Catatan Usang Seorang Juru Tulis
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian
GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara.
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian
GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara.