Pengantar
Siapapun di Nusantara ini bila melihat gonjong Jam Gadang di televisi, maka semua pemirsa pasti akan menangkap pesan yang sangat jelas, itu adalah Sumatera Barat. Jadi Jam Gadang bukanlah sekedar land mark dari kota Bukiktinggi (kami tidak menggunakan kata “Bukittinggi”) tapi merupakan ciri khas Sumatera Barat, ciri visual yang menjadi milik dan kebanggaan khalayak Minang.
Kekaguman pemirsa atau masyarakat di luar Sumatera Barat tidak saja hanya karena Jam Gadang tapi juga karena lansekap Kota Bukiktinggi yang begitu memikat, Ngarai Sianok yang spektakuler dan tiga gunung yang indah, Marapi, Sago dan Singgalang. Hampir semua pendatang mengatakan, bila belum ke Bukiktinggi itu artinya belum ke Sumatera Barat. Disinilah orang bisa menikmati lansekap kota yang cantik sambil mencicipi berbagai penganan dan nasi kapau yang lezat ditingkah semilir angin berhawa pegunungan. Tentunya kita tidak mengabaikan keindahan Lembah Anai, danau Maninjau dan Singkarak, Lembah Arau, kelezatan Sate Mak Syukur ataupun keagungan Istana Pagaruyuang.
Pertengahan tahun 2009 terjadi kekacauan di Sinkiang (Xinkiang), sebuah perovinsi di China bagian utara. Meliter China harus melepaskan tembakan, sehingga korban nyawa berjatuhan dipihak warga Sinkiang. Tapi ini cerita lama yang terulang, karena perseteruan yang sudah berlangsung berabad-abad. Artikel dengan title “Islam di China” ini, akan dimuat secara bersambung dengan tujuan agar kaum Muslim Indonesia dan masyarakat Tionghoa mendapatkan suatu asupan sejarah, bahwa Muslim di China berperan penting dalam tata kehidupan sosial, kebudayaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, melitar dan politik. Artikel ini merupakan saduran dari buku “Islam di Tiongkok”, karangan M.Rafiq Khan, diterbitkan oleh Nasional Academy New Delhi. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Sulaimnsjah dengan Penerbit Tinta Mas tahun 1967. Buku ini disusun ditengah-tengah pergolakan di China, masa awal Komunis mengambil kekuasaan dari Kaum Nasionalis. Dan, sumber-sumber yang dipakai, naskah aktual pada masa itu.
Provinsi Sinkiang juga dikenal sebagai Turkistan Tiongkok, akan tetapi penduduk daerah ini bahkan sampai sekarang memilih nama yang sangat mereka sukai “Turkistan Timur”. Ini yang membedakan dengan Turkistan Rusia, yang terletak disebelah barat. Sinkiang adalah nama yang diberikan oleh orang-orang China, dan unsur Nasionals.
Pertengahan tahun 2009 terjadi kekacauan di Sinkiang (Xinkiang), sebuah perovinsi di China bagian utara. Meliter China harus melepaskan tembakan, sehingga korban nyawa berjatuhan dipihak warga Sinkiang. Tapi ini cerita lama yang terulang, karena perseteruan yang sudah berlangsung berabad-abad. Artikel dengan title “Islam di China” ini, akan dimuat secara bersambung dengan tujuan agar kaum Muslim Indonesia dan masyarakat Tionghoa mendapatkan suatu asupan sejarah, bahwa Muslim di China berperan penting dalam tata kehidupan sosial, kebudayaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, melitar dan politik. Artikel ini merupakan saduran dari buku “Islam di Tiongkok”, karangan M.Rafiq Khan, diterbitkan oleh Nasional Academy New Delhi. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Sulaimnsjah dengan Penerbit Tinta Mas tahun 1967. Buku ini disusun ditengah-tengah pergolakan di China, masa awal Komunis mengambil kekuasaan dari Kaum Nasionalis. Dan, sumber-sumber yang dipakai, naskah aktual pada masa itu.
Sejarah perlawanan terhadap komunis di daratan Tiongkok penuh dengan pahlawan-pahlawan, baik dari kalangan Islam maupun non Muslim. Para pemberani tersebut mengorganisir perlawanan dalam keadaan yang amat sukar sekalipun. Kaum Muslim di Kansu, Sinkiang dan Yunnan melancarkan pemberontakan yang terus-menerus, meski kekurangan senjata dan amunisi. Kaum Muslim menghadapi dua kekuatan sekaligus, kaum komunis China dan komunis Soviet. Jadilah kaum Muslim Tiongkok, jadi “pelanduk” menghadapi dua gajah yang bahu-membahu. Kaum Muslim Tiongkok, jadi musuh bersama kedua komunis tersebut.
