Maryam Chivalry
Larek
DALAM perjalananku ke rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan diri di Saremban, namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah 1908 itu.
Pada ‘larekku’, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian, termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di Mianangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung ‘larek’-ku.
Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam 15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah Koto.