Friday, February 04, 2011
Wednesday, January 26, 2011
RUU Keistimewaan Yogyakarta
Catatan Rizal Bustami
Tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta
BAHWA, YOGYAKARTA TIDAK SENDIRI MENEGAKKAN RI INI
Suatu kawasan kepulauan (archipilago) yang tidak bernama dan tidak memiliki kekuasaan tunggal, membentang dari barat ke timur dari ujung pulau Sumatera dan ekor Pulau Papua. Dari kepulauan utara Philipina sampai ke selatan Pulau Jawa. Pada masanya hanya ada kekuasaan- kekuasaan lokal seperti Kraton Sambas, Kesultanan Kutai, Kesultanan Goa, Kesultanan Deli, Kesultanan Pulau Penyengat, Kesultanan Siak, Kesultanan Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Pare Pare, Kesultanan Solo, Kesultanan Almahera, Kesultanan Bima, Kesultanan Mataram, Kesultanan Sumenep, dll. Pada dasarnya tidak saling mengenal, dipisahkan dengan budaya dan sejarah. Lebih awal dari masa itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kejaraan Majapahit di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini tidak benar-benar memiliki pengaruh secara politik dan meliter di kawasan ini, meski ada diakui oleh atau didaulat oleh kerajaan – kerajaan kecil lainnya. Nama Indonesia baru dipakai atau diproklamirkan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah, yang diwakili oleh Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon, dll menyatakan sebagai Indonesia sebagai Bangsa, Indonesia sebagai Bahasa, Indonesia sebagai Persatuan, yaitu dengan Sumpah Pemuda-nya. Proses terbentuknya rasa kebangsaan itu lebih pada nasib sepenangungan, sama – sama mendapatkan deraan penjajah kulit putih. Mengutip diskripsi tumbuhnya suatu paham kebangsaan, Ernest Renan mangatakan dalam bukunya, Apakah Bangsa ?, sebagai keinginan untuk hidup bersama. Faktor perasaanlah membuat sebuah bangsa dan negara terbentuk. Buku kecil ini diterjemahkan oleh Prof. Sunaryo.
Tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta
BAHWA, YOGYAKARTA TIDAK SENDIRI MENEGAKKAN RI INI
Suatu kawasan kepulauan (archipilago) yang tidak bernama dan tidak memiliki kekuasaan tunggal, membentang dari barat ke timur dari ujung pulau Sumatera dan ekor Pulau Papua. Dari kepulauan utara Philipina sampai ke selatan Pulau Jawa. Pada masanya hanya ada kekuasaan- kekuasaan lokal seperti Kraton Sambas, Kesultanan Kutai, Kesultanan Goa, Kesultanan Deli, Kesultanan Pulau Penyengat, Kesultanan Siak, Kesultanan Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Pare Pare, Kesultanan Solo, Kesultanan Almahera, Kesultanan Bima, Kesultanan Mataram, Kesultanan Sumenep, dll. Pada dasarnya tidak saling mengenal, dipisahkan dengan budaya dan sejarah. Lebih awal dari masa itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kejaraan Majapahit di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini tidak benar-benar memiliki pengaruh secara politik dan meliter di kawasan ini, meski ada diakui oleh atau didaulat oleh kerajaan – kerajaan kecil lainnya. Nama Indonesia baru dipakai atau diproklamirkan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah, yang diwakili oleh Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon, dll menyatakan sebagai Indonesia sebagai Bangsa, Indonesia sebagai Bahasa, Indonesia sebagai Persatuan, yaitu dengan Sumpah Pemuda-nya. Proses terbentuknya rasa kebangsaan itu lebih pada nasib sepenangungan, sama – sama mendapatkan deraan penjajah kulit putih. Mengutip diskripsi tumbuhnya suatu paham kebangsaan, Ernest Renan mangatakan dalam bukunya, Apakah Bangsa ?, sebagai keinginan untuk hidup bersama. Faktor perasaanlah membuat sebuah bangsa dan negara terbentuk. Buku kecil ini diterjemahkan oleh Prof. Sunaryo.
Monday, January 24, 2011
Saturday, January 15, 2011
Sunday, January 09, 2011
Novel Bagian XI,Bagian 2
Hari-Hari Terakhir, Bab 2
Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Tuesday, December 28, 2010
Novel Bagian XI,Bagian 1
Hari-Hari Terakhir, Bagian XI
Bab I
Bab I
KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang Mudiak).
Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama. Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula.
Saturday, December 25, 2010
Kuliner : Warung Anglo
Rumah Makan Warung Anglo,
Warung Desa ada di Kota
Suatu siang, Cantigi diajak makan oleh Seno M. Hardjo, seorang pengamat musik dan Pengurus AMI (Anugrah Musik Indonesia) yang juga sebagai calot kuat Ketua AMI untuk menggantikan Tantowi Yahya. Saya diajak ke Rumah Makan Warung Anglo.
Rumah Makan Warung Anglo berada di Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Makanan yang dihidangkan khas makanan Jawa - yang sebetulnya adalah makanan sehari-hari buatan rumahan. Memang serba tradisionil, benar-benar ala kampung. Jika berjalan-jalan di kota-kota kecil di Jawa Tengah, tidak akan susah menemukan warung makan macam ini.
Menunya, ya, sederhana. Seperti sayur-sayuran oseng, pepes ikan, pepes ayam, ayam goreng, tempe goreng, tempe bacem, tahu goreng, tahu bacem, gading gepuk dan makanan umum lainnya. Api kecil anglo, memanaskan sayur-sayuran berkuah dan sop. Minuman olahannya pun bisa kita temui di pinggir jalan, macam es jeruk, es kopyor, es kelapa muda, juice tomat, juice alpokat, dan sebagainya.
Bagaimana rasa makanannya ? Sebagaimana makanan rumah, kira begitulah rasanya – yang sangat umum.
Ketika memasuki Warung Anglo ini, saya sibuk sendiri menilik-nilik meja, bangku, kursi, tiang, langit-langit, lampu, hiasan dinding, posisi AC, mejak menu, jam antik, lantai, tangga, jendela dan pintu. Saya lupa makan karena keasyikan memotret semua properti yang ada disana dan termasuk ubin. Saya barangkali subyektif, karena saya termasuk penggemar properti antik – yang beberapa macam saya miliki di rumah sendiri, seperti meja makan shet, sketsel tua, lemari tua, rak tua, jam tua, dan beberapa lainnya.
Pemilik Warung Anglo, Ibu Yunita, benar – benar telah memikirkan dengan cermat setiap komponen masa lalu untuk disandingkan di restaurant ini. Rumah makan yang baru berjalan 2 tahun ini, meski kesan ketuaannya bisa ditemui di Yogyakarta atau di Solo, misalnya, namun kini adanya di kawasan elit Jakarta.
Makan, bukan sekedar perut kenyang. Makan di Warteg sudah cukuplah untuk mengisi lambung. Makanan sebagai sebuah wisata atau mencari kesenangan, mungkin pula dalam bentukan gaya hidup metropolis. Untuk mencapai nilai-nilai tambahan dari sebuah rutinitas makan, makan perlu diimbuhkan dengan gaya dan suasana sehingga rumah makan sebagai menjadi sebuah konsep.
Konsep yang diwujudkan, makan berubah menjadi ritual yang menyenangkan. Perut kenyang, batin terhibur pula. Inilah konsep-konsep rumah makan dan kedai yang kini sedang berkembang di Jakarta dan kota-kota besar lainnya macam Bandung dan Surabaya. Kuliner sudah menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan.
Nah, foto-foto yang Cantigi sajikan ini, dijepret dengan camera Canon G11. Pengambilannya manual, karena saya tidak hendak didikte oleh kepintaran camera. Saya memang didikte, tapi oleh suasana dan keadaan di dalam restauran itu. Saya pilih ASA 100 dan 80 untuk mendapatkan butiran halus. Foto-foto yang termuat ini, tidak terkena sentuhan editing, kecuali pengecilan ukurannya saja. (Rizal Bustami)
Friday, December 24, 2010
PUISI
Gerobakku
Aku tarik-tarik gerobakku
Di jalan-jalan yang lapang dan rindang
Sepi, sesekali manusia berlalu
Diantara rumah – rumah besar yang berpenjaga
Berharap aku jika-jika pemilik rumah membuang barang-barang yang tak berguna baginya bermanfaat bagiku
Disuatu pojok Jalan Sriwijaya Jakarta, aku menumpang berteduh kepada daun-daun
Aku terbangun aku dapati badanku tertekuk di gerobakku
Terlelap aku di gerobakku
Terimakasih kepada daun-daun yang memberi tempat berteduh bagiku
Rizal Bustami, Desember 2010, Cibodas
Aku tarik-tarik gerobakku
Di jalan-jalan yang lapang dan rindang
Sepi, sesekali manusia berlalu
Diantara rumah – rumah besar yang berpenjaga
Berharap aku jika-jika pemilik rumah membuang barang-barang yang tak berguna baginya bermanfaat bagiku
Disuatu pojok Jalan Sriwijaya Jakarta, aku menumpang berteduh kepada daun-daun
Aku terbangun aku dapati badanku tertekuk di gerobakku
Terlelap aku di gerobakku
Terimakasih kepada daun-daun yang memberi tempat berteduh bagiku
Rizal Bustami, Desember 2010, Cibodas
Tuesday, December 14, 2010
Sepeda Murah, Sepeda Mahal, Sama Saja...