Meski berhadapan dengan dua kekuatan raksasa dengan peralatan dan senjata canggih, api perjuangan untuk kemerdekaan tak pernah padam. Selalu muncul tokoh-tokoh dan pejuang-pejuang kemerdekaan Muslim di Tiongkok. Inilah mereka itu....
Oleh : Rizal Bustami Pengantar :Pertengahan tahun 2009 terjadi kekacauan di Sinkiang (Xinkiang), sebuah perovinsi di China bagian utara. Meliter China harus melepaskan tembakan, sehingga korban nyawa berjatuhan dipihak warga Sinkiang. Tapi ini cerita lama yang terulang, karena perseteruan yang sudah berlangsung berabad-abad.Artikel dengan title “Islam di China” ini, akan dimuat secara bersambung dengan tujuan agar kaum Muslim Indonesia dan masyarakat Tionghoa mendapatkan suatu asupan sejarah, bahwa Muslim di China berperan penting dalam tata kehidupan sosial, kebudayaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, melitar dan politik. Artikel ini merupakan saduran dari buku “Islam di Tiongkok”, karangan M.Rafiq Khan, diterbitkan oleh Nasional Academy New Delhi. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Sulaimnsjah dengan penerbit Tinta Mas tahun 1967. Buku ini disusun ditengah-tengah pergolakan di China, masa awal Komunis mengambil kekuasaan dari Kaum Nasionalis. Dan, sumber-sumber yang dipakai, naskah aktual pada masa itu.
Partai Komunis China didirikan tahun 1918. Kongres pertama Partai Komunis Tiongkok (PKT), dilaksanakan 1 Juli 1921. Dilaporkan dari hasil kongres tersebut, “…. Telah diputuskan untuk mempergunakan pengalaman-pengalaman Partai Bolshevik Rusia … Pada umumnya harus diambil suatu sikap yang kritis terhadap ajaran Sun Yat Sen, akan tetapi pelbagai aksi yang praktis dan progresif akan disokong dengan membentuk kolaborasi non partai.”
Tentara Merah di bawah Mao, melancarkan peperangan terhadap kaum Nasionalis yang memerintah, setelah berhasil menggulingkan Dinasty Ming. Pemerintahan Nasionalis banyak mendatangkan kerugian bagi kaum komunis, sehingga memaksa mereka melakukan apa yang disebut “Longmarch” sepanjang 6000 mil. Pada tahun 1935, mereka berhasil mencapai Shensi, dan menyusun kekuatan disini.
Pada tahun 1935, kekuatan meliter Kaum Nasionalis terbelah dua. Satu sisi berperang melawan penjajah Jepang, dipihak lain diperangi oleh kaum komunis, sehingga tidak mampu mengatasi kekuatan komunis di Shensi.
Selama peperangan dengan Jepang antara 1937 sampai 1945, PKT banyak meraih kemenangan atas Pemerintahan Nasionalis. Sebetulnya gerakan meliternya lebih ditujukan untuk mengalahkan Pemerintah daripada berperang terhadap Jepang. Bekerjasama dengan tentara Uni Soviet, pasukan komunis memasuki Manchuria setelah Jepang menyerah. Rusia memberi mereka senjata dan amunisi dalam jumlah banyak. Sempurnalah kemenangan komunis di Tiongkok.
Islam di China, Bagian II PROFIL ISLAM CHINA Oleh : Rizal Bustami
Pengantar : Pertengahan tahun 2009 terjadi kekacauan di Sinkiang (Xinkiang), sebuah perovinsi di China bagian utara. Meliter China harus melepaskan tembakan, sehingga korban nyawa berjatuhan dipihak warga Sinkiang. Tapi ini cerita lama yang terulang, karena perseteruan yang sudah berlangsung berabad-abad. Artikel dengan title “Islam di China” ini, akan dimuat secara bersambung dengan tujuan agar kaum Muslim Indonesia dan masyarakat Tionghoa mendapatkan suatu asupan sejarah, bahwa Muslim di China berperan penting dalam tata kehidupan sosial, kebudayaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, melitar dan politik. Artikel ini merupakan saduran dari buku “Islam di Tiongkok”, karangan M.Rafiq Khan, diterbitkan oleh Nasional Academy New Delhi. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Sulaimnsjah dengan Penerbit Tinta Mas tahun 1967. Buku ini disusun ditengah-tengah pergolakan di China, masa awal Komunis mengambil kekuasaan dari Kaum Nasionalis. Dan, sumber-sumber yang dipakai, naskah aktual pada masa itu.
