengan semangat kebersamaan dan egaliter, 'tagak samo tinggi, duduak samo randah' (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) mencari solusi dari berbagai persoalan wilayah Agam-Bukiktinggi guna pencapaian cita-cita bersama.
Bila memang keadaan tidak memungkinkan tentunya pertemuan tidak perlu dilakukan di 'Medan Bapaneh', namun harus bersifat live (on air – radio dan atau TV) serta interaktif. Jadi saat pertemuan dilangsungkan hampir seluruh penduduk Agam-Bukiktinggi memang mengetahui persis seluruh percakapan dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun melalui radio. Seluruh masyarakat pada saat itu mungkin akan mendengarkan radio di seluruh pelosok “pasa” dan ‘jorong”. Inilah awal kebangkitan “Baliak Banagari” untuk “Mambangkik Batang Tarandam”.
Tapi itu semua kan harus ada biayanya? Tentu. Dananya berasal dari masyarakat yang selama ini dikelola oleh pemerintah, namanya PAD. Pemerintah yang mana? Ya, pemerintah yang mengurusi Agam-Bukiktinggi. Apakah mereka mau? Apabila kedua pemerintah ini memegang prinsip pemerintahan yang baik, mengaku demokratis dan bermaksud untuk mensejahterakan masyarakat, mestinya mau. Kami yakin mereka mau. Sangat yakin.
Penutup
Apabila kita ingin membangun nagari ini, demi pencapaian cita-cita bersama, maka sudah saatnya kita menegakkan apa yang sudah dicontohkan para pendahulu kita. Pola pendekatan ini seperti ini sebenarnya baru berkembang di dunia sana tidak lebih dari 50 tahun yang lalu. Sebelum itu mereka melakukan apa yang sekarang sedang kita lakukan.
Jadi pendekatan pembangunan partisipatif bukanlah barang baru bagi masyarakat Minang. Hanya saja kita terlalu mudah terkontaminasi dengan sistem dan kepentingan perorangan dan kelompok tanpa mau berkaca kepada pengalaman mulia para pendahulu kita.
Sudah saatnya masyarakat Minang, baik yang di kampung maupun di perantauan untuk bangkit dan berbuat bersama tanpa menyalahkan siapapun demi masa depan nagari yang kita cintai ini.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan di kaki gunung Marapi dari titisan leluhur Minang, hanya mampu sagetek (sedikit) berbagai pengalaman dari beberapa kota di Indonesia untuk dipersembahkan kepada masyarakat Minang, untuk ranah nan indah yang sangat saya cintai.
Zulfikar St. Pangeran, tinggal di Kota Bogor
3 comments:
wah....ada cerita tata ruang nya...
sebuah referensi yg bagus untuk saya yg juga berkecimpung dalam dunia tata ruang (Jurusan kuliah saya) hehehehhe...
Mantap Bang...
di tunggu berita2 selanjutnya...
salam hangat...
O,ya... Bang Zul,si penulis,seorang ahli Tata Ruang. Dia seorang idealis,yang membangun konsep perpaduan lingkungan dengan manusia.Konsep-konsepnya banyak berseberangan dengan Pemerintah,namun demikian dia berhasil juga di beberapa tempat. Di Cantigi Peace dia sudah menyumbangkan 2 artikel.Kalo mau bekenalan dan ngobrol dengan dia, bisa masuk ke Facebook-nya dengan nama Zulfikar.
oh ya...
oke bang...
makasih yah...
di tunggu artikel2 selanjut nya....
^_^
salam
Post a Comment