Monday, March 14, 2011

Gempa Jepang

Foto : Kompas epaper


CANTIGI PEACE MENYAMPAIKAN SIMPATI DAN TURUT BERDUKA ATAS GEMPA DAN TSUNAMI YANG TERJADI DI JEPANG PADA JUMAT, 12 MARET 2011. SEMOGA RAKYAT JEPANG DAN PARA KORBAN DIBERI KEKUATAN DAN KETABAHAN. (Rizal Bustami)

Saturday, March 05, 2011

Novel : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bag.XII)


Briefing

TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda.

Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi.

Tuesday, February 22, 2011

Kuliner Jakarta



SATE KAMBING H.MARDOPI
Asam Reges
H.Mardopi (foto: Cantigi)
Asem Reges di Sawah Besar, Jakarta Pusat dikenal sebagai pusat penyedia onderdil kendaraan dan mesin, baik baru maupun bekas.

Disini juga menyediakan keperluan pernak-pernik kendaraan. Bagi pemilik kendaraan lawas, disinilah tempatnya untuk mencari onderdil dan perbaikan atau modifikasi.


Satu lagi yang amat terkenal di sini adalah service carburator. Banyak penyedia layanan service carburator di Asem Reges, namun satu yang kondang, yaitu service carburator Taut di Gang Taman Sari V. Gang Taman Sari V ini juga dikenal dengan nama generiknya Gang Taut.


Tapi, ada satu lagi yang dikenal luas di kawasan ini, tapi tidak dikenal umum, yaitu Sate Kambing H. Mardopi. Berikut laporan Cantigi Peace untuk para pecinta kuliner.

Sate H. Mardopi hanyalah sate yang dijajakan dengan gerobak. Lokasinya pas diujung Gang Taman Sari V, disamping Pasar Inpres Asem Reges. H. Mardopi bersama istrinya, Ny. Dian, sudah berjualan sate sejak tahun 60-an. Ayah 4 anak dan 1 anak angkat ini, masih setia melayani pelanggan yang dibantu oleh istrinya.

Sate khas Betawi ini, dilengkapi dengan sup. Suatu yang unik pada sate Betawi adalah, hidangan sate dilengkapi dengan kuah sop. Kuh sop tersebut gratis. Bisa juga memesan sop komplit dengan daging dan rebusan tulangnya. Tetapi, bagi yang paham, mereka hanya pesan kuahnya saja.
Kelebihan dari Sate H. Mardopi adalah kwalitas membakarnya. Bakaran daging kambing tidak sampai membara atau menyisakan arang. Daging tetap kelihatan merah dan segar, namun matang bakar.

H. Mardopi dan Ny.Dian yang hampir sepuh, sate khas Betawi yang berbumbu kacang dan bumbu kecap ini jangan sampai hilang di pasaran. Umum terjadi, bahwa rumah makan tidak bergenerasi karena anak-anak pemilik tidak tertarik meneruskan usaha yang dirintis oleh orangtuanya. Ketika ditanyakan kepada Ny.Dian, siapa nenatinya akan meneruskan dagang sate ini ? “Ada tuh, si gadis. Dia doang tuh yang mau bantu-bantu jualan,” terang Ny.Dian mengenai anak gadisnya.

Dengan pengeluaran tidak sampai 10.000 rupiah, sudah dapat menikmati sate klasik Jakarta, meski diperlukan perjuaangan ke Asem Reges. Namun, inilah salah satu aset kuliner Jakarta. Selamat menikmati... ! (Rizal Bustami)



Peta : navigasi.net








Sunday, February 20, 2011

NOVEL : Catatan Usang Seorang Juru Tulis (Bagian XII)

Biadab

SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3 Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’ menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red: Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di Minngkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz.

Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjangdiumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda.

“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau.”

“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda moncoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.

Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud  terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor.  Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju  tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.

Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan
kawannya. Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. eesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng –  Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang  yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak.

Sesudah menduduki Bonjol,  tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah  basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.” 
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku bertanya.
“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.

Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman ‘marsose’ – si Belanda Hitam – atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang lautan itu.

Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya.

Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah, penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan pajak, ‘pungutan langsung’-nya.
(bersambung)

Wednesday, January 26, 2011

RUU Keistimewaan Yogyakarta


Catatan Rizal Bustami
Tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta
BAHWA, YOGYAKARTA TIDAK SENDIRI MENEGAKKAN RI INI


Suatu kawasan kepulauan (archipilago) yang tidak bernama dan tidak memiliki kekuasaan tunggal, membentang dari barat ke timur dari ujung pulau Sumatera dan ekor Pulau Papua. Dari kepulauan utara Philipina sampai ke selatan Pulau Jawa. Pada masanya hanya ada kekuasaan- kekuasaan lokal seperti  Kraton Sambas, Kesultanan Kutai, Kesultanan Goa, Kesultanan Deli, Kesultanan Pulau Penyengat, Kesultanan Siak, Kesultanan Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Pare Pare, Kesultanan Solo, Kesultanan Almahera, Kesultanan Bima, Kesultanan Mataram, Kesultanan Sumenep, dll. Pada dasarnya tidak saling mengenal, dipisahkan dengan budaya dan sejarah. Lebih awal dari masa itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kejaraan Majapahit di Pulau Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kedua kerajaan besar ini tidak benar-benar memiliki pengaruh secara politik dan meliter di kawasan ini, meski ada diakui oleh atau didaulat oleh kerajaan – kerajaan kecil lainnya. Nama Indonesia baru dipakai atau diproklamirkan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai daerah, yang diwakili oleh Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon, dll menyatakan sebagai Indonesia sebagai Bangsa, Indonesia sebagai Bahasa, Indonesia sebagai Persatuan, yaitu dengan Sumpah Pemuda-nya. Proses terbentuknya rasa kebangsaan itu lebih pada nasib sepenangungan, sama – sama mendapatkan deraan penjajah kulit putih. Mengutip diskripsi tumbuhnya suatu paham kebangsaan, Ernest Renan mangatakan dalam bukunya, Apakah Bangsa ?, sebagai keinginan untuk hidup bersama. Faktor perasaanlah membuat sebuah bangsa dan negara terbentuk. Buku kecil ini diterjemahkan oleh Prof. Sunaryo.

Sunday, January 09, 2011

Novel Bagian XI,Bagian 2


Hari-Hari Terakhir, Bab 2

Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam  keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an.  Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.



Tuesday, December 28, 2010

Novel Bagian XI,Bagian 1

Hari-Hari Terakhir, Bagian XI
Bab I

KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang Mudiak).

Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama. Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula. 

HARGA BENELLI MOTOBI 152 TH 2023