Sejak zaman kekaiseran, Pemerintahan Nasionalis dan sampai ke kekuasaan Komunis, tidak ada usaha sistimatis untuk mendata jumlah orang Muslim di China. Namun, ada usaha-usaha dari pihak kaum Muslim sendiri dan diplomat untuk mencatat jumlah orang Muslim di China sampai awal abad 20. Misalnya catatan M.de Thiersant, seorang Konsul Jenderal Perancis di Tiongkok, selama 8 tahun melakukan penyelidikan terhadap kuam Muslim. Tahun 1878 ia melaporkan, jumlah penduduk Muslim di Tiongkok sebanyak 20.000.000 jiwa.
Marshal Broomhall, seorang missionaries Kristen tahun 1910, membuat laporan, jumlah kaum Muslim di Tiongkok sekitar 10.000.000 jiwa. Ia menulis, “…. Penulis, setelah mempertimbangkan dengan seksama, berdasarkan sejumlah korespondensi, cenderung berpendapat kepada jumlah yang tertinggi daripada yang terendah.” The Encyclopaedia of Mission memberikan jumlah 30.000.000 jiwa.
Bahruddin Chini, dalam laporannya menyebutkan, umat Muslim di China tahun 1935 sejumlah 39.918.000.000 jiwa.
Lelaki Muslim di Sinkiang, Kansu dan Yunan, umumnya melakukan poligami yang luas. Lelaki Muslim di kawasan ini juga melakukan perkawinan dengan perempuan Han. Keadaan ini sebagai faktor lain jumlah umat Muslim yang jauh lebih besar dari angka-angka resmi karena keluarga Muslim rata – rata berjumlah lebih besar dibandingkan dengan kaum Han.
Selama 10 abad Islam di Tiongkok, yaitu sejak abad ke 7 sampai abad ke 17, tidak ada kejadian yang dapat dicatat sebagai perselisihan baik di kalangan Muslim sendiri, maupun dengan penduduk lainnya.
Pertengahan tahun 2009 terjadi kekacauan di Sinkiang (Xinkiang), sebuah perovinsi di China bagian utara. Meliter China harus melepaskan tembakan, sehingga korban nyawa berjatuhan dipihak warga Sinkiang. Tapi ini cerita lama yang terulang, karena perseteruan yang sudah berlangsung berabad-abad.
Artikel dengan title “Islam di China” ini, akan dimuat secara bersambung dengan tujuan agar kaum Muslim Indonesia dan masyarakat Tionghoa mendapatkan suatu asupan sejarah, bahwa Muslim di China berperan penting dalam tata kehidupan sosial, kebudayaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, melitar dan politik. Artikel ini merupakan saduran dari buku “Islam di Tiongkok”, karangan M.Rafiq Khan, diterbitkan oleh NasionalAcademyNew Delhi. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Sulaimnsjah dengan Penerbit Tinta Mas tahun 1967. Buku ini disusun ditengah-tengah pergolakan di China, masa awal komunis mengambil kekuasaan dari kaum Nasionalis. Dan, sumber-sumber yang dipakai, merupakan naskah aktual pada masa itu.
Hampir 90 tahun usianya. Tinggal sendiri di sebuah pulau yang kerap didatangi “penyamun ikan” dari Thailand. La Hanni, satu-satunya manusia Indonesia di pulau terluar Indonesia itu.
Dua malam lamanya di Ciptagelar, kami melanjutkan perjalanan ke Parung Kuda setelah berpamitan kepada Ibu Sepuh. Sebelum meninggalkan Ciptagelar, Ibu Sepuh (istri almarhum Abah Anom), memberi kami sarapan. “Makan dulu. Di jalan nggak ada rumah. Kalo perlu bawa bekal makanan untuk di jalan,” kata Ibu Sepuh.
Tak kami lewatkan pula berpamitan dengan para sesepuh dan ibu – ibu dapur.
Rute Parung Kuda, melewati makam Abah Anom. Sekalian saja kami berziarah ke makam tokoh spiritual masyarakat Kesepuhan Banten Selatan itu.