Foto Unduh |
Sepeda Mahal, Lebih Berguna atau Tidak ?
Selasa, 14 Desember 2010 10:57 WIB
Jakarta (ANTARA News)
Selasa, 14 Desember 2010 10:57 WIB
Jakarta (ANTARA News)
Sepeda super ringan yang mahal ternyata tidak membuat anda lebih cepat sampai ke tujuan. Itu kata seorang dokter seperti dikutip Telegraph.
Dokter Jeremy Groves dalam studinya yang dimuat British Medical Journal, mendapati bahwa sepeda mahal ternyata tidak bisa mengalahkan kemampuan sepeda yang lebih berat dan lebih tua.
Groves, dokter anestesi di Chesterfield, Inggris, hampir setiap hari mengendarai sepeda ke tempat kerjanya. Dia punya dua sepeda; satu seberat 13,5 kg yang dibeli seharga 50 pound (sekitar Rp800 ribu) dan sepeda rangka karbon seharga seribu pound (sekitar Rp16 juta) yang beratnya 9,5 kg.
Sepeda muda dan tua selu jalan bersama |
Awalnya Groves membeli sepeda baru karena menyangka dia akan tiba di tempat kerja lebih cepat karena sepedanya lebih ringan. Ternyata, setelah enam bulan pengukuran secara random, dia menyadari hal itu tak terjadi.
"Sepeda baruku terlihat indah tapi mungkin tak nyaman. Aku tak melihat penurunan dramatis dari waktu tempuhku, begitu juga komputer yang kupasang di sepeda, tak mencatat perubahan besar waktu tempuh. "
"Pada suatu pagi yang cerah, saya bersepeda 43 menit ke tempat kerja, dan itu adalah waktu tercepat. Sepeda lama sudah berdebu di garasi, besoknya saya gunakan sepeda lama itu. Ternyata bisa sampai ke tujuan dalam 44 menit. Kupikir, apakah perbedaan satu menit itu harganya sampai 950 pound? atau cuma kebetulan?," kata Groves.
"Sepeda baruku terlihat indah tapi mungkin tak nyaman. Aku tak melihat penurunan dramatis dari waktu tempuhku, begitu juga komputer yang kupasang di sepeda, tak mencatat perubahan besar waktu tempuh. "
"Pada suatu pagi yang cerah, saya bersepeda 43 menit ke tempat kerja, dan itu adalah waktu tercepat. Sepeda lama sudah berdebu di garasi, besoknya saya gunakan sepeda lama itu. Ternyata bisa sampai ke tujuan dalam 44 menit. Kupikir, apakah perbedaan satu menit itu harganya sampai 950 pound? atau cuma kebetulan?," kata Groves.
Sama Specialized, keluaran tahun 2009 dan 1996 |
Saat melakukan penelitian itu, Groves menggunakan komputer pengukur waktu dan jarak yang dipasang di sepeda serta satu koin yang dilempar untuk menentukan sepeda mana yang hari itu akan dia pakai ke tempat kerja. Penelitian berjalan selama enam bulan.
Foto Unduh |
Jarak yang dia tempuh dari rumah ke kantor adalah 43,5 km. Berdasarkan data yang dia kumpulkan, selisih rata-rata waktu tempuh antara sepeda lama dan baru cuma 30 detik. Top speed 36 mil per jam adalah sama untuk dua sepeda tersebut.
