Thursday, May 26, 2011

NOVEL Bagian XIV : Kecamuk 2

 Kecamuk (Bagian 2)

 
L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir banyaknya.

Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk  melihat jelas sosok Datuak Rajo Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk  dan pasukannya itu, dia berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka  segala kemungkinan bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya,” ancaman L.C. Westenenk.

“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!,”  jawab Datuak Rajo Pangulu.

Saturday, May 14, 2011

Voyage through the Archipelago Bagian I

Pedati

Buku berukuran besar, 250 halaman lebih ini, berisi rekaman camera 45

fotografer dunia, termasuk Indonesia. Diterbitkan untuk memperingati 45
tahun Indonesia merdeka. Penerbitan buku ini dikomandoi oleh Joop Ave.
Dicetak di Perancis, diedarkan terbatas pada tahun 1990. Pemotretan
dilakukan selama satu tahun. Saya beruntung,mendapatkan buku berharga
tinggi tersebut pada tahun diedarkan. Untuk pembaca Cantigi Peace, akan
Fotografer Dunia tersebut : 1. Star Black,2. Rene Burri,3. Paul Chesley,4. Peter Van Der Velde,5. Leong Ka Tai 6. Beck Thohir,7. G.Pinkhasov,8. Abbas,9. Desi Harahap, 10. Gerald Gay,
11. Michael  Freeman, 12. Tara Sosrowardojo, 13. Ian Berry, 14. Raghu Rai, 15. Basil Pao, 16. Hiroshi Suga, 17. Steve Viiler, 18. Richard Kalvar, 19. Robin Moyer, 20. Leo Meier, 21. Dominic Sansoni, 22. Bruno Barbey, 23. Wendy Chan, 24. Ping Amranand, 25. Luca I.Tettoni, 26. Santoso Alimin, 27. Ara Guller, 28. Kal Muller, 29. Guido Alberto Rossi, 30. Kike Hoksen, 31. Koes, 32. Agus Leonardus, 33. Peter Hufgard, 34. Martin Kers, 35. Bernard Hermann, 36. Goerg Gerster, 37. Andre Pribadi, 38. Kartono Riadi,39. Fendi Siregar, 40. Darwis Triadi, 41. Eddy Posthuma Deboer, 42. Mahendra Sinh, 43. Rio Helmi, 43. Mark Wexler, 45. Mike Yamashita.
Foto - foto yang termuat di Cantigi Peace ini tidak mewakili ukuran dan standar yang termuat dalam buku. Ada foto yang dikecilkan, dan ada pula yang dibesarkan. Dan, munkin terjadi penurunan kuwalitas gambar.  (Rizal Bustami)

Wednesday, May 04, 2011

NOVEL Bagian XIV : Kecamuk1


Kecamuk (Bagian 1)

Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang (Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang menentang belasting dan rodi.

Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan.

“Weerda!”
“Vriended!,” jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul Manan.
“Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?!”
“Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan,” jawab Angku Rumah Gadang.
“Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!!”
“Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan, Tuan!”
“Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha!”
“Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut. Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka.

Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya.
“Apakah kalian tau Haji Abdul Manan?”
“Haji Abdul Manan, tau... Tuan!,” jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang sok akrap.
“Goed...!,” kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya.
“Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan dengannya.”
“Beliau, Tuan!”
“Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya?”
“Ya, berbeda, Tuan”
“Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan.”
“Ini bukan sepele, Tuan.”
“Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja,” oceh Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
“Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!,” desaknya lagi.
“Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di kampung …. Tapi juga ada. Di....” Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup, karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul dengan beberapa pembantu beliau.
“Dimana!!!,” bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah Gadang tersebut.
“Di... kampung Budi, Tuan,!” dengan gagapnya. “Tadi siang beliau ada di sana, dan kami tidak melihat beliau di sini,” sambungnya lagi.
“Beliau siapa?,” tukas ajudan itu lagi.
“Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan.”

Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri, menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi.

Monday, May 02, 2011

Mengenang Marsinah

Marsinah


Catatan Rizal Bustami tentang Marsinah
Marsinah dan Buruh

Gegap gempita Peringatan Hari Buruh Dunia yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei di Bundaran HI sampai ke Istana Merdeka, mengingatkan saya kepada Marsinah. Marsinah yang mati dalam siksaan, mayatnya ditemukan tanggal 9 Mei 1993 di Dusun Jegong Kec. Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu saya sebagai reporter di Majalah Wanita Kartini.


Makam Marsinah / Foto : Rizal Bustami

Jasad Marsinah ditemukan selang beberapa hari setelah aksi demontrasi menuntut kenaikan upah di PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong, dimana Marsinah bekerja di perusahaan itu. Aksi demo tersebut terjadi pada tanggal 3 Mei 1993 dan Marsinah, wanita lugu, turut aktif dan paling vocal mempersiapkan aksi tersebut. Antara tanggal 3 sampai 5 Mei, Marsinah masih aktif berdemo. Namun setelah itu, dia tidak diketahui lagi, sampai ia ditemukan tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Foto : Antara
Saya melakukan reportase ke Surabaya, ke Sorong dan ke kuburan Marsinah penuh dengan perasaan was-was karena pada zaman itu adalah zaman represif. Bertahun-tahun lamanya, Marsinah menjadi topik yang selalu hangat diberitakan, namun tidak diketahui siapa pelaku pembunuhnya.

Meski selalu menjadi perhatian pers, namun foto dirinya hanya itu-itu saja, yaitu pas foto dirinya dengan rambutnya yang ikal tebal. Foto inilah satu-satunya yang dimiliki oleh Marsinah. Bagaimana wajah kesehariannya, tidak pernah diketahui oleh publik. Melalui pas foto itu pulalah Marsinah menjadi legenda perjuangan buruh Indonesia. Foto yang saya miliki, ya repro pas fotonya itu dan foto ketika saya mengunjungi makamnya yang masih berupa tanah gundukan.

Foto : Antara


Marsinahlah satu-satunya pahlawan buruh di Indonesia. Ditengah keluguannya, wanita dusun, ia berjuang bersama teman-temannya pada masa Indonesia dalam cengkraman yang penuh ketakutan. Kini pada Indonesia zaman bebas, tanpa rasa takut untuk bersuara lantang. Adakah yang ingat terhadap pengorbanan gadis Marsinah ?
Foto : Antara

Saturday, April 23, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XIII)


 Mantik

Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan  kedatangan seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.

Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek Angkek yang pernah menjadi redaktur ‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi.

Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang Belanda pula di kampungnya sendiri.

Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan masuk kampung keluar kampung.

Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908 dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang terkenal dengan sebutan ‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek.

KLIPING : Kematian Cosmonot Gargarin

Mesteri Kamatian Gargarin, Manusia Pertama Luar Angkasa dari Rusia


Sumber : Kompas aPaper

Friday, April 15, 2011

Melepas Rosihan Anwar

Melepas Rosihan Anwar :
Catatan Sejarah ada padanya...
           Wartawan senior Haji Rosihan Anwar meninggal dunia di Rumah Sakit MMC Jakarta, Kamis pukul 08.15 WIB, karena serangan jantung. Haji Rosihan Anwar, disebut-sebut wartawan tiga zaman itu, lahir di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922. Ia meniti karir sebagai wartawan di Harian Indonesia Raya pada 1943, setelah menamatkan pendidikan AMS-A II di Yogyakarta pada 1942. Ia  pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan, akibat dari kebebasan yang ia kumandangkan. Oleh Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup.  Pada masa  Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Rezim ini yang  menutup Pedoman pada tahun 1974, kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya.
Selamat jalan Bung Rosihan, Anda tidak tergantikan oleh zaman... (Rizal Bustami)

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023