Track ini adalah jalan inspeksi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Oleh warga Ciptagelar dan masyarakat di Kebandungan, dijadikan jalan pintas tradisionil. Jalan ini sebetulnya seukuran kendaraan roda empat. Namun, karena tidak pernah dirawat, jalan makin mengecil. Di banyak bagian jalan tinggal setapak, yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Bahkan, beberapa jalan telah berubah menjadi saluran air saat hujan. Oleh pengemar off road roda empat, jalan tersebut pernah dijadikan sebagai ajang aksi. Tapi sekarang, sudah tidak bisa lagi dilalui oleh kendaraan roda empat. Ada baiknya jalan tersebut tidak diperbaiki, agar tidak menjadi lalu lintas umum sehingga menggangu ketenangan alam disana.
Melintasi taman nasional dari sisi barat ke sisi timur, melewati lima punggungan. Di sepanjang jalan penuh dengan pepohonan tua yang membuat kanopi. Beberapa pohon tumbang, melintang di jalan. Beberapa kali kami bertemu dengan penduduk, dan kami berjalan bersama-sama.
Melalui track ini makanan harus dibawa. Untuk minum, jangan kawatir, banyak kali kecil dengan air jernih mengalir.
Sebaiknya memakai sepatu tracking dan gaiter. Dengan memakai sepatu gunung, selain untuk melindungi kaki, juga untuk memperkuat kuda-kuda. Gaiter akan melindungi kaki dari benturan batu dan tusukan ranting. Helm wajib dipakai, untuk menghindari tusukan ranting semak-semak.
Sepeda benar-benar sempurna, bawa keperluan part cadangan. Kesehatan harus prima, karena jauh dari bantuan penduduk.
Setelah melewati hutan, akan terpampang hamparan lembah kearah Kebandungan. Dusun Pemumpeuk adalah perkampungan pertama yang dijumpai. Nantinya akan bertemu Persimpangan Cipeuteu. Ke kiri Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan ke kanan Kebandungan, terus ke Parung Kuda. Jalan menuju Parung Kuda turun naik. Penanjakannya cukup tajam.
Ini track sempurna untuk mountain bike. The real mountain bike, inilah medannya. Cobalah !
Artikel ini bagian pertama dari dua tulisan. Bagian pertama tentang perjalanan sepeda dari Pelabuhan Ratu ke Ciptagelar. Bagian kedua perjalanan dari Ciptagelar ke Parung Kuda.
Banyak jalan menuju Ciptagelar, tapi ada dua yang nyaman dilalui, yaitu dari Pelabuhan Ratu atau dari Cisolok. Dua jalur lainnya, yaitu melalui Parung Kuda – Kebandungan dan dari Perkebunan Teh Nirmala. Dua jalur terakhir ini, full off road. Track Ciptagelar – Kebandungan kami lalui sebagai jalan pulang.
Jika melalui Cisolok, terlalu jauh. Sedangkan dari Sukayana, Pelabuhan Ratu jarak lebih pendek. Meski pendek, hanya 31 km, cukup memakan waktu ke Ciptagelar. Kami mengambil rute lewat Sukayana.
Saya, Juned, Ombing, Ferdi, Mbe, dan Boby mulai menggowes sepeda gunung mulai jam 06.00, dari Simpang Sukayana setelah bermalam di warung Umi.
Saya tidak akan bercerita banyak tentang perjalanan ke Ciptagelar, karena melalui jalan umum. Dalam artikel ini, saya sedikit memberikan tips atau masukan.
Sebaiknya bermalam di Pelabuhan Ratu, perjalanan dimulai keesokan paginya. Gunanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang baik. Perjalanan terasa melelahkan, karena jarang pepohonan. Jalan beraspal hanya sampai di Dusun Pangguyang, selebihnya ke Ciptarasa jalan berbatu.
Sampai di Ciptarasa, pasti sore, sebaiknya bermalam karena perjalanan ke Ciptagelar lebih berat. Selain untuk beristrihat, waktu di Ciptasara biasa digunakan untuk mengenali kehidupan kampung halaman Abah Anon, almarhum.
Perjalanan ke Ciptagelar, sejauh 10 km. Jalan ini bisa dilalui kendaraan kelas niaga (Kijang, Panther, Taft, Jimmy), atau sekelas dan sepeda motor biasa. Jalan berbatu dan mendaki. Meski mendaki, tapi teduh karena berada di tengah-tengah hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Disepanjang jalan, terdapat 10 sawung yang dapat digunakan untuk istirahat. Antara Ciptarasa – Ciptagelar, tidak akan ditemukan lagi perkampungan atau rumah penduduk. Jangan kawatir kehausan, di beberapa sawung terdapat sumber air bersih. Makanan bekal di jalan sebaiknya dibawa.
Selamat menikamati perjalanan mountain bike ini, dan rasakan keramahan masyarakat di sepanjang jalan, terutama di Ciptarasa dan Ciptagelar.