"Berdasarkan temuan ini, jadi kenapa kita beli sepeda 'performances' ?," tanya dia
"Membeli sepeda karbon membuat perasaan kita enak, meskipun sepedanya kurang nyaman dikendarai. Saya masih pakai sepeda baru itu karena kelihatannya remnya lebih bagus."
"Berdasarkan temuan ini, jadi kenapa kita beli sepeda 'performances' ?," tanya dia
"Membeli sepeda karbon membuat perasaan kita enak, meskipun sepedanya kurang nyaman dikendarai. Saya masih pakai sepeda baru itu karena kelihatannya remnya lebih bagus."
Macam - macam sepeda |
"Yang mana yang paling enak dikendarai? menurut saya yang sepeda baja. Lebih cepat, lebih nyaman, harganya lebih ringan di kantong dan punya 'karakter'," kata Groves.
"Kalau sepeda karbonku dicuri akankah saya membelinya lagi? sepertinya tidak. Lebih baik uangnya saya gunakan untuk lampu dan baju sepeda yang lebih bagus."
"Kalau sepeda karbonku dicuri akankah saya membelinya lagi? sepertinya tidak. Lebih baik uangnya saya gunakan untuk lampu dan baju sepeda yang lebih bagus."
Foto Unduh |
Kesimpulan Groves adalah " 30 persen pengurangan berat sepeda tak berarti mengurangi waktu tempuh dari jarak 43,5 km. Sepeda ringan dan baru mungkin menarik untuk dilirik. Tapi, jika digunakan untuk pergi-pulang kerja, lebih bermanfaat jika berat badan penggunanya yang dikurangi daripada membeli sepeda yang lebih ringan."
(A038/A038/BRT) COPYRIGHT © 2010
(Artikel ini diunduh dari LKBN Antara/Rizal Bustami)
(A038/A038/BRT) COPYRIGHT © 2010
(Artikel ini diunduh dari LKBN Antara/Rizal Bustami)
Di Ranca Upas |
Sunday, November 28, 2010
NOVEL Bagian X
Catatan Usang Seorang Juru Tulis
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian
GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara.
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian
GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja, hanyut tidak terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara.
Friday, November 19, 2010
Novel Bagian IX (Bagian2)
Tangsi di Padang |
Catatan Usang Seorang Juru Tulis
Rahasia sebuah Surat Rahasia (Bagain 2)
Masih dalam wajah menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbunga-bunga itu. Adalah pula sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga oleh si Juru Tulis melihat rungut sang kekasihnya itu.
“Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana mereka.
“Apakah Kanda juga ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka Mukmin itu ?”
“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam buku catatan penting saya ini.”
“Kapan Kanda memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ?”
“Sekarang pun bisa, Maryam.” Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani membukanya karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan.
“Maryam perlu tau isi surat itu, karena dia adalah salah satu kekuatan kita dalam mengkampanyekan tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini,” kata Inyiak Manan kepadaku setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta musyawarah membubarkan diri.
“Sekarang kamu dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari Tuan Ge-Ge yang bersemayam di Batawi itu kepada Gubernur Militer ‘Sumatera Barat’ di Padang.
‘Batavia, Tanggal 17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS.”
“Tunggu dulu, Kanda. Apa artinya SRHS itu, Kanda?,” sela Maryam.
“SRHS adalah singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya.”
“Prinsip campur tangan dalam urusan rakyat dalam ‘nagari’ harus tunduk pada tujuan akhir kita di Minangkabau, yakni mengukuhkan kedudukan kita di sana. Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut lebih baik kita tidak campuri pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik sekali jika para penghulu di berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh lebih besar dari kita dan dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan kita selanjutnya. Rakyat harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan disamping itu pemerintahan berpemimpin ‘satu’, dan harus didirikan pula sebuah ‘aristokrasi’ yang terkait pada kita untuk mengganti ‘demokrasi-nya’.”
Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat, mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.
Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.
Lain halnya sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih seimbang, penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan petani bebas menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin harga minimum, sesuai dengan bunyi pasal dalam Palakat Panjang – Van den Bosch Tahun 1833.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
LAPORAN PERJALANAN : Apa saja di Baduy ? Wisata Budaya dan Wisata Alam tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Sepanjang...
-
Saya baru-baru ini saja bisa mengendarai sepeda motor dalam arti sesungguhnya. Dengan kata lain, status pemula. Namun, dalam hitungan bulan,...